Makna Simbolis Nasi Tumpeng

Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel). Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia.

Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya.  Bagaikan kotak hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya.

Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.

TUMPENG

Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.

Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.

Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).

Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:

“Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.

Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.

MEMAKNAI TUMPENG

Hubungannya dengan Agama dan Ketuhanan

Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata.

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.

Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.

Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.

Konon alam semesta berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).

Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar pastinya mengalami perubahan sesuai dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius di mata masyarakat (terutama di Jawa).

Di banyak kebudayaan gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.

Bagi orang-orang zaman dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung. Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.

Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.

Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.

Berikut ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada Sang Kuasa:

  1. Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si empunya hajat dikabulkan.
  2. Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
  3. Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
  4. Tumpeng Among-among –  bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
  5. Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
  6. Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang batu.
  7. Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
  8. Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
  9. Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
  10. Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
  11. Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.

Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.

Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Hubungannya dengan Alam

Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.

Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.

Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.

Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).

Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.

Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.

  1. Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
  2. Ayam: ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
  3. Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
    • Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai. Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar tidak sungkan meniti karier dari bawah.
    • Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
    • Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
  4. Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas), dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya kesempurnaan.
Piwulang Jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakannya adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

Sayuran dan urab-uraban: Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
 

  • Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
  • Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
  • Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
  • Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
  • Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang.
  • Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
  • Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
  • Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.

Hubungannya dengan Sosial Kemasyarakatan

Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).

Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).

Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.

Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.

Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.

PENUTUP

Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.

Sumber: 

http://mengenalbudayajawa.blogspot.com

Kritik Menurut Wedhatama

Menurut Profesor Selo Soemardjan, masyarakat Indonesia termasuk penganut kebudayaan malu. Bahkan di beberapa daerah, nilai-nilai budayanya membenarkan orang menebus malu dengan jiwa sendiri atau jiwa orang lain. Carok di Madura atau Siri di Bugis mempunyai akar budaya malu itu, budaya yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan harkat serta martabat diri dan keluarga.

Di Jawa, ada ungkapan 'sedumuk bathuk' -- bagian kening kalau tercoreng membikin malu. Dan bagian itu sangat mahal harganya. Banyak kesatria Jawa kehilangan keseimbangan ketika mulai merasa tersentuh 'sedumuk bathuk'-nya. Karena itu, dalam masyarakat yang menganut kebudayaan malu, perkara kritik menjadi sangat pelik. Bagaimana menyampaikan kritik tanpa membuat malu bahkan menjadi problem akademis.

Prof. Selo menasihati, lakukanlah kritik itu sedemikian rupa manis, hingga yang dikritik bisa ketawa terkekeh-kekeh. Sekurang-kurangnya, tersenyum geli. Karena itu, dalam tradisi masyarakat Yogyakarta, wahana kritik sosial itu disalurkan melalui dagelan Mataram. Dalam seni wayang kulit atau wayang golek pun, kritik dimasukkan dalam bagian yang tidak serius, bebodoran atau pernesan. Peran pengritik dilakukan oleh tokoh-tokoh lawak, yang pasti tidak mengancam kedudukan. Mereka sah mengeluarkan kritik, karena telah teruji kesetiaannya. Pelawak itu ialah panakawan alias begundal setia. Dari tampang, pakaian, tindak-tanduknya, mereka nyata-nyata bukan ancaman terhadap takhta dan wibawa penerima kritik.

Kitab Wedatama merupakan salah satu rujukan yang baik tentang pandangan budaya Jawa tentang kritik. Kumpulan lima gugus tembang cantik dan terdiri atas pilihan kata yang menyentuh hati itu, di kalangan masyarakat keraton dan priayi Jawa, dikenal sebagai karya K.G P.A.A Mangkoenagoro IV. Kitab ini memberi petunjuk tentang sikap arif dan luhur, pedoman bagi para penguasa di Jawa. Demikian populernya tembang yang tercantum dalam kitab Wedatama ini, hingga hampir setiap orang Jawa yang dibesarkan di tanah leluhurnya pasti bisa menyanyikannya di luar kepala, satu atau beberapa pupuh tembangnya.

Sesungguhnya, Wedatama bukan hanya bicara soal kritik, tetapi juga tentang berbagai kearifan lainnya. Kebudayaan Jawa kurang mendukung awam yang turut bicara dan mengutarakan pendapat. Apalagi bila awam itu berani mengutarakan Impian atau cita-cita yang muluk-muluk, orisinil, dan tidak lazim.

Dengan pedas Wedatama menghardik:

    "Si pengung nora nglegewa,
    sang sardo nggenira cariwis,
    angandar-andar angendukur,
    kandane nora kaprah."

Bila diterjemahkan bebas, kurang lebih artinya: "Si pandir (awam) itu tidak peduli bicaranya makin ngelantur, muluk, dan tidak lazim."

Menurut Wedatama, hanya mereka yang arif yang patut didengar, mereka yang mampu mengutarakan segala sesuatu secara menyejukkan. Pupuh-pupuh tembang dalam gugus Pangkur di awal Wedatama ini menjabarkan secara rinci tentang masalah ini. Tetapi bagian yang paling langsung membahas soal kritik tertera pada gugus tembang ketiga, Pucung.

Pada akhir pupuh 12 dan pupuh 13 tembang pendek-pendek berirama lugas itu, Wedatama menghantam kaum pengritik. Perhatikan getirnya pandangan kitab budi pekerti keraton Jawa ini, tentang kritik:

    "Nora kaya si muda mudar angkara,
    nora uwus kareme anguwus-uwus,
    uwese tan ana,
    mung janjine muring muring,
    kaya buta buteng betah nganiaya."

Tembang dengan untaian kata-kata pendek itu bila diterjemahkan mengandung makna yang pahit: "Tidak seperti pemuda yang sedang berang, kegemarannya menjelek-jelekkan (saja), padahal sesungguhnya tiada aib apapun, (pokoknya) asal marah-marah saja, seperti raksasa yang kala lalu berbuat aniaya."

Dalam kerangka budaya yang demikian, lalu bagaimana kalau rakyat yang diperintah hendak unjuk usul atau urun rembuk? Ada caranya, kata Wedatama. "Bersikaplah realistis. Karena segala pikiran dan pengetahuanmu itu toh masih harus dicobakan dulu dalam kondisi kemasyarakatan yang nyata," kata tembang Pucung itu lebih lanjut. Ini mengagetkan. Karena ungkapan Wedatama ini paralel sekali dengan sikap umum yang diambil oleh pejabat kita, baik dia berasal dari Jawa maupun dari luar. Padahal, belum tentu mereka itu sudah pernah membaca Wedatama. Kalau toh sudah, saya menduga belum sampai pada gugus Pucung yang lugas ini.

Wedatama juga punya resep tentang cara mengatasi perbedaan pendapat. "Perbedaan pendapat jangan sampai menyebabkan pertengkaran. Karena kalau demikian akan justru menjadi penghalang terlaksananya maksud baik yang terkandung dalam pendapat yang berbeda itu. Manakala ada selisih pendapat, seyogyanya diselesaikan dengan dingin dan tenang. Dengan semangat semata-mata mencari pemecahan yang arif dan utama." Enak didengar. Lebih enak lagi kalau ditembangkan dalam Macapat yang gayeng dan sambil ndekok. Tetapi jangan ada rakyat kebanyakan yang mencoba berbeda pendapat dengan penguasa. Karena resep di atas hanya berlaku antaraparat kekuasaan.

Tidak hanya Wedatama yang mengulas sikap budaya Jawa tentang kritik. Dalam kitab Wulangreh (secara harfiah artinya ajaran memerintah) juga ada gugus tembang yang melarang mengeluarkan kritik yang kelewatan, memuji-muji diri dan suka mencela orang lain. Tenggang rasa dan semangat setia kawan sesama abdi negara harus dijaga. Ini tercantum dalam gugus tembang Durmo.

Sesungguhnyalah, budaya Jawa memang memiliki trauma pada kajinya ucapan buruk. Itu kalau Wedatama dan Wulangreh bisa jadi rujukan yang sahih. Karena pada tembang terakhir kitab ini pun, yang disusun dalam irama Wirangrong, orang dinasihati agar menjaga lidah.

Buat seorang penguasa yang menganut ajaran Wulangreh, kajinya berucap buruk itu disejajarkan derajad kejahatannya dengan perbuatan madat, main, minum, main perempuan, dan... bermental saudagar. Lho? habis, memang begitulah kata Wulangreh, penguasa yang bermental pengusaha itu juga nista.


*)  Kolom Majalah Tempo - 13 Agustus 1988.

Pangawikan Pribadi - Ki Ageng Suryomentaram

Tiyang anggenipun nyumerepi awakipun piyambak, punika wonten nggen lelawanan. Tiyang punika lelawanan kaliyan barang-barang, kaliyan tiyang sanes, lan kaliyan gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak. Tiyang punika mesti lelawanan lan tiyang kok boten lelawanan punika boten saged.

Tiyang anggenipun kraos wonten, punika wonten ing lelawanan. Jalaran raos wonten punika damelipun namung ngraosaken wontenipun punapa-punapa. Dados raos wonten punika lelawanan.

Lelawanan punika mesthi ngemot awakipun piyambak lan dede awakipun piyambak. Sarehne raos wonten punika lelawanan, mila saben tindak sejangkah, pangucap sakecap lan krenteg sakedhepan, punika mesthi lelawanan lan mesthi isi awakipun piyambak lan dede awakipun piyambak. Inggih wonten nggen tindakipun piyambak, pangucapipun piyambak lan krentegipun piyambak punika tiyang anggenipun nyumerepi awakipun piyambak.

Nyumerepi awakipun piyambak punika angel jalaran boten kulina. Tiyang punika pakulinanipun namung ngraosaken rika-rika lan boten ngraosaken awakipun piyambak. Mila yen ribed kaliyan bojonipun, tiyang adhakanipun namung ngraosaken bojonipun lan boten ngraosaken awakipun piyambak raosipun makaten: "Wah bojoku iku pijer ngene, ngono, ngene, ngono, dadi aku banjur cilaka."

Mila yen tiyang wau dipun takeni makaten: "Bener, bojomu ngene, ngono, ngene, ngono, nanging kowe dhewe kapriye!" tiyang wau kaget lan ngakeni, yen boten ngrembag awakipun piyambak, raosipun makaten: "Iya aku kok durung tau ngrembug awakku dhewe." Kados makaten ugi tiyang anggenipun boten ngraosaken awakipun piyambak utawi nyumerepi awakipun piyambak wonten nggen lelawanan kaliyan anakipun lan tangganipun. Kados makaten tiyang anggenipun boten kulina nyumerepi awakipun piyambak.

Jalaran lelawanan punika isi awakipun piyambak lan dede awakipun piyambak, mila wonten nggen lelawanan awakipun piyambak, punika dhawah methukaken. Yen lelawanan kaliyan barang, awakipun piyambak punika methukaken barang wau. Makaten ugi yen lelawanan kaliyan tiyang sanes lan kaliyan gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak, tiyang punika inggih methukaken tiyang sanes wau lan gagasanipun piyambak wau utawi raosipun piyambak wau.

Awakipun piyambak methukaken punika tegesipun awakipun piyambak kraos punapa-punapa wonten ing lelawanan wau. Yen ningali punapa-punapa utawi mireng punapa-punapa, awakipun piyambak rak kraos punapa-punapa. Inggih ingkang kraos punapa-punapa punika wau awakipun piyambak anggenipun methukaken punapa-punapa ingkang dipun tingali lan dipun mireng.

Makaten ugi yen pinanggih tiyang sanes, awakipun piyambak inggih kraos punapa-punapa. Inggih raos punapa-punapa wau awakipun piyambak anggenipun methukaken tiyang sanes.

Kados makaten awakipun piyambak anggenipun lelawanan lan methukaken punapa-punapa.

Ingkang langkung angel punika nyumerepi awakipun piyambak anggenipun methukaken wonten nggen lelawanan kaliyan gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak. Jalaran gagasan utawi raos wau boten kasatmata utawi boten kacepeng ing pancadriya. Mila gagasan utawi raos wau kados-kados awakipun piyambak.

Mila angel anggenipun nyumerepi awakipun piyambak anggenipun methukaken gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak, punika jalaran gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak kedah dados ingkang dipun sumerepi, nanging boten dados ingkang sumerep utawi ingkang masesa. Pakulinanipun tiyang, gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak punika dados ingkang masesa. Dados tukang masesa punika angel dipun wasesa.

Murih gampil ing ngriki perlu dipun princi lan dipun contoni kados pundi tiyang anggenipun methukaken lelawananipun. Raosipun piyambak, ingkang methukaken lelawananipun punika raos remen utawi sengitipun piyambak. Contonipun yen awakipun piyambak lelawanan kaliyan barang-barang.

Upami awakipun piyambak sumerep lampu ingkang padhang, mangka butuh maos buku. Raosipun piyambak, ingkang methukaken lampu padhang wau, raos remenipun; jalaran lampu wau nyekapi butuhipun. Mila lampu padhang wau dipun wastani sae.

Yen awakipun piyambak badhe mapan tilem, raosipun piyambak ingkang methukaken lampu padhang wau, punika raos sengitipun, jalaran mblerengi, jalaran boten nyekapi butuh. Tiyang tilem punika boten butuh padhang. Dados lampu satunggal wau saged dipun pethukaken ngangge remenipun utawi sengitipun piyambak. Makaten ugi dhateng tiyang sanes, awakipun piyambak anggenipun methukaken inggih ngangge raos remenipun utawi sengitipun piyambak. Yen pinanggih kancanipun, awakipun piyambak methukaken ngangge remenipun lan yen pinanggih mengsahipun awakipun piyambak methukaken ngangge sengitipun. Malah tiyang satunggal kemawon asring dipun pethukaken ngangge remenipun lan gek ngangge sengitipun.

Inggih punika ingkang murugaken tiyang kerep tukaran kaliyan bojonipun. Tiyang dhateng bojonipun punika raosipun gek remen gek sengit, gek remen gek sengit. Mila kajawi dados kanca prakawis sanes-sanesipun bojo punika ugi kanca tukaran.

Ingkang langkung angel punika nyumerepi remen lan sengitipun piyambak, ingkang methukaken gagasanipun piyambak utawi raosipun piyambak. Jalaran kerep-kerepipun gagasan punika dados satunggal kaliyan remen utawi sengitipun. Mila gagasan kaliyan remen utawi sengit punika angel dipun pilahaken.

Upami gagasan jaelangkung, inggih punika kranjang ingkang dipun cemplungi sukmanipun tiyang pejah. Remen utawi sengit ingkang methukaken jaelangkung wau santun rupi dados pitados utawi boten pitados. Yen santunan rupi wau boten dipun sumerepi, tiyang boten mangertos, yen pitados utawi boten pitados punika remen utawi sengit.

Makaten ugi angel anggenipun nyumerepi remen lan sengitipun piyambak, ingkang methukaken dhateng raosipun piyambak. Upami tiyang methukaken raos nesunipun piyambak. Remen lan sangit wau, wonten nggen methukaken raos nesu, lajeng dados mbelani nesu lan ngampet nesu.

Dados nyumerepi awakipun piyambak wonten nggen lelawanan punika nyumerepi remen utawi sengitipun piyambak anggenipun methukaken lelawananipun. Yen boten sumerep remen utawi sengitipun piyambak, tiyang lajeng ribed lan yen lelawanan kaliyan tiyang sanes, ribed wau wujud sulaya. Upami tiyang mireng gamelan lan lajeng mireng musik.

Yen anggenipun methukaken dhateng gamelan ngange remenipun lan dhateng musik ngangge sengitipun lan yen remen lan sengit wau boten konangan, tiyang lajeng boten ngraosaken nikmat saking gendhing gamelan lan musik wau, nanging namung ngraosaken nikmat saking apalanipun gendhing. Kanikmatan kados makaten punika kanikmatan ingkang saking pakaremanipun kelampahan, inggih punika kanikmataning niaga lan dede kanikmataning seniman ingkang awakipun piyambak ical wonten ing gendhing. Yen remen lan sengitipun piyambak boten konangan, tiyang lajeng kaseret utawi kaglandhang dening remen lan sengitipun piyambak. Tiyang remen gamelan lajeng sulaya kaliyan tiyang remen musik. Malah-malah remen lan sengit wau ngglandhang dhateng tiyang, ajak-ajak sulaya sesarengan.

Dene anggenipun ngonangi remenipun piyambak dhateng gamelan punika raosipun makaten: "Aku iki arep ngrasakake nikmating gendhing, teka aku dhemen menyang gamelan, dadi aku banjur ora bisa ngrasakake nikmating gendhing." Yen konangan kados makaten, remenipun piyambak wau sirna, ingkang tegesipun remen wau boten ngaling-alingi malih kangge ngraosaken nikmating gendhing. Tiyang lajeng mangertos, yen nikmating gendhing punika boten kakikisan dening gamelan lan musik.

Makaten ugi anggenipun ngonangi sengitipun piyambak dhateng musik punika raosipun makaten: "Aku sengit nyang musik iku rak mung jalaran aku ora apal, dadi aku njur ora bisa ngetutake gendhing. Dadi aku ora nedya ngrasakake nikmating gendhing, nanging mung nedya ngetutake gendhing.'' Yen konangan kados makaten, sengitipun piyambak wau sirna, ingkang tegesipun sengit wau boten ngaling-alingi kangge ngraosaken nikmating gendhing. Dados remen salah satunggal gamelan utawi musik, utawi sengit salah satunggal punika pakareman.

Kados makaten tiyang anggenipun ngonangi remen lan sengitipun piyambak. Yen lelawanan kaliyan tiyang sanes, tiyang anggenipun methukaken ugi ngangge remen utawi sengitipun. Yen boten ngonangi remen lan sengitipun piyambak, tiyang lajeng kaglandhang dening remen lan sengitipun piyambak, lan lajeng sulaya kaliyan tiyang lelawananipun.

Upami awakipun piyambak mireng kabar, yen wonten tiyang jaler tumandang wayuh. Yen sengitipun piyambak ingkang methukaken kabar wayuh wau, tiyang lajeng moyoki lan raosipun makaten: "Wong lanang wayuh iku rak ora ngoman-omani kancane." Lan yen remenipun piyambak ingkang methukaken kabar wayuh wau, tiyang lajeng mbelani lan raosipun makaten: "La wong sing wayuh iya gelem lan sing diwayuh iya gelem, teka wong wayuh dimunasika." Yen boten konangan, remen lan sangitipun piyambak wau boten namung murugaken mbelani lan moyoki, nanging ugi murugaken dhateng tiyang lajeng ajak-ajak tiyang sanes dipun ajak remen utawi sengit sesarengan.

Lajeng wonten grombolan mbelani wayuh lan grombolan sengit wayuh. Grombolan mbelani wayuh lan sengit wayuh wau lajeng memengsahan. Grombolan memengsahan wau kamajenganipun dados perang bedhil-bedhilan.

Yen remen utawi sengitipun piyambak punika konangan, tiyang lajeng sumerep raosipun tiyang tumandang wayuh wau ingkang sami pleg kaliyan raosipun piyambak. Dene anggenipun ngonangi sengitipun piyambak makaten: "Aku iki arep weruh rasane wong tumandang wayuh, nanging aku sengit menyang tindak wayuh, mula aku banjur ora weruh rasaning wong tumandang wayuh, jalaran sengit iku ngaling-alingi weruh." Yen konangan kados makaten, lajeng sengitipun piyambak wau sirna, tegesipun boten ngaling-alingi malih, lan tiyang lajeng sumerep raosipun tiyang tumindak wayuh wau, ingkang sami pleg kaliyan raosipun piyambak.

Dene anggenipun ngonangi remenipun piyambak makaten: "Aku iki arep weruh rasane wong tumandang wayuh, nanging aku kok dhemen lan mbelani menyang tindak wayuh, mula aku banjur ora weruh rasane wong turnandang wayuh, jalaran dhemen iku ngaling-alingi weruh." Yen konangan kados makaten, lajeng remenipun piyambak wau sirna, tegesipun boten ngaling-alingi malih. Yen remen lan sengit punika sirna, tiyang lajeng sumerep raosipun tiyang tumandang wayuh wau, ingkang sami pleg kaliyan raosipun piyambak.

Tiyang tumindak punapa-punapa punika mesthi jalaran kadhorong dening raosipun. Tiyang tumindak pados omben-omben punika jalaran kadhorong dening raos ngelak, lan tiyang tumandang mapan tilem punika kadhorong dening raos ngantuk. Dados tiyang tumindak wayuh punika kadhorong dening raos kepengin ngraosaken sanesipun bojonipun.

Yen sampun sumerep raosipun tiyang tumandang wayuh wau, tiyang lajeng saged nliti awakipun piyambak sarana pitakenan makaten. "Apa aku uga kepengin ngrasakake liyane bojoku? " Yen badhe jawab pitakenan wau, tiyang asring kraos isin, jalaran tiyang gadhah pamanggih, yen penginan kados makaten punika awon lan ingkang kepengin kados makaten punika namung awakipun piyambak lan tiyang sanes sawatawis. Mila anggenipun nliti awakipun piyambak saged dipun wiwiti saking katebihan makaten

Tiyang jaler, sanajan sampun sepuh sanget, yen sumerep tiyang ayu, punika mesthi kraos remen. Raos remen wau yen dipun onceki, punika isi kepengin, mangka tiyang ayu wau dede bojonipun. Dados tiyang wau inggih kepengin ngraosaken sanesipun bojonipun. Kados makaten tiyang estri, sanajan sampun sepuh sanget, yen sumerep tiyang bagus, punika mesthi kraos remen. Raos remen wau, yen dipun onceki, punika isi kepengin, mangka tiyang bagus wau dede bojonipun. Dados tiyang wau inggih kepengin ngraosaken sanesipun bojonipun.

Dados awakipun piyambak punika inggih kepengin ngraosaken sanesipun bojonipun lan tiyang sadaya inggih kepengin ngraosaken sanesipun bojonipun. Dene yen raos kepengin wau boten lair dados tindak, punika namung jalaran saking kawontenan, upami kawontenan mlarat, ajrih dhateng anak-anakipun lan sapanunggilanipun. Dados raos wayuh punika sami.

Yen sumerep raosipun tiyang sanes, ingkang tumandang wayuh wau, ingkang sami pleg kaliyan raosipun piyambak, tiyang lajeng kraos dhame kaliyan tiyang sanes wau. Raos dhame punika boten remen lan boten sengit, boten ngalem lan boten nacad, inggih punika boten sulaya. Dhame wau raosipun sami kaliyan dhame kaliyan srengenge anggenipun mlethek saking wetan.

Makaten ugi yen lelawanan kaliyan raosipun piyambak, tiyang punika anggenipun methukaken inggih sarana remen utawi sengitipun piyambak. Upami tiyang lelawanan kaliyan nesunipun piyambak. Yen ingkang methukaken dhateng nesunipun piyambak punika sengitipun, tiyang lajeng ngampet nesu lan boten sumerep tegesipun nesunipun piyambak.

Ngampet nesu punika raosipun makaten: "Yen nesuku iki lair dadi lelakon, wohe bakal ora kepenak." Ngampet nesu punika tegesipun nggayuh sabar. Yen sengitipun piyambak boten konangan, tiyang lajeng kaglandhang dening sengitipun piyambak, ingkang lajeng mahanani perang batin, inggih punika perangipun raos nesu mengsah gegayuhan sabar.

Makaten ugi yen ingkang methukaken nesunipun piyambak punika remenipun, tiyang lajeng mbelani nesunipun lan raosipun makaten: "Yen ora nesu, aku bakal lestari dikul wae." Tiyang inggih lajeng boten sumerep dhateng tegesing nesunipun piyambak. Yen ngonangi sengitipun lan remenipun piyambak, tiyang lajeng sumerep tegesipun nesunipun piyambak.

Ngampet nesu punika raosipun makaten: "Yen nesuku iki lair dadi lelakon, wohe bakal ora kepenak." Ngampet nesu punika tegesipun nggayuh sabar. Yen sengitipun piyambak boten konangan, tiyang lajeng kaglandhang dening sengitipun piyambak, ingkang lajeng mahanani perang batin, inggih punika perangipun raos nesu mengsah gegayuhan sabar. Makaten ugi yen ingkang methukaken nesunipun piyambak punika remenipun, tiyang lajeng mbelani nesunipun lan raosipun makaten: "Yen ora nesu, aku bakal lestari dikul wae." Tiyang inggih lajeng boten sumerep dhateng tegesing nesunipun piyambak. Yen ngonangi sengitipun lan remenipun piyambak, tiyang lajeng sumerep tegesipun nesunipun piyambak.

Dene anggenipun ngonangi sengitipun piyambak dhateng nesunipun piyambak punika makaten: "Aku iki arep weruh tegese nesuku dhewe, teka aku sengit, dadi aku iya ora weruh nyang tegese nesuku." Yen konangan kados makaten, sengitipun piyambak wau sirna, ingkang tegesipun boten ngaling-alingi malih. Makaten ugi yen remenipun piyambak konangan.

Dene anggenipun ngonangi remenipun dhateng nesunipun piyambak makaten: "Aku iki arep weruh nesuku dhewe, teka aku dhemen, dadi aku iya ora weruh nyang tegese nesuku dewe." Yen konangan kados makaten, remenipun piyambak wau sirna, ingkang tegesipun boten ngaling-alingi malih. Kados makaten tiyang anggenipun ngonangi remen lan sengitipun piyambak dhateng nesunipun piyambak.

Yen remen lan sengitipun piyambak sampun konangan, tiyang lajeng sumerep tegesipun nesunipun piyambak. Nesu punika tegesipun mbelani kapentinganipun piyambak. Mila yen kapentinganipun dipun ganggu dening tiyang sanes, tiyang lajeng nesu.

Kapentinganipun tiyang punika wujudipun warni-warni, kadosta, raja darbe, kahormatan, panguwasa, kulawarga, grombolan, bangsa, jinis, ilmu kebatinan, kasagedan, kawruh barang dumadi lan sapanunggilanipun. Tiyang satunggal-satunggal anggenipun ngregeni kapentingan-kapentinganipun piyambak, punika beda-beda. Wonten salah satunggaling kapentingan ingkang dipun regeni langkung inggil tinimbang sanesipun.

Dados kapentingan punika wonten ingkang dipun anggep inggil piyambak utawi angka satunggal, angka kalih lan salajengipun. Panganggep andhap utawi inggiling panganggep regi punika mahanani drajating nesu, entheng utawi awrat. Mila yen tiyang dipun ganggu kapentinganipun ingkang angka satunggal, tiyang lajeng nesu sanget, tegesipun drajatipun nesu awrat.

Yen remen lan sengitipun piyambak wonten nggen lelawananipun kaliyan raosipun piyambak tansah konangan, tiyang lajeng saged nyinau kapentingan-kepentinganipun piyambak inggih punika pangawikan pribadi. Yen pangawikan pribadi punika saya lebet lan saya wiyar, tiyang lajeng mangertos, yen kapentingan-kapentingan wau dhedhasaripun klentu. Inggih klentunipun dhasar punika ingkang murugaken lelawanan boten sekeca.

Kapentingan raja darbe yen klentu, punika lajeng dados srakah. Mangka raja darbe punika paedahipun namung kangge prabot nyekapi butuhing gesang. Dados srakah punika migunakaken raja darbe, ingkang salah kedaden.

Kapentingan kahormatan, yen klentu, punika lajeng dados pados dipun hormati. Mangka nikmat punika hormat, sanajan hormat punika saking awakipun piyambak dhateng tiyang sanes utawi saking tiyang sanes dhateng awakipun piyambak. Dados pados dipun hormati punika migunakaken kahormatan ingkang salah kedaden.

Kapentingan panguwasa, yen lepat, punika lajeng dados pados nguwasani tiyang sanes. Mangka kuwasa utawi dipun gega punika jalaran nyekecakaken tiyang sanes. Dados pados nguwasani tiyang sanes tanpa nyakecakaken tiyang sanes, punika migunakaken panguwasa ingkang salah kedaden.

Kados makaten salajengipun anggenipun nyumerepi kapentingan-kapentinganipun piyambak, ingkang salah kedaden. Yen dipun sumerepi, kapentingan ingkang salah kedaden wau lajeng leres. Kados makaten paedahipun nyumerepi remen lan sengitipun piyambak.

Kados makaten yen remen lan sengitipun piyambak dipun sumerepi, tiyang lajeng kraos sakeca lelawananipun kaliyan barang-barang, kaliyan tiyang sanes, lan kaliyan raosipun piyambak. Sumerep remen lan sengitipun piyambak punika namanipun pangawikan pribadi. Dados pangawikan pribadi punika sarat sakecanipun sesrawungan.


* )  Ki Ageng Suryamentaram

Kreativitas Dalam Sains

Jika boleh saya sampaikan, ini bukan suatu kuliah ataupun ceramah. Ini adalah percakapan antara anda dan pembicara. Pokok persoalan, saya kira, yaitu "Kreatifitas dalam Sain". Sain, umumnya diartikan sebagai akumulasi pengetahuan, sehingga apakah ada hubungan antara kreativitas dan pengetahuan? Apakah pengetahuan itu? Pengetahuan diperoleh melalui ribuan tahun pengalaman dan disimpan dalam otak sebagai memori ingatan. Dari ingatan itulah, muncul pikiran. Sehingga pengetahuan selalu terbatas, apakah sekarang ataupun esok hari, dan dimana ada keterbatasan disitu ada konflik. Sehingga dimanakah hubungan kreatifitas dengan sain? Adakah suatu hubungan menyeluruh? Silahkan, kita sedang berfikir bersama. Kita sedang menanyakan sumber terdalam dari proses akumulasi pengetahuan. Kita telah memberi perhatian luar biasa terhadap pengetahuan dari zaman kuno, jauh sebelum munculnya kebudayaan Kristen, telah ada perhatian luar biasa terhadap pengetahuan. Dan pengetahuan, sebagaimana saya katakan tadi, selalu terbatas karena didasarkan pada pengalaman dan pikirah. Pikiran telah menciptakan hal-hal paling luar biasa, sesuatu yang mengagumkan di dunia, monumen-monumen raksasa dari jaman purba, karya seni yang besar, teknologi kecepatan di hari ini — kedokteran, ilmu bedah, komunikasi, komputer, perjalanan ke bulan dan bom nuklir. Pikiran telah 'menciptakan Tuhan', ia juga menciptakan peperangan-peperangan.

Umat manusia, lima ribu tahun terakhir atau lebih, saling membunuh satu sama lain atas nama Tuhan, atas nama perdamaian, atas nama negara dan kesukuan yang mereka miliki. Kini, pembudayaan saat ini, kita dikumpulkan di sini dimana kita memproduksi kehebatan-kehebatan ini, senjata-senjata yang merusak, sebagai hasil dari sain yang merupakan pengetahuan. Sehingga dimanakah tempat pengetahuan, sain, di dalam penciptaan ?

Penciptaan atau kreasi merupakan suatu problem yang kompleks. Berbagai agama menyatakan bahwa Tuhan adalah sumber kreasi tetapi setiap kelompok memiliki ekspresi khusus yang dimilikinya, dan kebutuhan kesukuan yang dimilikinya, dan itu dinamakan. nasionalisme. Itu semua adalah hasil dari pikiran dan dapatkah pikiran menjadi kreatif di dalam bagiannya yang paling dalam? Apakah kreasi itu? Haruskah kreasi selalu diekspresikan, dimanifestasikan? Apapun yang dimanifestasikan pasti terbatas. Kita adalah hasil dari usaha keras, konflik, perjuangan, penderitaan, duka cita selama berabad-abad. Otak kita memiliki kapasitas tak terbatas, tetapi mereka telah mensyaratinya, tidak hanya secara keagamaan, tetapi secara nasional. Kita telah membagi dunia secara geografis, secara keagamaan, secara kebudayaan, dan kita juga telah memecah belah umat manusia — si kaukasus, si hitam, dan si coklat. Dan tentu saja pikiran telah memunculkan konflik luar biasa di antara umat manusia, tidak hanya di antara individu, tetapi juga secara kolektif. Itulah fakta, kita telah menderita peperangan dan setiap bentuk penyakit. Sain telah mampu untuk menolong atau menanggulangi sebagian darinya, tetapi sain juga telah menghasilkan peralatan-peralatan perang yang paling merusak, sehingga kini anda dapat merusak dunia anda yang utuh atas nama idealisme, ideologi-ideologi dan pemujaan kesukuan yang merupakan nasionalisme.

Dari itu semua, apakah adanya kita setelah 45.000 tahun sebagai homo-sapiens? Apakah kita? Apakah yang telah terjadi pada kita? Sebagian besar umat manusia dikacaukan luarbiasa, tidak ada kepastian, mereka tak mampu berpikir meloloskan darinya, tidak sekedar mencari keamanan fisik, tetapi juga rasa aman psikologis, di sisi dalam, baik dalam antarhubungan dan dengan harapan masa depan. Otak kita telah dispesialisasi dan disyarati dengan pengetahuan, dan juga dengan aktifitas-aktifitas kita yang terkondisi, terbatasi.

Bilamana ada pembatasan, pasti ada konflik. Bila anda membagi dunia menjadi orang Amerika, orang Asia, orang Eropa, orang Yahudi dan orang Arab, pasti ada konflik. Tidak hanya berupa peperangan-peperangan, tetapi konflik diantara individu, diantara laki-laki dan wanita.

Memandang ini semua, adakah tempat bagi kreatifitas? Pengetahuan tak akan dapat menjadi kreatif, melalui pengetahuan dapat muncul dunia fisik yang lebih baik. Kita memberikan perhatian luarbiasa kepada pengetahuan, yang merupakan intelek, memandang intelek sebagai hal penting yang vital, tetapi intelek juga terbatas. Kita tidak pernah memandang kehidupan secara holistik, sebagai suatu keseluruhan, tetapi lebih sebagai seorang ilmuwan, ahli fisika, ahli jiwa, atau spesialisasi lain yang dilakukan. Kita adalah umat manusia pertama dan sebagai umat manusia, apakah kita ini? Apa yang terjadi pada kita setelah beribu tahun? Kita berbudaya? Saya tahu anda adalah masyarakat yang sangat makmur — anda mempunyai mobil yang banyak, negara yang menakjubkan, jalan raya yang cantik dan lain sebagainya — tetapi, sebagai umat manusia, apakah kita ini? Sebagai umat manusia mampu kreatif, tidak hanya sebagai ilmuwan, tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk itu semua, itulah hal yang penting. Kita telah lupa akan seninya kehidupan, tidak sebagai ilmuwan, tetapi sebagai manusia. Kita terus menerus didalam konflik, dan dapatkah konflik, perjuangan, penderitaan, kegelisahan, ketidakpastian, menjadikan kreatif? Ataukah kreatifitas merupakan sesuatu yang samasekali berbeda?

Dapatkah kita, sebagai manusia, melihat dunia sebagaimana kita telah membuatnya? Saya heran jika kita tak pernah bertanya pada diri kita apakah kita ini individu-individu semacam itu? Kesadaran kita, dibentuk oleh reaksi-reaksi kita, prasangka-prasangka kita, kepercayaan kita, semua praduga terhadap yang kita miliki, pelipatgandaan aneka opini, ketakutan, rasa tak aman, kesengsaraan, kenikmatan, dan semua penderitaan dimana umat manusia telah melahirkannya sejak ribuan tahun — semua ini adalah kesadaran kita.

Kesadaran kita adalah apa adanya kita. Dan di dalam kekacauan ini, kontradiksi ini, dapatkah di situ muncul kreativitas? Kita membagi kesadaran dari segala hal yang bersifat kemanusiaan, untuk penderitaan kita, kenikmatan-kenikmatan kita, kepercayaan-kepercayaan kita, kesimpulan-kesimpulan, opini-opini, dan semua dogma-dogma keagamaan dan keyakinan-keyakinan, dibagi-bagi untuk semua umat manusia yang ada di bumi ini. Tentu saja timbul pertanyaan, secara psikologi, apakah diri kita sebagai individu-individu. Anda boleh saja berbeda secara fisik, anda boleh jangkung, anda boleh pendek — tetapi sebagai manusia, dalam kesadaran kita, apakah kita berbeda dari umat manusia lainnya? Kita tak pernah menanyakan itu semua. Kita berderap melakukan penyesuaian — kemudian kita memberontak.

Kita berontak kearah luar. Beribu-ribu revolusi telah terjadi, tetapi ke arah dalam kita tetap saja, lebih kurang, seperti apa yang kita miliki ribuan tahun. Oleh karenanya, dengan mengambil itu semua sebagai pertimbangan, tidak secara intelektual tetapi sebagai sesuatu yang utuh, apakah kita kreatif ?

Atau, seperti kita katakan, apakah kreativitas itu sesuatu yang sama sekali berbeda? Anda dapat merekayasa, menemukan ulang, menjajagi loncatan atom, dan sebagainya-dan sebagainya.

Bila itu semua aktivitas dari pikiran, kecerdikan, kemampuan daya upaya, ia menciptakan ilusi-ilusi dan memujanya. Bagaimana-pun juga, semua religi berdasarkan atas hal itu.

Pikiran telah mencipta Tuhan (pembicara bukan seorang atheis), pikiran menciptakan ideologi, pikiran menciptakan peperangan, dan atas nama Tuhan. Pikiran telah menciptakan segala sesuatu di dalam gereja, di dalam pura, di dalam mesjid, dan juga menciptakan persaudaraan kita. Tetapi kembali saya katakan, pikiran terbatas karena didasarkan atas pengetahuan dan pengetahuan adalah hasil dari sejumlah pengalaman, sehingga pikiran tidak akan pernah menjadi kreatif karena apa yang dapat diujudkannya pasti terbatas, dan dimana ada keterbatasan, pasti ada konflik. Dan konflik tidak akan pernah, dalam kondisi apapun, memunculkan kreativitas.

Oleh karenanya, bukan berdasar penciptaan, maka apakah penciptaan itu? Kapan itu terjadi? Tentu saja penciptaan dapat terjadi hanya bilamana pikiran hening. Anda boleh saja tidak setuju total dengan hal ini, saya berharap anda begitu, karena sebagian besar dari kita, pikiran adalah penting luar biasa yang berarti intelek, yang hanya merupakan bagian dari manusia. Sehingga pembicara berkata, kreativitas takkan dapat berlangsung bila disitu terdapat aktivitas pikiran. Kemudian muncul pertanyaan: Dapatkah pikiran jadi diam? Dapatkah pikiran menjadi tenang, beristirahat untuk sesaat?

Kemudian seseorang bertanya, siapakah yang menolong pikiran untuk istirahat? Itu tetap saja pikiran.

Saya berharap Anda mengikuti ini semua. Ini sesuatu proses yang sangat komplek. Setiap metoda telah dicoba untuk menghentikan pikiran — obat bius, obat penenang, semua bentuk meditasi — meditasi gaya Zen, gaya Tibet, Hindu, Buddha, dan semua itu kekosongannya. Pikiran tetap pada tempatnya, tetapi secara psikologis, ke arah dalam, dapatkah terjadi keheningan, ketenangan? Cinta adalah keheningan itu, cinta adalah suatu kualitas dari kekuatan besar dan energi yang diam. Sekarang kita bertanya: Apakah cinta itu satu-satunya faktor dalam kreativitas?

Bukan cinta yang direduksi menjadi kenikmatan, menjadi seks. Jika kita sekali mengerti, menyadari, bahwa pikiran dibawah kondisi apapun tak akan dapat kreatif, karena pikiran terbatas (dan itu tak perlu ditanyakan), maka kita dapat memulai menyelidiki, apakah cinta itu? Apakah cinta kasih? Apakah itu kenikmatan, apakah itu rasa birahi, apakah itu imajinasi, imajinasi tentang istri anda, suami anda, imajinasi tentang ideologi-ideologi?

Untuk dapat menemukan kembali, memunculkan sesuatu yang sangat luar biasa ini, cinta, seseoarang harus memiliki pemahaman yang amat jernih tentang kehidupan sehari-hari yang akan menunjukkan pada kita secara psikologis, ke arah dalam, bahwa kita tak memiliki kebebasan.

Kita bicara tentang kebebasan, khususnya di negara dimana anda mempunyai keahlian untuk mengatakan apa yang harus anda kerjakan — bagaimana mengasuh bayi, bagaimana mendapatkan seks, bagaimana mempercantik diri sendiri, segala macam latihan untuk menjadi spesialis di bidang agama, di bidang sain, dan sebagainya. Dan itulah yang anda namakan kebebasan.

Karena waktu kita amat terbatas, kita tak mungkin menuju pertanyaan yang lebih mendalam tentang apakah kebebasan itu. Tanpa kebebasan tidak ada cinta. Tetapi kita tidak bebas. Kita adalah kecemasan, kita tertakuti oleh kematian, kita tertakuti oleh masa depan. Kita telah mengerjakan tumpukan ketakutan ini selama ribuan tahun (kita bicarakan ketakutan psikologis).

Dapatkah otak semacam ini yang telah dikondisi semacam sebuah komputer, dimana terjadi aktivitas luar biasa dari pikiran, dengan intelegensia istimewa — dapatkah otak semacam ini menjadi kreatif? Jika tidak, bagaimana kreasi dapat terjadi?

Pertanyaan ini telah diajukan di seluruh dunia dan sejumlah jawaban telah diberikan, tetapi kita mengatakan bahwa kreasi hanya mungkin bila disitu ada cinta. Kemudian kita bertanya, apakah cinta itu? Cinta bukan nafsu birahi, cinta bukan kenikmatan, cinta bukanlah hiburan keagamaan.

Keruwetan hawa nafsu, keruwetan rasa duka, dan sesuatu luar biasa yang dinamakan kematian, semua itu adalah bagian dari hidup kita sehari-hari. Jika ada cinta, kita tak akan saling membunuh umat manusia — Tidak pernah !

Adakah cinta bila di seluruh dunia ini mengumpulkan peralatan perang, setiap negara menginginkan instrumen perusak paling mutakhir, menghasilkan peralatan-peralatan mematikan yang dinilai, diantara kekacauan ini? Di satu tangan anda membuat instrumen perang yang paling merusak, di tangan satunya anda bicara tentang cinta, perdamaian, semangat mencipta, dan sebagainya. Kita hidup di dalam kontradiksi, dan dimana ada kontradiksi, maka harus ada konflik dan oleh karena tak pernah dapat ada kreativitas ataupun kreasi. Jika hanya otak benar-benar tenang, tidak senantiasa berceloteh, tidak menyelidiki, tidak bertanya-tanya, tidak mencari, tetapi diam, hening, di situ dapat ada kreatifitas. Dan untuk memahami keheningan itu, kita harus mengerti apa meditasi itu. Meditasi bukan sadar bermeditasi. Apa yang telah dipikir adalah kesadaran, kesengajaan meditasi, duduk bersila ataupun merebahkan diri, atau mengulang-ulang kalimat tertentu, yang merupakan suatu kesengajaan, upaya sadar untuk bermeditasi.

Si pembicara berkata meditasi macam itu adalah omong kosong, Itu bagian dari nafsu. Keinginan untuk memiliki batin yang damai sama saja menginginkan suatu rumah indah atau baju yang bagus. Kesadaran meditasi merusak, menghambat bentuk lain meditasi. Untuk masuk ke situ kita tak ada waktu. Persoalan itu memerlukan persepsi luar biasa-tanpa kata, tanpa imajinasi. Sain adalah gerakan pengetahuan yang makin menumpuk, bertambah dan bertambah.

Pertambahan itu suatu ukuran, dan pikiran dapat diukur karena pikiran adalah suatu proses materi. Pengetahuan memiliki wawasan terbatas yang dimilikinya, kreasi terbatas yang dimilikinya, dan memunculkan konflik. Kita berbicara tentang persepsi holistik dimana ego, si aku, personalitas, tidak masuk sama sekali. Hanya semacam itulah ada sesuatu yang dinamakan kreatifitas.

------------------------------------------
J. Krishnamurti

Ceramah di Centre National Laboratory, Los Alamos, USA, 1984

A Dialogue with Oneself

Saya menyadari bahwa cinta hadir jika di sana ada kecemburuan; cinta tidak dapat hadir ketika di situ ada keterikatan. Kini, apakah mungkin mungkin bagi saya untuk bebas dari kecemburuan dan keterikatan? Saya menyadari bahwa saya tidaklah mencinta. Itu adalah sebuah fakta. Saya tak hendak menipu diri saya sendiri; saya tak hendak berpura-pura pada istri saya bahwa saya mencintainya. Saya tidak tahu apa itu cinta. Namun saya tahu bahwa saya pencemburu dan saya tahu bahwa saya begitu terikat padanya dan di dalam keterikatan itu ada ketakutan, ada kecemburuan, ada kecemasan; di sana hadir suatu rasa kebergantungan. Saya tidak suka bergantung namun saya demikian karena saya kesepian; saya telah diperintah ini dan itu di kantor atau di pabrik dan saya pun tiba di rumah – saya ingin merasakan kehangatan dan kebersamaan, guna lolos dari diri saya. Kini saya bertanya pada diri saya? Bagaimana saya bisa lepas dari keterikatan ini? Saya menyampaikan hal ini hanya sebagai sebuah contoh.

Pada awalnya, saya hendak lari dari pertanyaan itu. Saya tidak tahu bagaimana jadinya akhir hubungan saya dengan sang istri. Ketika saya bebas darinya, hubungan saya dengannya dapat berubah. Dia mungkin terikat pada saya dan saya bisa jadi tidak terikat padanya atau pun pada wanita lainnya. Namun saya akan menyelidikinya. Sehingga saya tidak lari dari apa yang saya bayangkan sebagai konsekuensi dari bebas sepenuhnya akan berbagai ikatan. Saya tidak tahu apa itu cinta, namun saya melihat dengan begitu jelas, dengan begitu pasti, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa keterikatan pada istri saya berarti kecemburuan, rasa memiliki sendiri yang kuat, ketakutan, kecemasan dan saya hendak bebas dari semua itu. Sehingga saya mulai menyelidiki; saya mencari sebuah metode dan saya terjebak dalam sebuah sistem. Beberapa guru berkata, “Saya akan membantumu bebas, lakukan ini dan ini, praktekkan ini dan ini.” Saya menerima apa yang ia sampaikan karena saya melihat betapa pentingnya menjadi bebas dan dia menjanjikan jika saya melakukan apa yang ia katakan, saya akan mendapat imbalannya. Namun saya melihat bahwa dengan demikian saya mengejar hadiahnya, imbalannya. Saya melihat betapa konyolnya diri saya; ingin menjadi bebas namun terikat dengan suatu imbalan.

Saya tidak ingin terikat dan saya sampai saat ini masih menemukan diri saya terikat pada ide seseorang, atau buku-buku, kitab-kitab, atau metode-metode, yang akan menghadiahkan saya kebebasan akan keterikatan. Jadi saya berkata, “Lihat apa yang telah saya perbuat; berhati-hatilah, jangan sampai masuk perangkap itu.” Apakah itu seorang wanita, sebuah metode, atau suatu ide, itu masih merupakan keterikatan. Saya begitu awas saat ini karena saya telah mempelajari sesuatu; yang adalah, tidak menggantikan suatu keterikatan dengan keterikatan dalam bentuk yang lainnya.

Saya bertanya pada diri saya, “Apa yang saya lakukan guna bebas dari keterikatan?” Apa yang menjadi motif saya ingin bebas dari keterikatan? Rasanya tidak bukan karena saya hendak mencapai suatu kondisi di mana di situ tiada keterikatan, tiada ketakutan dan tiada lain sebagainya? Dan tiba-tiba saya menyadari bahwa motif memberikan arah, dan arahan itu mendikte kebebasan saya. Tidak hanya istri saya, tidak hanya ide – metode saya, namun motif saya juga menjadi sebuah keterikatan saya! Jadi saya adalah segala yang bergerak di ranah keterikatan – sang istri, si ide, dan motif guna mencapai sesuatu di masa depan. Terhadap semua ini saya terikat. Saya melihat adanya hal-hal yang luar biasa rumit; saya tidak menyadari bebas dari segala keterikatan termasuk akan hal-hal ini. Kini, saya melihat ini sejelas saya melihat sebuah peta jalan utama, jalan di pinggiran dan warga desa, saya melihatnya dengan begitu jelas. Lalu saya berkata pada diri saya, “Kini apakah mungkin bagi saya untuk bebas dari maha keterikatan yang saya miliki terhadap istri saya dan juga imbalan yang saya pikir saya akan mendapatkannya serta terhadap motif saya?” Pada semua ini saya terikat. Mengapa? Apakah ada yang kurang dalam diri saya? Apakah itu mengapa saya begitu amat kesepian dan karenanya mencari pelarian dari perasaan terisolasi ini dengan berpaling pada seorang wanita, suatu ide, sebuah motif; sebagaimana sepertinya saya harus berpegangan pada sesuatu? Saya melihat, jadi demikian adanya, saya kesepian dan saya lari melalui keterikatan terhadap sesuatu dari perasaan tersendiri yang luar biasa itu.

Jadi saya tertarik untuk memahami mengapa saya kesepian, karena saya melihat itulah sumber keterikatan saya. Bahwa kesendirian ini memaksa saya lari menuju menuju keterikatan pada ini dan itu, dan saya melihat selama saya sendiri maka kelanjutannya adalah hal ini. Apa yang dimaksud dengan sendiri? Bagaimana itu dapat hadir? Apakah itu merupakan insting, apakah ia diwariskan, ataukah diakibatkan oleh kegiatan sehari-hari saya? Jika itu karena sebuah insting, karena diwariskan, karena bagian dari lingkungan saya; maka saya tidak menyalahkan.

Namun karena saya tidak menerima ini begitu saja, saya mempertanyakannya dan tetap bersama pertanyaan itu. Saya mengamati dan saya tidak sedang mencoba untuk menemukan jawaban intelektual. Saya tidak sedang mencoba mengatakan pada kesendirian apa yang mesti ia lakukan, atau apakah ia sebenarnya; saya mengamatinya untuk memberitahukan saya. Di situ ada keawasan terhadap kesendirian guna mengungkapkan dirinya. Ia tak akan mengungkapkan dirinya jika saya lari, jika saya ketakutan; jika saya menolaknya. Jadi saya mengamatinya. Saya mengamatinya sedemikian hingga tidak ada pikiran yang mencampuri. Mengamati jauh lebih penting daripada hadirnya pikiran. Dan karena semua energi saya terkonsentrasi dengan pengamatan akan kesendirian itu, maka pikiran tidak muncul sama sekali. Batin sedang ditantang dan ia harus menjawabnya. Ditantang berarti berada dalam suatu krisis. Dalam suatu krisis Anda memiliki maha energi, dan energi itu tetap ada tanpa diusik oleh pikiran. Inilah sebuah tantangan yang mesti dijawab.

Saya memulai dengan percakapan dengan diri saya. Saya bertanya pada diri saya apakah hal aneh ini yang disebut cinta; setiap orang membicarakannya, menulis tentangnya – semua puisi romantis, gambar-gambar, seks, dan segala yang terkait dengannya? Saya bertanya: Adakah yang disebut cinta itu? Saya melihat bahwa ia tidak hadir ketika ada kecemburuan, kebencian, ketakutan. Jadi saya tidak lagi berfokus pada cinta; saya memperhatikan akan “apa itu”, ketakutan saya, keterikatan saya. Mengapa saya terikat? Saya melihat bahwa salah satu alasannya – saya tidak berkata itu alasan keseluruhannya – bahwa saya sedemikian putus asa dengan kesendirian saya, terasing. Semakin bertambah usia saya, semakin terasing saya jadinya.

Jadi saya mengamatinya. Ini adalah tantangan guna menemukan, oleh karenanya ini sebuah tantangan maka seluruh energi hadir guna merespons. Itu sederhana. Jika di sana ada kekacauan, suatu bencana atau apapun, itu adalah tantangan dan saya memiliki energi guna berhadapan dengannya. Saya tak perlu bertanya, “Bagaimana saya memperoleh energi ini?” Ketika rumah kebakaran, saya memiliki energi untuk bergerak; energi yang luar biasa. Saya tidak akan duduk dulu dan berkata, “Baiklah, saya harus memperoleh energi ini.”, dan kemudian menunggu; maka seluruh rumah akan terbakar habis sebelum saya selesai berpikir.

Jadi di situ hadir energi luar biasa guna menjawab pertanyaan ini: Mengapa kesendirian dapat hadir? Saya telah menolak semua ide, anggapan dan teori bahwa hal ini diwariskan, atau bahwa hal ini merupakan insting. Semua itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Kesendirianlah “apa itu”. Mengapa di situ kesendirian ini yang pada setiap manusia, jika ia sadar sepenuhnya, melaluinya, di permukaan atau di dalamnya? Mengapa ia hadir? Apakah batin mengerjakan sesuatu yang membuatnya hadir? Saya telah menolak teori sebagai insting dan warisan, dan saya bertanya: apakah batin, otak itu sendiri, menghadirkan kesendirian ini, keterasingan sepenuhnya ini? Di kantor saya mengasingkan diri saya karena saya ingin menjadi eksekutif kelas atas, karena pikiran bekerja sepanjang waktu guna mengasingkan dirinya. Saya melihat bahwa pikiran bekerja sepanjang waktu untuk membuat dirinya lebih superior, batin mengarahkan dirinya pada keterasingan ini.

Jadi permasalahannya adalah: mengapa batin melakukan ini? Apakah memang alaminya pikiran bekerja untuk dirinya? Apakah memang alaminya pikiran menciptakan keterasingan ini? Pendidikan menciptakan keterasingan ini; ia memberikan saya karier tertentu, keahlian tertentu dan sebagaimana lainnya, keterasingan. Pikiran, karena terpecah-pecah, karena terbatasi dan terikat oleh waktu, menciptakan keterasingan ini. Dalam keterbatasan itu, ia menemukan keamanan dan berkata, “Saya memiliki karier istimewa dalam hidup saya, saya seorang profesor, saya aman sepenuhnya.” Jadi yang menjadi perhatian saya kemudian, mengapa batin melakukan itu? Apakah ini merupakan sifat alaminya? Apa pun yang dilakukan batin pastilah terbatas. Kini masalahnya adalah, dapatkah pikiran menyadari apapun yang ia kerjakan adalah terbatas, berfragmentasi, dan karenanya terasing serta apa pun yang ia kerjakan maka itulah jadinya? Ini merupakan titik yang sangat penting: dapatkah batin menyadari keterbatasannya sendiri? Atau saya yang berkata padanya bahwa ia terbatas? Ini, saya melihatnya, begitu penting untuk dipahami. Ini adalah esensi sejati dari permasalahannya. Jika pikiran menyadari dengan sendirinya bahwa ia terbatas maka di situ tidak akan ada perlawanan, tiada konflik, ia berkata “akulah itu.” Namun jika saya yang memberitahukannya bahwa ia terbatas maka saya menjadi terpisah dari keterbatasan. Dan saya berjuang untuk mengatasi keterbatasan, dan di situ hadir konflik dan kekerasan, bukan cinta.

Jadi apakah pikiran menyadari dengan sendirinya bahwa dirinya terbatas? Saya harus mencari tahu. Saya sedang ditantang. Karena saya tertantang saya memiliki energi yang luar biasa. Sampaikanlah dengan cara lain: “Apakah kesadaran menyadari bahwa isinya adalah dirinya sendiri?” Dan karenanya saya berkata, “Ya, demikianlah ia”. Apakah Anda melihat perbedaan antara keduanya? Yang terakhir, diciptakan oleh pikiran, ia ditanam oleh sang “aku”. Jika saya menanamkan sesuatu pada pikiran maka di sana hadir konflik. Seperti pemerintahan tirani yang memaksakan sesuatu pada seseorang, namun di sini, pemerintahan itu adalah apa yang saya telah ciptakan.

Jadi saya menanyakan diri saya: sudahkah pikiran menyadari keterbatasannya sendiri? Atau ia berpura-pura menjadi sesuatu yang luar biasa, terhormat, suci? – yang merupakan omong kosong karena pikiran didasarkan pada ingatan. Saya melihat bahwa harus ada kejernihan tentang poin ini: bahwa di situ tidak ada pengaruh luar yang menanamkan pada pikiran dan berkata bahwa ia terbatas. Maka, karena tidak ada paksaan maka tidak ada konflik; ia menyadari dengan begitu sederhana bahwa dirinya terbatas; ia menyadari apapun yang ia kerjakan – apakah memuja Tuhan dan sebagainya – adalah terbatas, dangkal, menyedihkan – bahkan walau itu telah menciptakan berbagai rumah ibadah yang megah dan luar biasa guna pemujaan.

Jadi di situ telah ada di dalam percakapan dengan diri saya penemuan bahwa kesendirian diciptakan oleh pikiran. Pikiran kini telah menyadari dengan sendirinya akan dirinya yang terbatas dan tidak mampu mengatasi permasalahan kesendirian ini. Oleh karena ia tidak dapat memecahkan masalah kesendirian, apakah kesendirian itu ada? Pikiran telah menciptakan rasa kesendirian ini, kekosongan ini, karena ia terbatas, terpecah-pecah, terbagi, ketika ia menyadari ini, kesendirian tiada, karenanya di situ ada kebebasan dari keterikatan. Saya tidak melakukan apa pun; saya telah mengamati keterikatan ini, apa yang terjadi di dalamnya, keserakahan, ketakutan, kesendirian, semua itu dan dengan merunutnya, mengamatinya, bukan menganalisanya, namun hanya melihat dan melihat, maka di situ ada penemuan bahwa pikiran lah yang menghasilkan semua ini. Pikiran karena ia terpecah, telah menciptakan keterikatan ini. Ketika ia menyadari hal ini, keterikatan memudar. Di sana tidak ada daya upaya yang dibuat sama sekali. Karena saat ada upaya – konflik muncul kembali.

Dalam cinta tiada keterikatan; jika di sana ada keterikatan maka di sana tiada cinta. Di sana telah ada penghilangan faktor utama melalui negasi apa yang bukan itu, melalui negasi keterikatan. Saya memahami apa makna semua itu dalam kehidupan keseharian saya: tidak ada kenangan akan apapun akan istri saya, kekasih saya, atau tetangga saya yang dilakukan untuk menyakiti saya; tidak ada keterikatan akan gambaran apa pun yang dibentuk pikiran mengenai dia; bagaimana ia telah membohongi saya, bagaimana ia telah memberikan saya kehangatan, bagaimana saya telah mengalami kepuasan seksual, semua hal-hal berbeda yang gerak pikiran menjadikannya gambaran; keterikatan akan gambaran-gambaran tersebut telah lenyap.

Dan di sana ada faktor lain: haruskah saya melalui semua langkah-langkah itu satu per satu? Ataukah segalanya berakhir? Haruskah saya berjalan melaluinya, haruskah saya menyelidiki – sebagaimana saya telah menyelidiki keterikatan – ketakutan, kesenangan dan hasrat kenyamanan? Saya melihat bahwa saya tidak harus melalui semua penyelidikan akan berbagai faktor ini; Sekali pandang saya melihatnya, saya telah mendapatkannya.

Jadi, melalui negasi akan apa-apa yang bukan cinta, maka apa yang tersisa setelahnya adalah cinta. Saya tidak harus bertanya apa itu cinta. Saya tidak harus berlari mengejarnya. Jika saya mengejarnya, itu bukanlah cinta, itu adalah hadiah/imbalan. Jadi saya harus bernegasi, saya harus berakhir, dalam penyelidikan itu, dengan perlahan, dengan hati-hati, tanpa distorsi, tanpa ilusi, segala sesuatunya yang bukan itu, maka itu adalah yang sebaliknya.


Sumber:
*  artikel: http://catatan.legawa.com/2010/01/sebuah-dialog-dengan-sang-diri/
*  foto: http://www.seekeraftertruth.com/articles/krishnamurti-a-dialogue-with-oneself-on-love-attachment/
*  J.Krishnamurti Online: http://jkrishnamurti.com/krishnamurti-teachings/view-text.php?tid=12&chid=4&w=&s=Text