TEORI KEPRIBADIAN SIGMUND FREUD

Biografi Sigmund Freud

Bapak Psikoanalisis Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 mei 1856 dan meninggal di London, 23 september 1939 berasal dari keluarga Yahudi.

Tahun 1873-1881 masuk Fakultas Kedokteran Universitas Wina pada spesialisasi dokter ahli syaraf dan penyakit jiwa (psikiatri).
Pada tahun 1894 Freud belajar terapi histeri pada Jean Caharcot di Paris.
Tahun 1895 ia kembali ke Wina bekerja sama dengan Dr. Joseph Breuer, dengan metode asosiasi bebas.
Tahun 1895 Freud bersama Breuer menulis tentang kasus-kasus histeri.
Tahun 1902 ia membentuk kelompok psikologi di Wina.
Tahun 1908 Freud diundang oleh George Stanley Hall ke USA dan memberi ceramah-ceramah pada pertemuan-pertemuan Dies Natalis Universitas Clark. Freud menjadi terkenal di seluruh dunia.
Tahun 1909 Freud digabungi oleh Alfred Adler dan Carl Gustav Jung.
Tahun 1923 Freud kena penyakit kanker rahang dan pernah dioperasi sampai 30 kali. Tahun 1928 Nazi berkuasa di Austria, Freud menyingkir ke Inggris dan meninggal dunia di London 1939.

Dasar Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Peran penting dari ketidaksadaran beserta insting-insting seks dan agresi yang ada di dalamnya dalam pengaturan tingkah laku, menjadi karya/temuan monumental Freud. Sistematik yang dipakai Freud dalam mendiskripsi kepribadian menjadi tiga pokok yaitu: struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.

Struktur Kepribadian

Kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran: sadar, prasadar, dan tak sadar.
Pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yakni:  id, ego dan super-ego. Struktur baru ini tidak mengganti struktur lama tetapi melengkapi/menyempurnakan gambaran mental terutama dalam fungsi dan tujuannya.

Tingkat Kehidupan Mental


  1. Sadar (Conscious)
    Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (fikiran, persepsi, perasaan, dan ingatan) yang masuk ke kesadaran (consciousness).
  2. Prasadar (Preconscious)
    Prasadar disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan tak sadar. Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar.
  3. Taksadar (Unconscious)
    Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dri jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls, dan drives yang dibawa dari lahir, dan pengalam-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak sadar.

Wilayah Pikiran

1.  Id (Das Es)
Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan, seperti insting, impuls dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah tak sadar, mewakili subjektivitas yang tidak pernah sisadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.

Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Plesure principle diproses dengan dua cara :
a.    Tindak Refleks (Refleks Actions)
Adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan mata dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan.
b.   Proses Primer (Primery Process)
Adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan – dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-benar salah, tidak tahu moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.

2.  Ego (Das Ich)
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) usaha memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan.
Ego adalah eksekutif atau pelaksana dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama ; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.

3.  Superego (Das Ueber Ich)
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistik (edialistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya sendiri. Akan tetapi, superego berbeda dari ego dalam satu hal penting – superego tak punya kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis.

Prinsip idealistik mempunyai dua sub prinsip yakni suara hati (conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan prinsip ini secara jelas tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Ada tiga fungsi superego ; (1) mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan moralistik, (2) merintangi impuls id terutama impuls seksual dan agresif yang bertentangan dengan standar nilai masyarakat, (3) mengejar kesempurnaan.

Dinamika Kepribadian

Dalam dinamika kepribadian, Freud menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan tenaga penekanan (anti–cathexis). Kateksis adalah pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kataeksis adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id.

Tingkat kehidupan mental dan wilayah pikiran mengacu pada struktur atau komposisi kepribadian. Sehingga, Freud mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan manusia. Bagi Freud, manusia termotivasi untuk mencari kesenangan serta menurunkan ketegangan dan kecemasan. Motivasi ini diperoleh dari energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang mereka miliki.

1.    Insting Sebagai Energi Psikis

Insting adalah perwujudan psikologi dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuasan misalnya insting lapar berasal dari kebutuhan tubuh secara fisiologis sebagai kekurangan nutrisi, dan secara psikologis dalam bentuk keinginan makan. Hasrat, atau motivasi, atau dorongan dari insting secara kuantitatif adalah energi psikis dan kumpulan enerji dari seluruh insting yang dimiliki seseorang merupakan enerji yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian.
Energi insting dapat dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), obyek (object) dan daya dorong (impetus) yang dimilikinya :
a)    Sumber insting : adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan. Tubuh menuntut keadaan yang seimbang terus menerus, dan kekurangan nutrisi misalnya akan mengganggu keseimbangan sehingga memunculkan insting lapar.
b)    Tujuan insting : adalah menghilangakan rangsangan kejasmanian, sehingga ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi dapat ditiadakan. Misalnya, tujuan insting lapar (makan) ialah menghilangkan keadaan kekurangan makan, dengan cara makan.
c)    Obyek insting : adalah segala aktivitas yang menjadi perantara keinginan dan terpenuhinya keinginan itu. Jadi tidak hanya terbatas pada bendanya saja, tetapi termasuk pula cara-cara memenuhi kebutuhan yang timbul karena isnting itu. Misalnya, obyek insting lapar bukan hanya makanan, tetapi meliputi kegiatan mencari uang, membeli makanan dan menyajikan makanan itu.
d)    Pendorong atau penggerak insting : adalah kekuatan insting itu, yang tergantung kepada intensitas (besar-kecilnya) kebutuhan. Misalnya, makin lapar orang (sampai batas tertentu) penggerak insting makannya makin besar.

2.    Jenis-Jenis Insting
a.    Insting Hidup (Life Instinct)
Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan reproduksi, seperti lapar,haus dan seks. Bentuk enerji yang dipakai oleh insting hidup itu disebut “libido”. Walaupun Freud mengakui adanya bermacam-macam bentuk insting hidup, namun dalam kenyataannya yang paling diutamakan adalah insting seksual (terutama pada masa-masa permulaan,sampai kira-kira tahun 1920). Dalam pada itu sebenarnya insting seksual bukanlah hanya untuk satu insting saja, melainkan sekumpulan insting-insting, karena ada bermacam-macam kebutuhan jasmaniah yang menimbulkan keinginan-keinginan erotis.
b.    Insting Mati (Death Instinct)
Insting mati disebut juga insting-insting merusak (destruktif). Insting ini berfungsinya kurang jelas jika dibandingkan dengan insting hidup, karenanya tidak begitu dikenal. Akan tetapi adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa tiap orang itu pada akhirnya akan mati juga. Inilah yang menyebabkan Freud merumuskan bahwa “Tujuan semua hidup adalah mati” (1920). Suatu derivatif insting mati yang terpenting adalah dorongan agresif. Sifat agresif adalah pengrusakan diri yang diubah dengan obyek subtitusi.
Insting hidup dan insting mati dapat saling bercampur, saling menetralkan. Makan misalnya merupakan campuran dorongan makan dan dorongan destruktif, yang dapat dipuaskan dengan menggigit, menguyah dan menelan makanan.

3.    Kecemasan
Kecemasan (anxiety) adalah variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan, dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Biasanya reaksi individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan pengrusakan yang belum dihadapinya ialah menjadi cemas atau takut. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang mengamankan ego karena memberi sinyal ada bahaya di depan mata.

Kecemasan akan timbul manakala orang tidak siap menghadapi ancaman. Hanya ego yang bisa memproduksi atau merasakan kecemasan. Akan tetapi, baik id, superego, maupun dunia luar terkait dalam salah satu dari tiga jenis kecemasan: realistis, neurotis dan moral. Ketergantungan ego pada id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ketergantungan ego pada superego memunculkan kecemasan moral, dan ketergantungannya pada dunia luar mengakibatkan kecemasan realistis.

a.    Kecemasan Realistis (Realistic Anxiety)
Adalah takut kepada bahaya yang nyata ada di dunia luar. Kecemasan ini menjadi asal muasal timbulnya kecemasan neurotis dan kecemasan moral.
b.    Kecemasan Neurotis (Neurotic Anxiety)
Adalah ketakutan terhadap hukuman yang bakal diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya kalau seseorang memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakininya bakal menuai hukuman. Hukuman belum tentu diterimanya, karena orang tua belum tentu mengetahui pelanggaran yang dilakukannya, dan misalnya orang tua mengetahui juga belum tentu menjatuhkan hukuman. Jadi, hukuman dan figur pemberi hukuman dalam kecemasan neurotis bersifat khayalan.
c.    Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Adalah kecemasan kata hati, kecemasan ini timbul ketika orang melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan moral dan kecemasan neurotis tampak mirip, tetapi memiliki perbedaan prinsip yakni : tingkat kontrol ego pada kecemasan moral orang tetap rasional dalam memikirkan masalahnya sedang pada kecemasan neurotis orang dalam keadaan distres – terkadang panik sehingga mereka tidak dapat berfikir jelas.

4.    Mekanisme Pertahanan Ego
Freud mengartikan mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan.

Menurut Freud mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya, adapun mekanisme yang banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari ada tujuh macam, yaitu :

a.    Identifikasi (Identification)
Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya. Diri orang lain diidentifikasi tetapi cukup hal-hal yang dianggap dapat membantu mencapai tujuan diri. Terkadang sukar menentukan sifat mana yang membuat tokoh itu sukses sehingga orang harus mencoba mengidentifikasi beberapa sifat sebelum menemukan mana yang ternyata membantu meredakan tegangan. Apabila yang ditiru sesuatu yang positif disebut Introyeksi.
Mekanisme pertahanan identifikasi umumnya dipakai untuk tiga macam tujuan, yaitu :
•    Merupakan cara orang dapat memperoleh kembali sesuatu (obyek) yang telah hilang.
•    Untuk mengatasi rasa takut.
•    Melalui identifikasi orang memperoleh informasi baru dengan mencocokkan khayalan mental dengan kenyataan.

b.    Pemindahan/Reaksi Kompromi (Displacement/Reactions Compromise)
Ketika obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapt dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial, alami) atau dari dalam (antikateksis) insting itu direpres kembali ke ketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan enerji dari obyek satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
Proses mengganti obyek kateksis untuk meredakan ketegangan, adalah kompromi antara tuntutan insting id dengan realitas ego, sehingga disebut juga reaksi kompromi. Ada tiga macam reaksi kompromi, yaitu :
o    Sublimasi adalah kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang lebih tinggi, diterima masyarakat sebagai kultural kreatif.
o    Subtitusi adalah pemindahan atau kompromi dimana kepuasan yang diperoleh masih mirip dengan kepuasan aslinya.
o    Kompensasi adalah kompromi dengan mengganti insting yang harus dipuaskan. Gagal memuaskan insting yang satu diganti dengan memberi kepuasan insting yang lain.

c.    Represi (Repression)
Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting, ingatan, fikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.

d.    Fiksasi dan Regresi (Fixation and Regression)
Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan lanjutannya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat. Orang memilih untuk berhenti (fiksasi) pada tahap perkembangan tertentu dan menolak untuk bergerak maju, karena merasa puas dan aman ditahap itu.
Frustasi, kecemasan dan pengalaman traumatik yang sangat kuat pada tahap perkembangan tertentu, dapat berakibat orang regresi : mundur ke tahap perkembangan yang terdahulu, dimana dia merasa puas disana.
Perkembangan kepribadian yang normal berarti terus bergerak maju atau progresif. Munculnya dorongan yang menimbulkan kecemasan akan direspon dengan regresi. Orang yang puas berada ditahap perkembangan tertentu, tidak mau progres disebut fiksasi. Progresi yang gagal membuat orang menarik diri atau regresi

e.    Proyeksi (Projection)
Proyeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotis atau moral menjadi kecemasan realistis, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke obyek di luar, sehingga seolah-olah ancaman itu terproyeksi dari obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.

f.    Introyeksi (Introjection)
Introyeksi adalah mekanisme pertahanan dimana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam egonya sendiri. Misalnya, seorang anak yang meniru gaya tingkahlaku bintang film menjadi introyeksi, kalau peniruan itu dapat meningkatkan harga diri dan menekan perasaan rendah diri, sehingga anak itu merasa lebih bangga dengan dirinya sendiri. Pada usia berapapun, manusia bisa mengurangi kecemasan yang terkait dengan perasaan kekurangan dengan cara mengadopsi atau melakukan introyeksi atas nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perilaku orang lain.

g.    Pembentukan Reaksi (Reaction Formation)
Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran, misalnya benci diganti cinta, rasa bermusuhan diganti dengan ekspresi persahabatan. Timbul masalah bagaimana membedakan ungkapan asli suatu impuls dengan ungkapan pengganti reaksi formasi : bagaimana cinta sejati dibedakan dengan cinta-reaksi formasi. Biasanya reaksi formasi ditandai oleh sifat serba berlebihan, ekstrim, dan kompulsif

5.    Perkembangan Kepribadian
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni tahap infantil (0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap infantil yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi tiga fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infantil. Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks, dan perkembangan biologis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat kepuasan seksual (erogenus zone)

a.    Fase Oral (Usia 0 – 1 tahun)
Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama dari kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling penting dan peka adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air. Stimulasi atau perangsangan atas mulut seperti mengisap, bagi bayi merupakan tingkah laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan.

b.    Fase Anal (Usia 1 – 2/3 tahun)
Fase ini dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan. Pada fase ini, fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dari kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau menahan faeces (kotoran) pada fase ini pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai bagaimana dan dimana seharusnya seorang anak membuang kotorannya.

c.    Fase Falis (Usia 2/3 – 5/6 tahun)
Fase falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu fase ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Pada fase ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan mempermainkannya dengan maksud memperoleh kepuasan. Pada fase ini masturbasi menimbulkan kenikmatan yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang tuanya yang mengawali berbagai pergantian kateksis obyek yang penting. Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Oedipus complex adalah kateksis obyek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya (ingin memiliki perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya, sebaliknya anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.

d.    Fase Laten (Usia 5/6 – 12/13 tahun)
Fase ini pada usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mengalami periode peredaan impuls seksual. Menurut Freud, penurunan minat seksual itu akibat dari tidak adanya daerah erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis. Jadi, fase laten lebih sebagai fenomena biologis, alih-alih bagian dari perkembangan psikoseksual. Pada fase ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni mengganti kepuasan libido dengan kepuasan non seksual, khususnya bidang intelektual, atletik, keterampilan, dan hubungan teman sebaya. Dan pada fase ini anak menjadi lebih mudah mempelajari sesuatu dan lebih mudah dididik dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya (masa pubertas).
e.    Fase Genital
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja. Sistem endokrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-tanda seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll), dan pertumbuhan tanda seksual primer. Pada fase ini kateksis genital mempunyai sifat narkistik : individu mempunyai kepuasan dari perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan hanya karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah. Pada fase ini, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek diluar, seperti : berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis, perkawinan dan keluarga. 

Kesimpulan

Dalam teori psikoanalisis, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem yakni id, ego dan superego ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas.

1.    Id, adalah sistem kepribadian yang paling dasar, yang didalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Untuk  dua sistem yang lainnya, id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan oleh sistem-sistem terebut untuk operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Dalam menjalankan fungsi dan operasinya, id bertujuan untuk menghindari keadaan tidak menyenangkan dan mencapai keadaan yang menyenangkan.
2.    Ego, adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek tentang kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego tebentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Adapun proses yang dimiliki dan dijalankan ego adalah upaya memuaskan kebutuhan atau mengurangi tegangan oleh individu.
3.    Superego,  adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk). Adapun fungsi utama dari superego adalah :
•    Sebagai pengendali dorongan-dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls teresbut disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.
•    Mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral dari pada dengan kenyataan.
•    Mendorong individu kepada kesempurnaan.

Freud menyatakan gagasan bahwa energy fisik bisa diubah menjadi energy psikis, dan sebaliknya. Yang menjembatani energi fisik dengan kepribadian adalah id dengan naluri-nalurinya (insting).
1.    Insting
2.    Macam-macam insting
3.    Penyaluran dan penggunaan energi psikis
4.    Kecemasan
5.    Mekanisme Pertahanan Ego, yang dapat diuraikan menjadi tujuh macam mekanisme pertahanan ego, yaitu :
o    Identifikasi
o    Displecement
o    Represi
o    Fiksasi and Regresi
o    Proyeksi
o    Introyeksi
o    Pembentukan Reaksi
Freud menyatakan bahwa pada manusia terdapat lima fase atau tahapan perkembangan yang kesemuanya menentukan bagi pembentukan kepribadian. Lima fase tersebut adalah :
1.    Fase Oral
2.    Fase Anal
3.    Fase Falis
4.    Fase Laten
5.    Fase Genital


Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang:  UMM Press.
Suryabrata, Sumardi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Feist, Jess and Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Koswara, E. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Sumber:
http://psikologikepribadian19.blogspot.com

Aliran Dalam Filsafat Pendidikan

Filsafat merupakan Induk Ilmu. Istilah Filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philein atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau sophos yang berarti kebijaksanaan. Maka filsafat memiliki arti yaitu cinta terhadap kebijaksanaan. Filsafat juga mempunyai definisi lain, selain filsafat berarti cinta kebijaksanaan, filsafat juga dapat didefinisikan sebagai hasil berfikir dan sikap hidup atau pandangan hidup. Karena filsafat merupakan sebagai hasil berfikir maka filsafat mempunyai tugas dalam perkembangan pemikiran manusia, diantaranya filsafat telah melaksanakan tiga peran utamanya yaitu filsafat telah mampu mengubah pengetahuan, tradisi dan kebiasaan masyarakat  , dengan berfikir pula manusia terbebas dari kebodohan dan filsafat juga membimbing manusia untuk berfikir secara masuk akal.

Kebenaran Filsafat tidak bersifat mutlak, karena pikiran setiap para filsuf tidak sama, apabila menurut filsuf satu benar namun belum tentu benar pula menurut filsuf lain, filsafat bersifat benar hanya untuk filsuf itu dan para pengikutnya saja namun meskipun tidak sama setiap filsuf tidak dapat saling menjatuhkan tentang kebenaran yang masing-masing filsuf tersebut fikirkan, maka dengan demikian kebenaran filsafat dapat disebut kebenaran yang bersifat subjektif-pararelistik.

Dalam filsafat terdapat beberapa cabang, diantara cabang filsafat terdapat filsafat pendidikan yang berkedudukan sebagai filsafat khusus dan filsafat terapan. Para calon pendidik dianjurkan untuk mempelajari filsafat pendidikan, karena dengan kita mempelajari filsafat pendidikan maka kita sebagai calon pendidik sedang berusaha untuk dapat bersikap kritis dengan praktek pendidikan sehingga para calon pendidik dapat mengetahui kemana seharusnya pendidikan itu diarahkan dan memberikan kita sebagai calon guru wawasan tentang hakikat pendidikan.
Filsafat pendidikan pun memiliki objek studi. Ojek material dari filsafat pendidikan adalah pendidikan, sedangkan objek formalnya yaitu semua permasalahan atau pertanyaan mengenai pendidikan yang bersifat mendasar, karena para filsuf banyak mempertanyakan atau mempermasalahkan pendidikan secara menyeluruh namun hanya yang bersifat mendasar saja.
Namun memang ketika kita sedang mempelajari flisafat pendidikan tidak jarang pula kita merasa bingung untuk menentukan aliran mana yang baik untuk diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, karena dalam mempelajari filsafat pendidikan didalamnya terdapat beberapa aliran yang memang masing-masing aliran tersebut dalam sistemnya mempunyai kekurangan dan kelebihan. Maka dari itu mempelajai filsafat memang tidak mudah, namun kita pun jangan menyerah ketika belajar filsafat,kita harus bersungguh-sungguh agar kita dapat memahaminya.
Dalam filsafat pendidikan terdapat beberapa aliran yang memberikan implikasi sendiri terhadap pemikiran tentang pendidikan, yang mungkin dapat kita terapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, dengan mempelajarinya kita dapat mengetahui aliran mana yang baik untuk diterapkan dalam pendidikan di Indonesia, beberapa aliran dalam filsafat pendidikan diantaranya yaitu:

Filsafat Pendidikan Idealisme

Salah satu aliran dalam filsafat adalah idealisme. Dalam idealisme lebih menonjolkan bahwa jiwa manusia merupakan unsur yang paling penting dalam hidup dibandingkan yang bersifat material. Sehingga menurut filsuf idealisme bahwa dunia yang kita pijak, yang kita sentuh merupakan dunia bayangan bukan dunia yang sebenarnya.

Telah kita pahami bahwa salah satu peran filsafat adalah untuk membimbing manusia untuk berfikir, pemahaman ini pula yang digunakan para filsuf idealisme yang menyakini bahwa manusia mendapatkan pengetahuan melalui proses berfikir tersebut. Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh oleh orang-orang yang memiliki pikiran yang baik saja.

Dalam filsafat setiap alirannya dapat diterapkan dalam pendidikan untuk mencapai pendidikan yang sempurna. Begitupun dengan aliran idealisme,untuk mencapai pendidikan yang ideal atau sempurna, idealisme berkeyakinan keunggulan itu harus ada dan berpusat  pada guru, seorang guru harus pandai bukan hanya dalam bidang intelektual saja namun juga dalam hal moral. Guru juga harus kreatif untuk mengembangkan bakat para siswa, sehingga siswa dapat nyaman dan bebas untuk mengembangkan bakat dan kepribadiannya. Sesuai dengan tujuan pendidikan menurut aliran idealisme bahwa pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan diri siswa. Agar guru berhasil untuk mencapai tujuan tersebut, sangat diharapkan ketika proses pembelajaran guru dapat memancing siswa untuk berfikir dan bisa mendapatkan wawasan yang luas.

Namun menurut saya apabila alam semesta ini hanya berupa bayangan berarti selama ini kita hidup dalam bayang-bayang,hidup dalam dunia khayal belaka bukan dunia yang nyata. Jika memang benda yang ada di sekeliling kita itu merupakan hasil perwujudan dari pikiran manusia saja, maka seharusnya apabila sekarang kita sedang menginginkan suatu benda maka kita tidak usah membelinya karena dengan memikirkannya atau membayangkannya maka benda tersebut langsung ada di hadapan kita. Tapi nyatanya tidak , apabila kita menginginkan sesuatu kita harus berusaha terlebih dahulu untuk dapan memenuhi atau untuk dapat menghadirkan sesuatu yang kita inginkan tersebut ada di hadapan kita.

Filsafat Pendidikan Realisme

Selain idealisme dalam filsafat terdapat pula aliran realisme. Filsafat realisme merupakan kebalikan dari filsafat idealisme. Seperti awalan kata namanya Real, aliran filsafat realisme meyakini bahwa alam semesta dan seisinya merupakan nyata sesuai dengan apa yang kita lihat bukan dunia bayangan seperti apa yang diyakini oleh para filsuf idealisme. Manusia tidak bisa dipisahkan dengan alam karena manusia merupakan bagian dari alam.

Ketika manusia lahir, jiwa dan fikiran manusia dalam keadaan kosong seperti kertas putis yang masih bersih belum ada coretan tintanya, sehingga untuk menuliskan tinta-tinta di kertas kosong tersebut manusia harus mengisinya dengan pengetahuan. Dalam aliran realisme meyakini bahwa yang dilihat dan  dirasakan oleh alat indra kita merupakan nyata sehingga dengan alat indra tersebut pula manusia mendapatkan pengetahuan.

Menurut aliran realisme manusia tidak bisa dipisahkan dengan alam, sehingga manusia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan, namun tidak hanya lingkungan alam saja, manusia juga harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial, itu merupakan tujuan pendidikan dari aliran realisme, karena dalam realisme  ini manusia atau siswa harus bisa beradaptasi dengan lingkungan , sehingga dalam kurikulum pendidikannya berpusat pada masyarakat. Untuk mencapai sistem pendidikan yang baik, menurut aliran realisme siswa harus mencapai prestasi sesuai apa yang menurut gurunya baik, guru pula lah yang menguasai kelas, sehingga dalam hal ini metode yang digunakan itu bersifat otoriter, karena siswa hanya sepenuhnya ikut apa yang diinginkan guru, dan guru juga yang berkuasa dalam kelas.

Namun menurut saya aliran realisme ini ada sedikit kekurangan, seperti dapat kita lihat ketika kita memahami tujuan pendidikan menurut aliran realisme yang ingin mengarahkan pendidikan agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu berarti bakat, minat dan tujuan pribadi siswa kurang dihargai, karena ketika siswa harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan berarti siswa harus memendam apa yang diinginkannya ketika yang diinginkannya tersebut tidak sesuai dengan keadaan lingkungan sekitar. Begitupun dengan guru yang berkuasa penuh di dalam kelas dan siswa harus mencapai prestasi yang baik menurut gurunya, namun hal yang menurut gurunya baik belum tentu menurut orang lain baik. Siswapun tidak dapat berkreasi di kelas untuk menciptakan kelas yang nyaman menurut siswa dalam proses pembelajaran karena semua telah diatur penuh oleh guru.

Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Pragmatisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut aliran ini bahwa segala sesuatu yang telah terjadi dan dialami manusia atau pengalaman itu merupakan hal yang terjadi ketika adanya hubungan dan interaksi yang didalamnya individu tersebut terlibat dan pengalaman tersebut terus menerus berubah. Begitupun dengan dunia ini yang sedang dan akan terus berubah, namun kita sebagai manusia tidak dapat menghindar dari perubahan dan permasalahan yang akan muncul di dunia ini selama kita menjalani hari-hari dan selama pengalaman-pengalaman yang akan kita lalui itu terjadi.

Segala sesuatu dapat diperoleh dari pengalaman, dan pengalaman mengenai fenomena itu menentukan pengetahuan, namun karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengalaman itu terus menerus berubah maka pengetahuan dan kebenaran mengenai fenomena itu pun pasti akan berubah.

Dalam bidang pendidikan aliran Pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus memiliki tujuan untuk menyediakan pengalaman yang dapat berguna untuk memecahkan permasalahan ataupun hal-hal baru dalam kehidupan individu itu sendiri ataupun kehidupan sosialnya. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut maka diharapkan kurikulumnya pun dapat menunjang, dengan tujuan pendidikan yang seperti itu maka kurikulumnya pun harus berisi tentang pengalaman-pengalaman yang memang sudah teruji yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.

Karena kurikulum ini berisi tentang pengalaman maka kurikulum ini pun tidak bersifat mutlak, namun dapat berubah. Sehingga para pendidik pun diharapkan untuk dapat membimbing siswa agar dapat menemukan pengalaman yang dapat dijadika pelajaran dan berharga bagi individu namun tidak terlalu ikut campur dengan minat dan kebutuhan yang dimiliki oleh siswa.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman dan pengalaman akan terus berubah, maka apakah di dunia ini tidak ada ilmu yang pasti, sehingga kemungkinan pula pendidikan akan berubah-ubah, apabila sering berubah-ubah maka tujuan pendidikan yang akan dicapai menjadi tidak jelas, sehingga dengan ketidak pastiannya itu bukannya kita dapat memperbaiki sistem pendidikan namun mungkin pendidikan lambat laun akan kehilangan arah.

Filsafat Pendidikan Scholastisisme

Aliran dalam filsafat pendidikan lain diantaranya adalah scholastisisme, dalam aliran ini para filsuf scholastisime meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Tuhan. Sehingga Tuhan merupakan Pencipta dan Sumber Kebenaran sejati. Manusia dapat memperoleh kebenaran yang sejati tersebut dengan keimanan, namun para filsuf scholastisisme pun tidak memungkiri bahwa kebenaran dapat kita dapatkan dengan cara berfikir mengenai benda-benda yang nyata. Manusia hidup di dunia harus selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat dekat dengan Tuhan karena Tuhan merupakan kebaikan terakhir dan tujuan hidup manusia adalah untuk kembali kepada Tuhan.

Dari beberapa uraian mengenai aliran scholastisisme diatas para calon pendidik dapat menerapkan pemikiran aliran scholastisisme tersebut dalam pendidikan dengan menggunakan kurikulum pendidikan yang tidak hanya berisi tentang pengetahuan tentang ilmu kemanusiaan saja, namun juga isi pendidikan harus berisi tentang ilmu agama, karena sesuai dengan tujuan pendidikan menurut aliran scholastisisme yaitu pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelektual saja atau bukan hanya untuk bekal kehidupan bahasia di dunia saja karena manusia juga harus diberi pengetahuan tentang agama, dengan pengetahuan agama manusia diharapkan bisa dekat dengan Tuhan, untuk mencapai hidup selamat di dunia dan akherat.

Dalam hal ini seorang guru diharapkan dapat menjadi teladan yang baik untuk siswa, guru juga harus dapat berbuat kebajikan sehingga apabila sikap guru yang selalu berbuat kebajikan dan dapat ditiru oleh siswanya maka tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai, namun tidak lupa pula guru harus tetap dapat memberi siswa bantuan untuk dapat mengembangkan pengetahuan umum, terampil dalam berpikir.

Aliran scholastisisme menurut saya sudah hampir sempurna, karena dalam pendidikan siswa tidak hanya dibimbing dalam pengetahuan intelektual saja namum diarahkan untuk menjadi manusia yang dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akherat.

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Selain aliran-aliran yang telah di jelaskan diatas, dalam filsafat pendidikan pun masih terdapat aliran eksistensialisme. Dalam aliran eksistensialisme ini beranggapan bahwa benda-benda yang ada di sekeliling kita itu terletak begitu saja tanpa ada hubungannya dengan manusia, namun akan berarti apabila memang benda tersebut dihubungkan dengan manusia. Tidak hanya benda yang menurut aliran eksistensialisme terletak begitu saja, namun manusia pun berada dibumi seperti terdampar, karena manusia tidak mengetahui mengapa dia ada di dunia ini, dengan tujuan apa manusia  diciptakan.

Walaupun pada awalnya manusia tidak mengetahui dengan tujuan apa manusia diciptakan didunia ini, namun bukan berarti dengan keberadaan manusia di dunia ini manusia hanya berdiam diri saja, akan tetapi manusia harus dapat melanjutkan eksistensinya, manusia diberi kebebasan untuk dapat menetapkan pilihan namun tentu saja harus bertanggung jawab dengan apa yang memang sudah menjadi pilihannya.

Manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, namun ari pengalaman menurut filsuf eksistensialisme adalah pengalaman yang terjadi dan terhayati oleh individu itu sebagai pribadi.
Para filsuf eksistensialisme berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk membantu siswa mendapatkan pengalaman yang luas sehingga dapat menjadikan pelajaran untuk mewujudkan eksistensinya sebagai manusia. Sehingga guru berperan sebagai pembimbing, guru tidak boleh memaksakan kehendak  pribadi ataupun tujuan-tujuan yang  merupakan keinginan pribadi dari pendidik itu sendiri.

Dalam aliran eksistensialisme manusia banyak diberikan kebebasan, begitupun penerapannya dalam pendidikan aliran eksistensialisme ini memberi kebebasan kepada individu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan kegiatan belajar sendiri, karena menurut para eksistensialis tujuan pendidikan yang paling utama adalah untuk membantu siswa secara individu. Guru hanya membimbing siswa ketika siswa menghadapi masalah untuk memberi pemahaman kepada siswa mengenai masalah yang sedang dihadapi siswa sehingga siswa dapat menyelesaikan masalahnya.

Setiap aliran dalam filsafat pendidikan pasti mempunyai kekurangan, seperti halnya aliran eksistensialisme. Karena menurut saya dalam aliran ini manusia terlalu diberi kebebasan, sehingga mungkin saja ada beberapa orang yang menyalah gunakan kebebasan tersebut. Jika memang manusia diberikan kebebasan seharusnya ada pedoman yang membatasi kebebasan yang seperti apa yang bisa kita pilih sebagai salah satu wujud cara manusia melanjutkan eksistensinya.

Progresivisme

Progresivisme merupakan gerakan pendidikan yang dipelopori oleh suatu perkumpulan yang dilandasi oleh konsep-konsep filsafat, namun ada pula yang berpendapat bahwa progresivisme adalah aliran dari filsafat. Filsafat Pragmatisme merupkan aliran filsafat yang menjadi landasan bagi gerakan progresivisme, karena progresivisme dan filsafat pragmatisme berada pada zaman yang sama sehingga banyak kesamaannya.

Kesamaan tersebut dapat dilihat dari pendapat progresivisme dan aliran pragmatisme mengenai sumber pengetahuan yang manusia peroleh, ke duanya berpendapat bahwa pengalaman merupakan sumber dari pengetahuan, dan kebenarannya pun dapat berubah sesuai dengan pengalaman yang dialami.  Serta nilai-nilai itu bersifat relatif, tidak eksklusif.

Progresivisme menentang pendidikan yang bersifat otoriter dan proses pembelajaran yang menjenuhkan untuk siswanya. Pendidikan dianggap mampu membina kebudayaan baru sehingga dapat membantu manusia menghadapi masalah-masalah di hari yang akan datang,maka individu-individu yang membangun kebudayaan baru tidak mewarisi nilai-nilai dari generasi yang telah lalu.

Pendidikan memiliki tujuan untuk menghasilkan peserta didik yang mempunyai keahlian dalam memecahkan masalah, bukan hanya masalah pribadi saja namun juga masalah sosial yang timbul, sehingga metode yang sesuai adalah metode pemecaha, penyelidikan dan penemuan masalah. Untuk itu pendidik harus bisa membimbing siswa agar ketika siswa menemukan masalah siswa dapat menyelesaikannya.

Dilihat dari pendapat progresivisme mengenai sumber pengetahuan manusia adalah pengalaman, namun mengapa progresivisme tidak mewariskan nilai-nilai yang ada dari generasi terdahulu, bukankan apabila ada pengalaman berarti kita telah melawati masa terdahulu dan pernah mengambil suatu pelajaran dimasa terdahulu itu. Jadi tidak ada salahnya bagi seorang pendidik untuk mengajarkan atau memberi tahu nilai-nilai warisan dari generasi terdahulu sebagai pembelajaran dan pengetahuan untuk generasi saat ini dan lebih baik jika kebudayaan itu tidak ditinggalkan.

Esensialisme

Sama halnya dengan progresivisme, esensialisme merupakan gerakan  pendidikan dan juga sebagai bagian dari aliran filsafat pendidikan. Esensialisme didukung oleh aliran filsafat Idealisme dan Realisme. Namun walaupun Idealisme dan Realisme mendukung Esensialisme namun mereka tidak menyatu karena masing-masing aliran tersebut masih tetap pada pendapatnya.

Esensialisme berkeyakinan bahwa dunia ini dikuasai oleh tata atau order tertentu yang mengatur dunia ini, sehingga perilaku manusia, benda-benda yang ada di dunia ini harus sesuai dengan tata tersebut. Dalam aliran ini berusaha untuk mencari dan mempertahankan sesuatu apapun yang bersifat mutlak yang menentukan keberadaannya.

Dalam hal pendidikan esensialisme beranggapan bahwa pendidikan harus dibangun dengan nilai-nilai yang sudah ada dan  teruji kebenarannya dari waktu ke waktu.Sehingga bagi para pengikut aliran esensialisme ini pendidikan merupakan usaha manusia untuk menjaga kebudayaan. Karena kebudayaan yang telah teruji merupakan esensial yang dapat memberikan arah untuk kehidupan manusia dimasa kini dan masa yang akan datang.

Maka tujuan dari pendidikan adalah untuk memelihara kebudayaan untuk menjamin hubungan sosial yang baik dan menciptakan kesejahteraan umum. Untuk itu guru harus berperan sebagai penghubung antara kehidupan masyarakat dengan diri siswa,dalam proses pembelajarannya guru harus menekankan pada kedisiplinan dan kerja keras.

Menurut saya esensialisme jangan hanya membangun pendidikan dari nilai-nilai yang sudah ada saja, namun pendidikan juga harus bisa memberikan inovasi, pendidikan juga harus terus mencari dan melahirkan nilai-nilai yang baru sehingga dapat menyempurnakan sistem pendidikan.

Perenialisme

Perenialisme ini lahir karena sebagai reaksi terhadap kehidupan manusia modern yang krisis kebudayaan. Perenialisme berpendapat bahwa realitas itu bersifat umum, ada dimanapun dan sama di setiap waktu. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui berpikir, dengan itu manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang diri individu dan dunia.

Tetapi manusia akan mendapat pengetahuan yang sesuai apabila pengetahuan tersebut didapatkan berdasarkan bantuan wahyu, dan pengetahuan yang berdasarkan wahyu merupakan pengetahuan yang paling sempurna atau paling tinggi. Hakikat nilai menurut aliran perenialisme adalah nilai-nilai yang bersifat spiritual karena sifat spiritual merupakan sesuatu nilai yang sempurna dan  bersumber dari Tuhan.

Perenialisme mengakui bahwa science dan filsafat mempunyai hubungan dengan filsafat, namun filsaf at mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ketimbang science, karena filsafat merupakan induk ilmu. Science memiliki ketergantungan tersendiri terhadap filsafat  untuk mendapatkan asas-asas mendasar pengetahuan.

Bagi perenialisme pendidikan adalah proses pengembalian manusia sekarang seperti kebudayaan manusia dimasa yang terdahulu, karena perenialisme beranggapan bahwa kebudayaan dimasa yang lalu merupakan kebudayaan yang ideal. Prinsip-prinsip pendidikan bersifat universal dan abadi. Selain itu pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan pendidikan itu merupakan hidup itu sendiri.

Karena menurut perenialisme ini nilai-nilai bersifat universal maka tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membantu siswa menemukan dan menerapkan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar  kita bisa mencapai dan menerapkan kebajikan dan kebenaran  dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga peranan guru disini adalah sebagai orang yang membantu siswa mengembangkan potensi dalam diri siswa dan melakukan otoritas moral untuk anak didiknya. Untuk bisa mewujudkan itu maka seorang guru harus sering mengajak siswanya membaca buku dan diskusi. Kurikulumnya pun berpusat pada materi pembelajaran. Sebagai pusat kurikulum maka materi pelajaran yang akan diberikan kepada anak didik harus bersifat universal, abadi dan formal.

Namun menurut saya apabila pengetahuan yang sempurna hanya bisa didapatkan dengan bantuan wahyu, maka selama tidak mungkin kita sebagai manusia biasa akan mendapatkan pengetahuan yang sempurna secara langsung, karena hanya orang tertentu saja yang bisa mendapatkan wahyu.

Anggapan perenialisme bahwa pendidikan adalah sebagai proses pengembalian manusia masa sekarang ke masa terdahulu menurut saya kurang tepat, karena dengan pendidikan manusia banyak yang berinovasi banyak menemukan penemuan-penemuan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia saat ini ataupun masa yang akan datang. Contohnya saja ketika zaman dahulu manusia akan bepergian dari satu pulau ke pulau yang lain  butuh waktu yang sangat lama, karena pada masa itu belum ada kendaraan, namun sekarang berkat pendidikan, nberkat kemajuan teknologi manusia dapat pergi keluar negeri mungkin hanya menempuh waktu beberapa jam saja.

Namun bukan berarti kita harus melupakan masa yang lalu, karena dengan masa lalu kita bisa belajar dengan pengalaman yang memang sudah terjadi, namun bukan berarti kita harus kembali kemasa lalu itu.

Filsafat Pendidikan Konstruktivisme

Filsafat Konstruktivisme memberikan kontribusi yang berarti dalam dunia pendidikan terlebih dalam bidang pendidikan sains dan matematika. Menurut Konstruktivisme sebuah kenyataan itu fenomena bagi yang menangkapnya dan dipahami betul-betul. Seseorang  mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa saja yang membangun pengetahuannya itu dan mengetahui bagaimana membuat atau mewujudkan sesuatu itu.

Menurut aliran konstruktivisme manusia itu harus aktif untuk membangun dan mencari pengetahuannya. Proses menjadi manusia ada dalam hubungan dengan lingkungannya, baik itu di lingkungan alam ataupun lingkungan manusiawinya. Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada, namun merupakan bentukan kenyataan dari kegiatan seseorang.

Bagi Konstrutivis kebenaran pengetahuan ituada tingkatannya, karena apabila kita menghadapi permasalahan belum tentu pengetahuan tersebut sesuai untuk memecahkan permasalahan tersebut, sehingga ada pengetahuan yang berlaku hanya untuk masalah tertentu saja adapula pengetahuan yang memang bisa berlaku untuk bisa menjadi solusi segala macam permasalahan.

Kontruksivisme beranggapan bahwa kegiatan pendidikan itu bukanlah suatu kegiatan memindahkan ilmu atau memindahkan pengetahuan dari seorang guru ke muridnya, namun guru berperan untuk membangun pengetahuan dalam diri siswa itu sendiri, memancing siswa untuk bisa bersikap kritis.

 Dengan ini dapat diketahui bahwa menurut kontruksivisme bahwa pendidikan itu bertujuan untuk lebih memfokuskan pada perkembangan konsep dan pengetahuan yang merupakan hasil dari pembangunan pengetahuan yang aktif oleh siswa itu sendiri.Karena siswa dituntut aktiv untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri maka kurikulum yang digunakan pun harus bisa ditemukan oleh diri siswa itu sendiri.
Aliran filsafat ini menurut saya banyak ketidakpastian, karena apabila seorang siswa harus mencari sendiri bagaimana pengetahuan itu dapat ia peroleh dan dapat dia bangun dalam dirinya maka mungkin banyak siswa yang kebingungan, seharusnya ini merupakan tugas seorang pendidik untuk dapat mengidentifikasi setiap anak didiknya untuk dapat memberikan kenyamanan dalam mentransfer ilmu yang pendidik miliki.

Filsafat Pendidikan Nasional:Pancasila

Pancasila merupakan dasar dan filsafat hidup bagi negara kita, Negara Republik Indonesia. Maka sesungguhnya negara kita memiliki filosofis pendidikan sendiri dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengkaji nilai yang terkandung dalam pancasila untuk dijadikan titik balik untuk praktek pendidikan di Indonesia.

Bangsa Indonesia meyakini bahwa adanya alam semesta ini tidak hanya ada begitu saja namun ada yang menciptakan yaitu Tuhan YME. Begitupun manusia, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diberi potensi oleh Tuhan untuk dapat beriman dan berbuat baik,akan tetapi manusia pun dapat melakukan kejahatan karena Tuhan pun memberikan hawa nafsu dalam diri manusia.Manusia bisa memperoleh pengetahuan melalui utusan Tuhan ataupun lewat alam semesta dan termasuk hukum-hukumnya. Tuhan merupakan sumber pengetahuan yang utama dan  sumber pertama segala nilai.

Menurut aliran ini pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik dapat aktif mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Karena pendidikan merupakan usaha yang sadar maka pendidikan pasti mempunyai tujuan  yang jelas, maka menurut aliran ini tujuan dari pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, mandiri, menjadi warga negara yang baik. Tidak seperti aliran-aliran lainnya yang menerakan kurikulum secara menyeluruh namun di Negara kita Indonesia ini kurikulum disusun sesuai tingkatan jenjang pendidikan.

Maka untuk itu seorang pendidik harus bisa menjadi teladan bagi peserta didik,dan pendidik pun harus bisa memberikan siswa kesempatan untuk dapat belajar mandiri. Pada hakikatnya pendidikan diletakan pada usah untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik agar tidak hanya bisa mencapai perubahan namun juga diharapkan para peserta didik dapat menjadi agen atau pelopor dari suatu perubahan.

Setiap aliran dalam filsafat pendidikan pasti berusaha untuk menghasilkan pemikiran yang  sempurna untuk diterapkan dalam sistem pendidikan, begitupun dengan aliran filsafat pendidikan nasional, pancasila, sistemnya sudah cukup baik namun mungkin penerapannya saja yang masih banyak kekurangan, karena pendidik terkadang masih sulit untuk bisa mengidentifikasi potensi yang terdapat dalam diri peserta didik sehingga pendidik belum dapat mengarahkan ataupun mengembangkan petensi yang masih terpendam dalam diri peserta didik.

Etika dan Moral Pendidikan Indonesia

Sekolah sebagai siksaan yang tak tertahankan. (Rabindranath Tagore)

Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar (Bakruddin)

Sekolah itu menindas dan membelenggu (Paulo Freire)

Masing – masing dari kita mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan diri dari sistem sekolah karena hanya ditolak yang sanggup melaksanakannya.
Sekolah jauh lebih memperbudak orang dengan cara yang sistematis.
( Ivan Iiliek )

Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.
Guru menjadi agen pengawas, penindas,dan merendahkan martabat siswa.
Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar.
(Prof. Kurt Siregar)

Fungsi guru telah berubah menjadi fungsi pawang, maka kembalikanlah pawang itu menjadi guru lagi.
(Romo yb. Mangunwijaya)

Sekolah tidak wajib, tetapi belajar perlu
(Imam Supingi)

“Bila engkau melihat anak bangsa, lihatlah sebagaimana mawar, jika engkau melihat mawar janganlah engkau pandang durinya, sebab jika engkau pandang durinya engkau akan membayangkan tempat sampah dan lubang pembakarannya; maka lihatlah mawarnya, dan jika engkau melihat mawarnya maka engkau akan menjadi penjaga taman”
(Ki Hadjar Dewantara)

Dari persoalan diatas bisa dirasakan peradaban moral anak bangsa yang hanya dilihat dipandang durinya saja, sedang bingungkah kita atau kita sedang kehilangan jati diri untuk mendidik anak bangsa ini. Maka saya akan mengajak kembali ke jati diri bangsa.

PERADABAN BANGSA SENDIRI

Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yangkita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatinya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaan bangsa asing.
(Landasan Perjuangan Asas Tamansiswa 1922, asas ke 3)

MUTIARA MORAL DAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG HAMPIR TERLUPAKAN

Salah satu contoh yang akan saya paparkan dari mutiara moral, pendidikan di lapisan bangsa ini adalah alam pikiran Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswanya yang diwariskan kepada kita, namun kurang terpelihara adalah sepuluh fatwa untuk hidup merdeka, lima dharma (ciri khas pendidikan) yang disebut panca dharma, landasan perjuangan asas Tamansiswa 1922 dan dua puluh ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, kalau kita coba hubungkan hal tersebut siatas, akan tertulis dalam bentuk angka penjumlahan sebagai berikut :

10 + 5 + 7 = 20

 Artinya:


10 fatwa untuk hidup merdeka
  5 Panca dharma
  7 Landasan perjuangan asas Tamansiswa 1922
20 Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara
Kita akan ambil  dari 10 fatwa, No 1 dari panca dharma, No.1 dari asas Tamansiswa 1922, dan no.1 dari 20 Ajaran ki Hadjar Dewantara, dan kita hubungkan masing-masing No.1 terjadinya akan jawaban dimana letak moral dan pendidikan Indonesia itu?

No. 1 Fatwa untuk hidup merdeka adalah

1.    Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan.
Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu.
Ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala, mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).

No.1 Panca Dharma
1.    Kodrat Alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah satu dengan alam semesta ini.
Karena itu manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan.

No. 1 Asas Ketamansiswaan 1922
1.    Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrechf) dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheld) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya.
Tidak adalah ketertiban terdapat, kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.
Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groed) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (“regering-tucht en orde”, inilah perkataan opvoedkunde) itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak.
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. itulah yang kita namakan “Among Methde”.

No. 1 Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara
1.    CITA-CITA MANUSIA SALAM-BAHAGIA, DUNIA TERTIB-DAMAI
Cita-cita Ki Hadjar Dewantara dengan gerakan hidup Tamansiswa, yang dalam wujud geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah mewujudkan manusia salam- bahagia, masyarakat tertib – damai.
Hidup salam dan bahagia, yang berarti selamat lahirya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan sandang pangan, keperluan jasmaniah dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir dan gangguan batin, bebas dari ketakutan.
Orang tak akan bahagia apabila hidupnya hanya dengan kecukupan makanan dan pakaian, kalau dia hidup dalam ketidakbebasan dan ketakutan. Kecukupan sandang pangan tanpa kebebasan dan kemerdekaan jiwa, tak akan memberi bahagia.
Sebaliknya kebahagiaan tak akan ada selama orang masih menderita kekurangan keperluan jasmaninya. Ki Hadjar Dewantara mengiaskan orang yang serba cukup keperluan materiil tetapi jiwanya menderita, tak merasa bahagia, sebagai orang: “nunggang motor mrebes mili” (naik mobil dengan menangis), sedang orang yang melarat materiil tetapi merasa puas, merasa bahagia, digambarkan sebagai orang: “mikul dawet rengeng-rengeng” (memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), menggambarkan orang yang merasa tentram walaupun berat hidupnya.
Ki Hadjar mencita-citakan hidup manusia yang bahagia lahir dan batinnya. Tidak sebagai halnya orang yang serba kecukupan sandang pangannya tetapi jiwanya merintih, bukan pula orang yang selalu merasa puas dengan serba kekurangan keperluan jasmaninya.
Cita-cita hidup salam bahagia, hanya bisa dicapai dalam satu Masyarakat yang tertib damai, tata lan tentrem (orde en vrede).
Ketertiban menjadi syarat mendatangkan damai, tetapi ketertiban oleh karena paksaan dan tekanan tidak akan mendatangkan kedamaian hidup.
Tertib lahirnya, damai batinnya itulah masyarakat yang akan dicapai oleh Tamansiswa.
Salam bahagia bagi tiap orang tertib damai untuk masyarakat. Masyarakat tertib damai dengan orang-orang yang salam bahagia, orang-orang salam bahagia di dalam masyarakat tertib dan damai.

Dari cuplikan etika dan moral pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara inilah bisa kita jadikan sebagai sumber nilai-nilai kebangsaan dalam mempertahankan akibat pengaruh globalisasi, maka nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan dapat dijadikan basis dalam sistem pendidikan nasional kita.
Dengan ini dapat kita tarik garis simpul cuplikan karya Ki Hadjar Dewantara ini sebagai berikut :
Ilmu yang luhur dan mulia akan menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban manusia. Manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hokum kemajuan.
Pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan – hukuman – ketertiban itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak. Maka pelajaran berarti mendidik anak-anak bangsa ini akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan tenaganya.
Bukan manusia “ Nunggang motor bribes mili” (Naik motor dengan menangis), tetapi menjadi manusia “mikul daawet renggang-renggeng” (Memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), inilah gambaran manusia yang merasa tenteram walaupun berat hidupnya.
Secara etika dan moral pendidikan kita harus berlandaskan masyarakat yang tertib, damai, dalam dan bahagia yaitu dunia yang tatan lan tenterem. (orde en vrede).
Dengan ini pula saya lampirkan lebih lengkap karya Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswanya. Salam.
Fatwa Untuk Hidup Merdeka

    Untuk peneguh keyakinan perjuangan kita, Ki Hadjar Dewantara memberikan kita bundelan dan beberapa ajarannya, yang disebut Ki Hadjar sebagai “fatwa” akan sendi hidup merdeka”. Untuk diingat-ingat, direnungkan dan diamalkan:

1.    “Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu. Ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala, mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).

2.    “Suci Tata Ngesti Tunggal”
Dengan suci batinnya, tertib lahirnya menuju kesempurnaan, sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap peserta perjuangan Tamansiswa.
Fatwa ini juga sebagai candrasengkala, mencatat lahirnya Persatuan Tamansiswa (1853 dan 1923).

3.    “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”
Berdasarkan asas Tamansiswa, yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agamanya, bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya dan sama kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan kewajiban kemanusiaan, untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan bahagia dalam hidup batinnya. Jangan kita hanya mengejar keselamatan hidup lahir, dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.


4.    “Salam bahagia diri tak boleh menyalahi damainya masyarakat”
Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain yang seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan “hak diri” kalau tidak bersama-sama dengan ucapan “tertib damainya masyarakat”, agar jangan sampai hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup bersama, yang juga merusak kita masing-masing.

5.    “Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna”
Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan yang maha kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai seorang atau individu, sebagai bangsa maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.

6.    “Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan”
Berarti bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus ialah alam diri, alam kebangsaan dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari masing-masing manusia. Adanya perasaan ini tidak dapat diungkiri.

7.    “Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada Sang Anak”
Penghambaan kepada Sang Anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada Sang Anak, tetapi yang memerintahkan kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara, pada rakyat dan agama atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencapai rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.

8.    “Tetep – Mantep – Antep”
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus tetap hati. Tekun bekerja, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu “mantep”, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang akan dapat menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita.
Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita dan mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan “antep”, berat berisi dan berharga. Tak mudah dihambat, ditahan-tahan dan dilawan oleh orang lain.

9.    “Ngandel – Kendel – Bandel - Kandel”
Kita harus “ngandel”, percaya kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. “Kendel”, berani, tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya kepada Tuhan dan kepada diri sendiri. “Bandel”, yang berarti tahan, dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi “kandel”, tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.

10.    “Neng – Ning – Nung – Nang”
Dengan “meneng”, tentram lahir batin, tidak nerveus, kita menjadi “ning”, wening, bening, jernih pikiran kita, mudah membedakan mana hak dan mana batil, mana benar dan salah, kita menjadi “nung”, hanung, kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya “nang”, menang, dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.

    Sepuluh fatwa Ki Hadjar di atas itu merupakan welingan, pesanan dan amanat kepada kaum Tamansiswa yang berjuang menghadapi kesulitan hidup dan rintangan-rintangan yang hebat terutama di waktu jaman pemerintahan kolonial. Ia menjadi mantra yang menguatkan keyakinan perjuangan kaum Tamansiswa.

NGERTI – NGRASA – NGLAKONI
    Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran, dan cita-cita hidup yang kita anut, diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan.
    Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu syarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu.
    “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa amal perbuatan adalah kosong. Perbuatan tanpa ilmu pincang. Bagi pengikut dan peserta perjuangan haruslah penuh pengetahuan dan pengertian, penuh semangat dan kemauan dan sungguh-sungguh melaksanakan semua yang menjadi pengetahuan dan cita-citanya. Demikianlah diminta Ki Hadjar bagi tiap-tiap orang yang mengemban ayahan.

Penjelasan Ciri Khas PANCA DHARMA

1.    Kodrat Alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah satu dengan alam semesta ini. Karena itu manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan.

2.    Kemerdekaan mengandung arti bahwa kemerdekaan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang memberikan kepadanya hak untuk mengatur hidupnya sendiri (Zelfbeschikkingsrecht) dengan selalu mengingat syarat tertib damainya hidup bermasyarakat. Karena itu, kemerdekaan diri harus diartikan sebagai swadisiplin atas dasar nilai hidup yang luhur, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan dengan kehidupan bermasyarakat.

3.    Kebudayaan mengandung arti keharusan untuk memelihara nilai dan bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara kebudayaan nasional itu yang pertama dan terutama ialah membawa kebudayaan nasional kearah kemajuan dunia. Untuk kepentingan hidup rakyat lahir dan batin sesuai dengan perkembangan alam dan zamannya.

4.    Kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu bangsa dalam suka dan duka, serta kehendak untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak boleh bertentangan dengan dasar kemanusiaan, bahkan harus menjadi sifat, bentuk, dan laku kemanusiaan yang nyata, dan karena itu tidak mengandung rasa permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain.

5.    Kemanusiaan mengandung arti bahwa kemanusiaan itu ialah darma tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya. Keluhuran akal budi menimbulkan rasa dan laku cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan Yang Maha Esa seluruhnya, yang bersifat keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Karena itu, rasa dan laku cinta kasih harus tampak pula sebagai tekad untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.

ASAS TAMANSISWA 1922

1.    Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrechf) dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheld) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak adalah ketertiban terdapat, kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groed) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (“regering-tucht en orde”, inilah perkataan opvoedkunde) itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. itulah yang kita namakan “Among Methde”.

2.    Dalam sistem ini, maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja. Akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (sociaal belang).

3.    Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yangkita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatinya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaan bangsa asing.

4.    Oleh karena pengajaran yang hanya didapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada meninggikan pengajaran pengajaran kalau usahan meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.

5.    Untuk dapat berusaha menurut azas yang merdeka dan leluasa, maka kita hrus bekerja menurut kekuatan sendiri. walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

6.    Oleh karena itu kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan bisaa. Inilah yangkita namakan “zelfbedruipings systeem” yang jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.

7.    Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak.

AJARAN HIDUP KI HADJAR DEWANTARA

Tujuh pasal “ Asas Tamansiswa 1922 “ dilengkapi dengan sistem dan cara pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Tamansiswa, merupakan konsepsi kehidupan manusia baru, untuk manusia salam bahagia, masyarakat tertib damai ( penjelasan selanjutnya pada lampiran ).

Tamansiswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asa, sendi organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebisaaan hidup, sebagai syarat-syarat pelaksanaan dan perwujudan cita-cita kehidupan Tamansiswa. Tak benar orang yang memisahkan dan mau membedakan antara ajaran Ki Hadjar dengan asas dan dasar kehidupan Tamansiswa. Ki Hadjar berdiri tidak mau dengan “ Dewantara-isme “, “ Dewantara-leer “, atau “ Dewantara-methode “. Segala ajarannya, segala penemuannya diserahkan menjadi ajaran dan sistem Tamansiswa, menjadi ajaran “ Ketamansiswaan “.

Maka bila selanjutnya disebut Tamansiswa atau sistem Tamansiswa, adalah dimaksud ajaran Ki Hadjar Dewantara, yang tidak saja berlaku untuk penyelenggaraan pendidikan anak-anak dalam satu perguruan, tetapi dimaksudkan juga untuk mengatur kehidupan masyarakat, dalam kita berumah tangga, dan bahkan dalam kita bernegara.

1.    CITA-CITA MANUSIA SALAM-BAHAGIA, DUNIA TERTIB-DAMAI

Cita-cita Ki Hadjar Dewantara dengan gerakan hidup Tamansiswa, yang dalam wujud geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah mewujudkan manusia salam- bahagia, masyarakat tertib – damai.
Hidup salam dan bahagia, yang berarti selamat lahirya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan sandang pangan, keperluan jasmaniah dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir dan gangguan batin, bebas dari ketakutan. Orang tak akan bahagia apabila hidupnya hanya dengan kecukupan makanan dan pakaian, kalau dia hidup dalam ketidakbebasan dan ketakutan. Kecukupan sandang pangan tanpa kebebasan dan kemerdekaan jiwa, tak akan memberi bahagia. Sebaliknya kebahagiaan tak akan ada selama orang masih menderita kekurangan keperluan jasmaninya. Ki Hadjar Dewantara mengiaskan orang yang serba cukup keperluan materiil tetapi jiwanya menderita, tak merasa bahagia, sebagai orang: “nunggang motor mrebes mili” (naik mobil dengan menangis), sedang orang yang melarat materiil tetapi merasa puas, merasa bahagia, digambarkan sebagai orang: “mikul dawet rengeng-rengeng” (memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), menggambarkan orang yang merasa tentram walaupun berat hidupnya. Ki Hadjar mencita-citakan hidup manusia yang bahagia lahir dan batinnya. Tidak sebagai halnya orang yang serba kecukupan sandang pangannya tetapi jiwanya merintih, bukan pula orang yang selalu merasa puas dengan serba kekurangan keperluan jasmaninya.

Cita-cita hidup salam bahagia, hanya bisa dicapai dalam satu Masyarakat yang tertib damai, tata lan tentrem (orde en vrede).
Ketertiban menjadi syarat mendatangkan damai, tetapi ketertiban oleh karena paksaan dan tekanan tidak akan mendatangkan kedamaian hidup.
Tertib lahirnya, damai batinnya itulah masyarakat yang akan dicapai oleh Tamansiswa.
Salam bahagia bagi tiap orang tertib damai untuk masyarakat. Masyarakat tertib damai dengan orang-orang yang salam bahagia, orang-orang salam bahagia di dalam masyarakat tertib dan damai.

2.    KEMERDEKAAN DIRI, TERTIB DAMAI.

Hak kemerdekaan diri, -dulu disebut Zelfbeschik kingsrecht-, hak mengatur diri sendiri, dicantumkan sebagai asas Tamansiswa yang utama dan pertama,menjadi dasar mencapai cita-cita hidup salam bahagia dan masyarakat tertib damai. Pada masa lahirnya, pernyataan asas kemerdekaan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara sebagai dasar pendidikan anak-anak jajahan, merupakan pernyataan tantangan dan tantangan terhadap sistem pendidikan yang berlaku, yang dengan sistem kolonialnya ingin menjadikan anak-anak Indonesia berjiwa budak, supaya jadi anak jajahannya.
Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan sebagai dasar pendidikan anak-anak kita, atas kesadarannya bahwa mengisi jiwa merdeka pada anak-anak jajahan, berarti mempersenjatai bangsa dengan dengan senjata keberanian berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk mencapai kemerdekaannya. Selanjutnya jiwa merdeka itu merupakan syarat mutlak untuk mencapai hidup salam bahagia dan sebagai syarat terbentuknya dunia tertib damai.
Asas kemerdekaan diri menurut paham Tamansiswa ialah bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah hak tiap-tiap orang. Untuk mencapai hidup salam bahagia. Menurut faham Tamansiswa, hak kemerdekaan diri seseorang harus mengakui hak kemerdekaan orang lain. Ki Hadjar Dewantara mengatakan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh tertib dan damainya pergaulan hidup. Kemerdekaan seseorang tidak boleh dipergunakan untuk mengganggu tertib-damai. Ki Hadjar Dewantara memperingatkan : “Janganlah kamu mengucapkan kemerdekaan diri, kalau tidak diikuti dengan ucapan tertib damai”

3.    DEMOCRATIVE EN LEIDERSCHAP-DEMOKRASI DAN PIMPINAN KEBIJAKSANAAN.

Dasar kemerdekaan yang menjadi faham Tamansiswa jelas bedanya dengan kemerdekaan diri yang dimaksud oleh demokrasi ala barat yang bisaa disebut demokrasi liberal. Demokrasi liberal bersumber pada individualisme, yang kebebasan seseorang berarti hak orang itu untuk menindas kebebasan orang lain. Bahkan demokrasi yang dijalankan untuk menindas demokrasi itu sendiri.
Tamansiswa sejak lahirnya telah mengutuk demokrasi liberal sebagai bahaya demokrasi itu sendiri. Dengan mengemukakan “democratie en laiderschap”, yang mengakui hak kebebasan tiap-tiap orang, tetapi harus pula tiap-tiap orang mengakui adanya pimpinan untuk keselamatan dan kepentingan pergaulan hidup bersama.
Kemerdekaan diri seseorang sebagai dasar untuk mencapai salam-bahagia hidupnya, tidak akan tercapai tanpa tertib damainya masyarakat. Tak ada hidup salam bahagia dalam masyarakat yang tidak ada ketertiban dan kedamaian. Kepentingan seseorang untuk keselamatan hidupnya masing-masing, mengharuskan orang itu mengorbankan sebagian kemerdekaannya untuk kepentingan bersama, karena hanya dalam dan dengan masyarakat yang tertib damai, maka salam dan bahagia seseorang dapat diwujudkan.
“Democratie en leiderschap” yang menjadi faham Tamansiswa sejak lahirnya, menjunjung tinggi kebebasan tiap-tiap orang, tetapi mengakui adanya pimpinan untuk ketertiban dan kesemalatan bersama. Demokrasi dan pimpinan kebijaksanaan adalah cara dan ajaran hidup Tamansiswa. Demokrasi tanpa leiderschap menimbulkan chaos dan anarchie, membahayakan masyarakat. Leiderschap tanpa demokrasi menimbulkan tirani dan kewenangan-kewenangan, penindasan sesama manusia. Tamansiswa menyatakan bahwa sesuatu keputusan yang adil tidak didasarkan atas imbangan jumlah suara separo lebih satu sebagai dasar demokrasi liberal. Hal ini dinyatakan tegas-tegas dan dilaksanakan dengan cara, bahwa atas sesuatu yang asasi yang mengenai kehidupan seluruh keluarga  yang diperlukan kebulatan pendapat, kalau rapat untuk itu belum / tidak mencapai suara bulat, ditunda selama 24 jam, memberi istirahat dan menenangkan pikiran, agar dapat mempertimbangkan masak-masak, untuk mengambil putusan yang tepat.
Apabila untuk rapat kedua juga tidak didapat persetujuan secara bulat, maka terhadap soal itu tidak jadi diambil keputusan. Tidak ada pernyataan minderheidsnota (nota minorita), sebagai pernyataan tetap tidak setuju atas keputusan itu, yang seolah-olah minta dibebaskan dari tanggung jawab melaksanakan keputusan musyawarah yang telah dilakukan.
Demi kepentingan bersama orang tunduk kepada keputusan hasil musyawarah, tiada perkecualian kewajiban terhadap kepentingan bersama.

4.    SISTEM AMONG, TUTWURI HANDAYANI.

Dalam pelaksanaan asas kemerdekaan diri, tertib damai atau democratie en leiderschap dilakukan “Sistem Among” dan cara “Tutwuri Handayani”. Mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila keinginan anak akan membahayakan keselamatannya. Tutwuri Handayani, berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang dipimpinnya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Di dalam keadaan luar bisaa, maka pimpinan harus tegak, anggota dan anak-anak hanya tunduk pada pimpinan. Dalam keadaan semacam itu berlaku: Kedudukan pemimpin diatas peraturan.
Tamansiswa menyebut guru-gurunya “pamong” juru mendidik dan mengajar pelaksanaan sistem among.
“Sistem among” yaitu cara pendidikan yang dipakai dalam Tamansiswa, dengan maksud mewajibkan pada guru, supaya mengingati dan mementingkan “kodrat alam” anak-anak murid, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Karena itu, alat “perintah, paksaan dan hukuman”, yang biasa terpakai dalam pendidikan di jaman dulu, harus diganti dengan cara memberi tuntunan dan menyokong anak-anak dalam mereka tumbuh dan berkembang atas dasar kodratnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi tumbuh dan perkembangan sendiri itu, dan mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya. “Perintah” dan “Paksaan” hanya boleh dijalankan jika anak-anak tidak dapat dengan kekuatannya sendiri menghindarkan bahaya yang akan menimpanya. Hukuman tak boleh lain daripada sifatnya kejadian yang sebenarnya harus dialami oleh karena sesuatu perbuatan, dan bukan sebagai siksa dari orang lain.
Ki Hadjar memberi kias sistem among dengan gambaran bahwa guru terhadap murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap Juru Tani terhadap tanaman peliharaannya, bukannya tanaman ditaklukkan oleh kemauan dan keinginan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tanaman inilah yang menjadi kepentingan Juru Tani.
Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan jenis tanaman menjadi tanaman jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tanaman padi mempercepat buahnya supaya lekas masak menurut kemauannya karena kepentingan yang mendesak, memerlukan beras untuk segera ditanak.
Juru Tani harus tahu akan sifat dan watak serta jenis tanaman, perbedaan antara padi dengan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing agar tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Karena itu Juru Tani harus faham akan ilmu mengasuh tanaman, untuk dapat bercocok tanam dengan baik, agar dapat menghasilkan tanaman yang subur dan buah yang baik.
Oleh karena itu Juru Tani tidak boleh membheda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Segala yang dapat dipakai untuk usaha menyuburkan tanaman menurut “kodrat alam” harus digunakan.
 
5.    MERDEKA, KESANGGUPAN DAN KEMAMPUAN UNTUK BERDIRI SENDIRI.

Menurut faham Tamansiswa, kemerdekaan seseorang tidak saja berarti bebas lepasnya orang itu dari perintah dan penguasaan orang lain, tetapi juga berarti sanggup dan kuatnya berdiri sendiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain.
Kidung “Wasita Rini” gubahan Ki Hadjar mengutamakan “....................... Mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, ning uga kuwat kuwasa, amandiri priyangga.................” (mardika berarti tidak saja bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tetapi berarti kuat dan mampu mandiri sendiri). Kalau kita ingin menjadi orang merdeka, harus sanggup berdiri sendiri, tidak menggantungkan dan mengharapkan bantuan orang lain.
 
6.    ZELFBEDRUIPINGSYSTEEM – OPOR BEBEK MATENG SAKA AWAKE DEWEK.

Untuk hidup merdeka tidak tergantung pada pertolongan orang lain. Tamansiswa mendasarkan cara hidupnya atas sistem opor bebek, membiayai hidupnya dari usaha sendiri, sebagai masakan opor itik, yang dapat masak oleh minyak yang ada pada badannya sendiri.
Bantuan dari manapun datangnya dan berapa jumlahnya dapat diterima, asal tidak mengurangi kemerdekaannya. Syarat yang bagaimanapun kecilnya, dalam pemberian bantuan, yang bersifat mengurangi kemerdekaan hidup Tamansiswa harus ditolaknya.
Dengan konsekuen Tamansiswa melaksanakan sistem ini, dan menolak tiap-tiap bantuan dengan ikatan, dari mana saja datangnya, oleh karena penerimaan subsidi dari Pemerintah kolonial berarti mengikatkan diri dan sedia tinduk kepada peraturan-peraturan yang pasti akan menghilangkan kemerdekaan hidupnya.
Tidak banyak di jaman penjajahan orang atau golongan yang berani menolak pemberian Pemerintah, oleh karena berat konsekuensinya. Tetapi dengan tekat kuat Tamansiswa menolak tawaran subsidi Pemerintah kolonial itu.

7.    HIDUP HEMAT DAN SEDERHANA.

Tekat ingin merdeka, dan kemerdekaan tidak mau dikuasai orang lain, dengaan melaksanakan sistem opor bebek (zelfbedruipsysteem) membawa akibat hidup yang berat. Penghasilan Perguruan yang semata-mata di dapat dari bantuan rakyat berupa uang sekolah yang sangat kecil, menekan hidup Tamansiswa dengan segenap keluarganya harus menyesuaikan dengan keadaan dan kekuatan keuangan yang lemah. Kemampuan rakyat yang berani dan mau menyerahkan anaknya sekolah di Tamansiswa, musuh pemerintah yang sedang berkuasa, yang rata-ratanya terdiri dari golongan yang tidak mampu, menyebabkan kehidupan materiil keluarga Tamansiswa sangat berat.
Tekat kuat melaksanakan sistem opor bebek, disertai dengan kesanggupan tahan menderita tekanan hidup, meminta keberanian hidup secara hemat dan sederhana. Sanggup hidup dengan belanja yang sesuai dengan penghasilan yang diterimanya.
Berani hidup hemat dan sederhana, sebagai akibat tidak mau menerima bantuan orang lain yang mengikat, konsekuensinya orang yang ingin hidup merdeka, tidak mau menjadi budak orang lain.
Hidup sederhana yang kenyataannya hidup melarat oleh keluarga Tamansiswa dengan tawakkal, yang dirasakan sebagai keharusan akibat cita-citanya. Karena tekat dan keyakinannya bahwa untuk mencapai hidup salam bahagia dan masyarakat tertib damai, harus sanggup mengalami penderitaan hidup.
Siapa ingin bebas merdeka, harus berani hidup tidak menggantungkan pertolongan orang lain. Siapa akan hidup tidak menggantungkan pertolongan orang lain, harus berani hidup dari hasil usahanya sendiri. Untuk hidup dari usahanya sendir, harus sanggup dan bersedia hidup hemat dan sederhana, hidup yang sesuai dengan penerimaan dan pengeluaran. Hidup melampaui batas kemampuan usahanya, akan membawa seseorang tergantung dari hutang yang membelenggu dirinya, dan hilanglah kemerdekaan, dikuasai orang yang menghidupinya.

8.    KEKELUARGAAN – SALAM BAHAGIA – ADIL MAKMUR.

Segenap anggota Tamansiswa, yang mengabdikan dirinya pada sang anak, hidup bersama-sama dalam satu lingkungan hidup keluarga. Ki Hadjar menyebutkan sebagai ikatan “keluarga suci”, satu keluarga yang terbentuk oleh kesamaan dan kesatuan tekat, satu perjuangan dengan satu cita-cita hidup, ialah cita-cita hidup ke Tamansiswaan. Bukan keluarga oleh pertalian turunan darah, bukan pula karena “Serasa setekat selakon” (sefaham, secita-cita dan seperjuangan).
Sebagai satu kesatuan hidup, Tamansiswa mengatur dirinya dengan cara dan sistem “Kekeluragaan”, satu pergaulan hidup yang berdasarkan hubungan antara sesama saudara, sesama keluarga. Saudara dari satyu kandungan cita-cita, ialah hubungan cita-cita Tamansiswa.
Atas pertalian kekeluargaan, berkumpul dan bersatulah orang-orang Tamansiswa, apa juga keyakinan politik dan agamanya, dari manapun asal keturunan suku dan daerah kelahirannya. Dalam satu keluarga orang hidup bersama berdasarkan cinta dan kasih sayang. Tiada penindasan dan pemerasan diantaranya. Tak seorang kuasa atas orang yang lain. Antara kakak dan adik, antara anak dan ibu bapak tidak ada main kuasa-kuasaan, segalanya berlaku atas dasar hubungan kasih sayang, dan bersama-sama mewujudkan keselamatan diri dan keselamatan seluruh keluarga. Keselamatan dan kebahagiaan hidup sekeluarga menjadi pokok pangkal segala perhitungan.
Dalam kehidupan satu keluarga berlaku dasar persamaan penghargaan derajat kemanusiaan atas tiap-tiap orang anggota keluarga itu, bagaimanapun berbeda-beda kecakapan dan tugas pekerjaannya, tetap sama haknya bagi tiap-tiap anggota keluarga dalam mengatur kehidupan bersama. Karena sama pula kewajibannya untuk mendatangkan keselamatan bersama bagi segenap keluarga, walaupun jenis pekerjaannya akan berbeda-beda menurut pembagian bidang dan jenisnya, dan berbeda pula berat ringannya beban berdasarkan perbedaan kekuatan dan kecakapan.
Dalam satu keluarga sama-sama mendapat bagian rejeki yang merata di antara seluruh keluarga, dan sama pula derajat dari kedudukan sosialnya, tak satu lebih rendah dari yang lain dalam penghargaan sosialnya. Dalam kehidupan keluarga berisi dan berlaku: demokrasi politik, demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.
Dalam Tamansiswa hal ini berlaku dan dilaksanakan :
a.    Tiap – tiap anggota sama haknya dalam turut mengatur persatuan (organisasi) Tamansiswa, tak ada perbedaan satu dengan lainnya. Tiap anggota mempunyai kemerdekaan dan kebebasan.
b.    Tiap orang Tamansiswa sama derajat sosialnya, sebagai orang-orang dari satu “turunan Tamansiswa” dan satu “kasta Tamansiswa”. Ki Hadjar telah memberi contoh menghilangkan titel bangsawannya, untuk menghilangkan halangan yang memenggali hubungan antara sesama orang.
Digambarkan dengan sebutan yang sama bagi seluruh pamong.anggota Tamansiswa. Sebutan Ki untuk semua anggota lelaki, Nyi untuk anggota perempuan yang sudah kawin dan Ni bagi yang belum kawin. Hapuslah dalam Tamansiswa sebutan-sebutan yang berdasarkan tingkat turunan, dan jadilah orang-orang Tamansiswa satu turunan, “turunan Tamansiswa”, dengan Bapak Ki Hadjar Dewantara.
Hubungan antara murid dan guru berlaku sebagai hubungan antara anak dengan orang tua, ibu bapaknya. Murid memanggil guru Bapak dan Ibu, yang pada waktu itu (jaman Belanda) murid-murid sekolah negeri dan sekolah-sekolah lainnya memanggil menir kepada guru lelaki dan menpro / jipro kepada guru perempuan, ndoro, engku, dan lain-lain panggilan, yang menggambarkan hubungan yang jauh antara murid dan guru. Antara sesama anggota / pamong berlaku panggilan saudara, kakak, atau adik.
Sekarang panggilan Bapak dan Ibu sudah merata diakui hubungan dalam masyarakat, walaupun terkadang masih bernada “Bapak Tuan atau Bapak ndoro”.
c.    Dalam soal pembagian rejeki berlaku bahwa pembagian nafkah berdasarkan kepentingan keluarga. Orang yang tanggungan keluarganya besar, anaknya lebih banyak menerima nafkah lebih besar, apa juga ijasah dan tingkat pendidikan ataupun jabatannya. Sebelum di kalangan Pemerintahan berlaku “tunjangan keluarga” seperti sekarang, dan di jaman Pemerintah Belanda hal ini tidak berlaku, Tamansiswa telah sejak semula lahirnya menentukan nafkah pamong-pamongnya berdasarkan kebutuhan hidup keluarga. Arti kata nafkah sendiri dimaksudkan “biaya hidup” berdasar kepentingan hidup. Sebagai senda gurau Ki Hadjar, yang kemudian menjadi kebiasaan dan sistem ialah akte yang bisa menambah dan menaikkan nafkah ialah beristri/bersuami dan mempunyai anak, yang oleh Ki Hadjar dinamakan “hoofdacte” (akte kepala), akte tinggi bagi guru-guru di jaman Belanda untuk guru yang sudah beristri/bersuami, dan mendapat “bij acte” (akte tambahan) untuk guru yang sudah mempunyai anak. Sekaligus juga menentukan bahwa guru yang sudah kawin itu lebih masak jiwanya.
Dalam Tamansiswa berlaku syarat menjadi Ketua Perguruan harus sudah kawin.
Cara penentuan nafkah masing-masing anggota, oleh karena ukuran ijasah, tingkat jabatan dan perbedaan tugas tidak menjadi dasar dan kurang diperhitungkan, dan sebagai dasarnya ialah keperluan hidup keluarga, dulu biasa dilakukan dengan cara : tiap-tiap orang dipetimbangkan sendiri-sendiri. Orang yang sedang dipertimbangkan besar kecilnya nafkah meninggalkan rapat, tidak turut mempertimbangkan. Demikian selanjutnya terhadap anggota lainnnya. Biasanya putusan itu dianggap adil dan diterima penentuan keluarganya. Tidak ada peraturan nafkah yang sama untuk seluruh persatuan, oleh karena keadaan keuangan antara satu cabang dengan cabang lainnya berbeda-beda menurut keadaan masing – masing.
Apabila karena keuangan tidak memungkinkan pembagian nafkah secara teratur oleh karena sedikitnya uang yang harus dibagi, beberapa orang hidup dengan dapur bersama (sistem centrale keuken, dapur umum), sedang sisa uang selebihnya sesudah diambil untuk belanja makan bersama, dibagi sebagai uang saku. Untuk memberi kebebasan kepada anggota, karena selera orang tidak sama, maka yang dimasak bersama hanya nasi dengan lauk yang umum, umpamanya sayur, tempe/tahu, untuk memberi kesempatan anggota menambah lauk lainnya.
    Di cabang – cabang yang kecil, yang jumlah anggotanya belum banyak, biasany hal ini lebih mudah dilaksanakan, oleh karena               guru-guru tinggal dalam satu tempat, berdekatan.
    Di dalam Tamansiswa tidak terdapat hubungan majikan dan buruh, antara werkgever dan werknemer, antara pemberi kerja dan pekerja, yang didasarkan si majikan yangkuasa, si buruh hanya sebagai pekerja pengambil upah yang ditentukan upahnya oleh majikan semata-mata, pembagian tugas dalam Tamansiswa diatur bersama atau dasar kata sepakat, atas dasar tahu diri untuk menentukan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Karenanya di dalam Tamansiswa tidak mengenal istilah upah, dalam arti pemberian penghargaan kerja yang hanya ditetapkan oleh satu fihak yang memberi pekerjaan yaitu fihak majikan.

9.    TAMANSISWA MASYARAKAT TIDAK BERKELAS.

Dengan tegas Tamansiswa menolak dikenakannya peraturan “loonbelasting” (pajak upah) dari peraturan Pemerintah Hindia Belanda, yang dijalankan mulai tahun 1935. secara prinsipiil Tamansiswa menolak peraturan itu dikenakan kepada Tamansiswa. Dan akhirnya setelah lima tahun Tamansiswa berjuang menentang loonbelasting. Satu pengakuan dasar kekeluargaan dari Pemerintah Belanda, bahwa di dalam Tamansiswa tak mengenal buruh dan majikan.

10.    KEKELUARGAAN – DEMOKRASI DENGAN KEPEMIMPINAN.

Kehidupan satu keluarga menggambarkan di mana tiap-tiap orang dalam keluarga itu sama derajatnya, sama haknya, sama-sama bebas dan merdeka. Tetapi apabila kebebasan masing-masing itu akan mengganggu ketertibdamaian dan keselamatan keluarga harus ada tindakan penyelamatan yang tegas, kalau perlu secara keras harus dihukum anak yang mengganggu keluarga itu. Dalam hal keadaan yang membahayakan kehidupan keluarga, pimpinan keluarga (ayah atau ibu salah seorang diantaranya, atau terkadang anak yang tertua) bertindak tegas untuk menyelamatkan. Tidak jarang terjadi, bahwa seseorang anggota keluarga yang berbuat membahayakan atau mencemarkan keluarga mendapat hukuman yang berat, dikeluarkan dari keluarga (disebtrake), tidak diakui atau dianggap sebagai bukan anggota keluarga lagi. Di lain waktu orang yang telah disebratkan itu bisa diterima kembali (diampuni kesalahannya) atau mungkin selama-lamanya dikeluarkan dari keluarga itu. Dalam keluarga berlaku demokrasi dengan leiderschap.
Kekeluargaan mengenal adanya disiplin, tindakan penyelamatan yang terkadang keras seperti digambarkan diatas itu. Orang tidak boleh mempergunakan “kekeluargaan” sebagai kelemahan yang tidak sanggup menegakkan disiplin.
Ki Hadjar menggambarkan disiplin dalam keluarga sebagai halnya kalau ada luka pada tubuh badan kita. Apabila luka itu ringan dapat diobati dengan obat-obat luar, dengan salep dan lain-lain. Apabila jalan semacam itu tidak berhasil, dan kemudian luka itu makin parah, dan dengan demikian bisa membahayakan seluruh tubuh, harus dioperasi. Kalau perlu dipotong dan bagian yang akan membahayakan itu dibuang. Kejam nampaknya, tetapi apabila tidak demikian seluruh tubuh badan akan mendapat keracunan dan menghancurkan seluruh badan.
Dalam keadaan biasa, tidak ada apa-apa, anggota badan kita masing-masing merdeka dan bebas bergerak. Tangan, kaki, hidung, mata, telinga, masing-masing bergerak bebas.
Pada suatu malam, hujan, halaman becek. Perut sakit oleh karena siangnya terlalu banyak makan rujak. Harus kebelakang
Mata mengantuk, tidak mau melek. Salahmu sendiri, kata si mata, terlalu banyak kamu makan rujak. Kaki tidak mau melangkah, karena diluar becek. Tangan tidak mau membuka pintu, karena malas, mau mengaso, siangnya capai bekerja.
Apabila seluruh dan masing-masing anggota badan dibiarkan bebas semacam itu, sedang perut sakit dan harus kebelakang, maka akan terjadilah sesuatu yang akan mengotori seluruh badan. Maka pimpinan (otak) memberi perintah, untuk seluruh badan, kaki harus bergerak, mata harus melek, tangan harus bekerja, walaupun hujan dan becek harus berangkat. Perintah harus dijalankan, demi keselamatan bersama. Itulah kekeluargaan. Itulah demokrasi yang dibatasi dengan leiderschap untuk kebahagiaan dan keselamatan bersama.

11.    TERUG NAAR HET NATIONALE – KEMBALILAH PADA ASALMU.

Berdirinya Tamansiswa dengan nama dan merek “nasional” di tengah-tengah alam kolonial beserta syarat dan cara-cara pelaksanaan pendidikannya, merupakan pernyataan kesadaran bangsa dari kesesatan, siuman dari mabuk yang telah disesatkan dan diracuni oleh kolonialisme.
Tamansiswa menyadari betapa sudah jauhnya Belanda menyesatkan bangsa Indonesia, dan berapa dalam racun kolonialisme merasuk dalam jiwa dantubuh bangsa Indonesia.
Pernyataan pendirian perguruan nasional Tamansiswa merupakan canang pemanggil bangsa dan rakyat Indonesia dari sesatnya, untuk kembali kepada hidup pribadinya, ingat kepada sesatnya, untuk kembali kepada kepribadian nasionalnya. Pada tahun 1922, Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian nasionalnya., Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya.
Kembali kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju daripada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu.
Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, sesuatu bangsa akan lebih cepat maju.

12.    KEBANGSAAN – KODRAT ALAM.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kodrat alam itu menjadi petunjuk bagi hidup manusia, karena apa yang diwujudkan oleh atau dari dan di dalam kodrat alam itu merupakan sifat lahirnya kekuasaan dan ketertiban tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada satu kekuatan Tuhan itu tak terbatas. Oleh keadaan kodrat alamnya manusia sedunia bergolong-golong dengan sifat hidup masing-masing dan terjadilah bangsa-bangsa.
Hidup tiap-tiap bangsa di seluruh dunia bermacam-macam sifatnya, terjadi karena adanya perlawanan kekuatan-kekuatan yang berlaku dan yang menentangnya, baik kekuatan yang ada pada kodrat alam umumnya maupun yang ada pada tiap-tiap manusia. Perlawanan ini tak ada berhentinya dan tak terbatas luasnya, hingga lama-lama tambahlah ketertiban dalam hidup manusia dan keluasan peri kehidupan yang sama sifat dan bentuknya. Demikianlah terjadinya adat hidup alat adat istiadat dan timbulnya bangsa – bangsa di dunia.
Karena itu, kebangsaan menurut Tamansiswa adalah sifat khusus daripada manusia sedunia oleh karena pengaruh kodrat alam yang manusia tidak kuasa untuk menyamakannya.
Oleh keadaan kodrat alamnya manusia mempunyai kebiasaan – kebiasaan hidup, yang berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Karenanya pula berbeda cara pendidikannya, cara usaha penyempurnaan hidupnya.
Ibarat itik dengan ayam. Berbeda-beda kodrat pemberian Tuhan baginya. Si itik beralat paruh seperti sudu, si ayam berparuh untuk mencotok. Kaki si bebek dilengkapi dengan alat untuk berenang. Si ayam dengan cakarnya. Si ayam makan dengan mengais, si itik makan dengan menyudu. Kalau antara ayam dan itik berlomba hidup dengan alat hidupnya masing-masing, kalah menang akan bisa dicapai dengan ketangkasan yang dapat dipelajari. Tetapi kalau ayam disuruh berlomba melawan itik dengan berenang, si ayam pasti kalah dan mati tenggelam.
Demikian juga sebaliknya kalau si itik berlomba makan harus dengan cara si ayam, supaya mengais butir-butir makanannya, si itik akan kelaparan.
Demikianlah tiap-tiap bangsa menerima dari Tuhan oleh karena kodrat alamnya berbeda-beda keadaan alat kelengkapannya, walaupun manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya yang dapat menyesuaikan dirinya atau mendekati sifat-sifat bangsa lain, daripada sifat yang ada pada binatang. Salah satu sifat kebangsaan menurut faham Tamansiswa adalah kekhususan dari sifat-sifat manusia oleh karena kodrat alam, pemberian Tuhan.

13.    KEBANGSAAN – KEMANUSIAAN

Menurut Ki Hadjar Dewantara, hidup kebangsaan adalah “differensiasi” atau kekhususan hidup kemanusiaan sebagai kewajaran menurut dasar-dasar dan kepentingan yang khusus bagi hidup bangsa. Dasar dan syarat kebangsaan itu adalah akibat mutlak yang timbul karena tuntutan kodrat alam dan kehidupan bersama alam lingkungan masing-masing bangsa tadi. Karena itu hidup kebangsaan harus selalu sesuai dengan hidup kemanusiaan. Tidak boleh bertentangan, bahkan bertali erat dan merupakan kesatuan antara sifat-sifat yang khusus dan yang umum dalam hidup manusia di dunia.
Adat kebangsaan yang melanggar atau merugikan hidup kemanusiaan pastilah adat hidup yang salah dan harus dibatalkan dan dikeluarkan dari hidup dan penghidupan bangsa.
Secara populer Ki Hadjar memberikan contoh – contoh :
Walaupun kesenian tayuban itu nasional, dan menjadi kegemaran bangsa Indonesia Jawa, tetapi oleh karena adat itu bertentangan dengan perikemanusiaan, sebagai tindakan yang merendahkan golongan wanita, maka Tamansiswa mengharamkan seni tayuban itu. Walaupun adu jangkrik itu nasional, oleh karena perbuatan itu merupakan penyiksaan terhadap binatang, Tamansiswa tidak mengijinkan adu jangkrik.
Walaupun berkain panjang dan berikat kepala (udeng,blangkon) itu nasional, tetapi oleh karena untuk bekerja cekatan akan mengganggu dan berakibat merugikan hidup, umpamanya bagi seorang “kuli sepur” yang harus bergerak cepat, harus dan dengan sendirinya meninggalkan “pakaian nasional” yang menghambat kehidupan baru itu.
Tiap-tiap bangsa wajib menyesuaikan hidup dan penghidupannya dengan syarat-syarat kemanusiaan, tidak saja dengan membuang yang salah atau memperbaiki yang buruk dari kepunyaan kita yang ada, tetapi harus pula memasukkan nilai-nilai baru yang baik yang tadinya tidak ada.
Dalam kita menerima dan meniru kebudayaan orang asing, kita harus berlandaskan dan berdiri sebagai suatu bangsa yang berpribadi yang sanggup mempergunakan tiap-tiap barang baru yang dari manapun datangnya akan berguna dan akan lebih memudahkan cara kita mencapai hidup salam bahagia.
Tinggalkanlah adat bangsa yang sudah tidak sesuai dan merintangi kemajuan hidup kita. Terimalah barang baru dari bangsa lain yang menguntungkan kita. Demikian Ki Hadjar Dewantara.
Nasionalisme Tamansiswa adalah nasionalisme yang luas yang berdasarkan oeri kemanusiaan yang menentang chauvinisme.
Nasional sifatnya, kemanusiaan dasarnya.
 
14.    KEBANGSAAN – PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL.

Dengan menjunjung dan mengakui satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa Indonesia, Ki Hadjar memahamkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan pengertian, bahwa hidup tiap-tiap bangsa adalah pula bagian-bagian yang beraneka warna sifat dan bentuknya. Golongan-golongan itu terjadi karena pengaruh perhubungan, persangkutan dan perlawanan antara berbagai keadaan dan hidup manusia. Karena itu, menurut Ki Hadjar tiap-tiap golongan berhak dan wajar adanya. Persatuan dan kesatuan kebangsaan janganlah dicapai dengan mempersatukan atau menyatukan segala keadaan yang bermacam-macam, sifat dan bentuknya menurut kodratnya sendiri. Persatuan yang hak dan dapat berkembang menjadi kesatuan yaitu yang sesuai dengan kodrat alam. Inilah persatuan yaitu yang sesuai dengan kodrat alam. Inilah persatuan atau kesatuan yang terjadi karena kesamaan keperluan yang penting, bukan karena dipaksa mempersatukan atau menyatukan hal-hal yang perlu atau yang memang tidak mungkin dapat dipersatukan. Persatuan karena paksaan asal berkumpul menjadi satu akan merupakan “broze eenheid metvoze kern”-persatuan yang gropok yang kosong tak berisi, berkumpul berisi pertentangan, akhirnya akan pecah.
Janganlah untuk mempersatukan bangsa Indonesia orang harus menyatujeniskan model pakaian umpamanya, orang Jogjakarta harus menghilangkan “mondolan” Jogjanya, orang Sala harus menghilangkan “mondolan Salanya”, atau sebaliknya orang Sumatra harus dipaksa mengganti sarungnya dengan kain panjangnya dari Jawa.

15.    KEBANGSAAN – KERAKYATAN.

Kehidupan kebangsaan menurut faham Tamansiswa tidak boleh berpisah dan bertentangan dengan dasar kerakyatan. Menurut Ki Hadjar hidup sesuatu bangsa tidak boleh terlepas dari hubungannya dengan hidup manusia di dunia pada umumnya agar dapat menambah kekayaan lahir dan batin. Tidak pula boleh terlepas dari pertaliannya dengan hidup manusia di dalam daerahnya, agar dapat menimbulkan kebahagiaan dari rakyatnya. Karena itu kenasionalan menurut Tamansiswa tidak boleh memisahkan bangsa dari kerakyatan, karena inilah syarat yang akan dapat melepaskan kita sebagai manusia daripada ikatan-ikatan dan paksaan dalam hidup kebangsaan yang menyempitkan dan menyesatkan hidup kita.
Kebanggaan dari perjuangan Tamansiswa jelas tercantum dalam salah satu dari tujuh fasal penjelasan asasnya yang berbunyi sebagai berikut:
“Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil daripada rakyat kita itu berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu jumlah dari kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran kalau usaha untuk mempertinggi ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran bagi rakyat”.
Demikian Ki hadjar menekankan arti kepentingan rakyat banyak yang harus ditanamkan.

16.    TEORI TRIKON

Ki Hadjar menjelaskan sikap dan sifat hidup Tamansiswa kita dalam satu rumus teori “trikon” (sering disebut sistem atau dasar trikon). Trikon diambil dari tiga awal suku kata;kontinuita,konvergensi dan konsentrisita, sebagai dasar dan sikap hidup perjuangan Tamansiswa di tengah-tengah masyarakat.
Rumusan dalam bahasa Belanda dulu, sebelum lahirnya simpul Trikon (terjadi pada tahun 1937) ialah : cultureelnationaal-maatschappelijk, bersifat kebudayaan, nasional dan kemasyarakatan.

17.    DASAR KULTURAL – KONTINU.

Dasar kulturil ini dijelaskan Ki Hadjar bahwa kebudayaan itu sifatnya kontinu, bersambung tak terputus-putus, berkembang maju. Dengan perkembangan dan kemajuan sesuatu bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putusdari garis asalnya. Loncatan putus akan kehilangan pangkal asalnya untuk maju selanjutnya dan orang akan sesat kehilangan pegangannya. Kemajuan sesuatu bangsa adalah lanjutan garis hidup asalnya yang ditarik terus dengan menentukan nilai-nilai baru baik dari bangsa sendiri maupun dari luar.

18.    DASAR NASIONAL – KONSENTRIS.

Menurut Ki Hadjar alam hidup manusia itu merupakan “alam hidup berbulatan”  (kensentris), yang digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran (cirkel) besar kecil yang semua itu bersatu titik pusat (middlerunt) dimana orang duduk atau berdiri di atas titik pusat itu.
Lingkaran terkecil adalah alam diri pribadi seseorang. Lingkaran di luarnya yang lebih luas ialah alam keluarga. Yang lebih luas bagi di luarnyaialah alam bangsa dan kebangsaan, dan yang terluas ialah alam manusia dan kemanusiaan. Semua lingkaran yang bersusun-susun itu atau titik pusatnya, tempat orang berdiri diatasnya ditengah-tengah lingkaran-lingkaran alam yang meliputinya (alam diri, alam keluarga, alam bangsa dan alam manusia). Disela-sela itu masih terdapat lingkaran-lingkaran alam kehidupan kedaerahan, golongan faham dan keyakinan, golongan politik/kepartaian ataupun golongan-golongan lainnya yang merupakan kesatuan hidup yang tersusun dan terikat oleh sesuatu faham kehidupan manusia.
Seseorang adalah kecuali sebagai pribadi,ia juga bagian dan satu keluarga, bagian dari satu bangsa dan ia adalah juga manusia. Kuat lemahnya perasaan lingkungan alam itu tergantung dari keadaan yang melingkarinya. Apabila manusia berdiri di tengah-tengah dan di atas titik pusat lingkaran-lingkaran itu, lingkungannya hanya sampai lingkaran diri saja, terkadang sampai batas alam keluarga saja, terkadang meliputi seluruh alam kebangsaan dan lebih luas lagi, dalam keadaan biasa, orang itu hidup di atas titik pusat kemanusiaan.
Orang seorang akan semata-mata memusatkan perhatiannya kepada kepentingan diri sendiri apabila dirinya tersinggung kepentingannya dan dalam ancaman bahaya oleh ancaman keluarga lain, orang memusatkan perhatiannya pada lingkaran hidup keluarga yang siap menghadapi keluarga lain. Demikian juga kalau kepentingan nasional yang berarti kepentingan individu-individu seluruh bangsa itu terancam kepentingan hidupnya, maka orang menjadi pembela kepentingan bangsa itu.
Pada waktu orang melihat di jalan ada orang terlanggar mobil, dengan tidak menanyakan lebih dulu orang dari bangsa apa yang melanggar mobil itu dia turun tangan menolongnya, walaupun kemudian tahu bahwa orang itu adalah dari bangsa yang dibencinya. Alam kemanusiaan memanggil seseorang, karena kepentingan keselamatan manusia terlanggar. Seorang yang sedangberkobar-kobar jiwanya dengan penuh semangat berkorban untuk kepentingan nasional, kalau perlu menyerahkan lehernya untuk bangsanya, seketika dia akan memikirkan anaknya yang tadinya dilupakan karena kepentingan nasional, oleh karena anaknya luka berat karena jatuh dari pohon. Seorang patriot Indonesia yang berasal dari salah satu daerah dia akan menjadi pembela daerahnya apabila ada orang dari daerah lain yang menghina daerahnya, walaupun selama itu tidak pernah teringat dan bahkan mengutuk daerahnya. Demikian juga kepentingan segolongan akan mendapat perhatian apabila golongan itu mengalami ancaman bahaya dari golongan lain.
Menurut Ki Hadjar, oleh karena garis lingkaran itu tidak pernah bentrokan apabila memang titik pusatnya satu, maka sebenarnya apabila orang-orang itu duduk dan berdiri di atas pendiriannya masing-masing tidak akan saling berbentrokan, apabila masing-masing menghargai pendirian orang lain.
Demikianlah persatuan bangsa tidak akan dirugikan, apabila perasaan cinta daerah, cinta keluarga dan cinta golongan itu disertai kesadaran, bahwa dalam lingkungan hidup manusia itu ada lingkungan hidup yang meliputinya. Kesadaran bahwa suku dan daerahnya ada dalam lingkungan bangsa, dan tertib damainya hidup keluarga itu hanya akan tercapai apabila ada “ketertiban dan kedamaian nasional, maka tidaklah akan timbul penyakit dan semangat sukuisme dan daerahisme yang membahayakan persatuan nasional. Demikian sesuatu bangsa yang hanya hidup tentram dan selamat apabila ada perdamaian dunia, maka semangat nasional itu tidak akan membahayakan kepentingan perdamaian dunia.
Perasaan dan nafsu memikirkan keperluan diri sendiri, hasrat memikirkan kepentingan keluarga, perasaan kedaerahan dan kesukuan tidak menjadi penyakit sukuisme dan daerahisme yang membahayakan persatuan bangsa, apabila ada kesadaran dan pengakuan adanya lingkaran-lingkaran hidup yang bersusun-susun itu harus kita junjung dan kita hormati demi kepentingan keselamatan bersama seluruh bangsa. Timbulnya bentrokan antara daerah dengan daerah dan daerah dengan pusat kehidupan bangsa, bisa terjadi oleh karena semangat yang berlebih-lebihan mementingkan kepentingan dirinya, baik oleh karena kurangnya kesadaran dari suku akan kepentingan keseluruhan persatuan, atau terkadang oleh berlebih-lebihannya semangat ingin mempersatukan dengan tidak mengingati atau menindas perasaan dan kepentingan golongan. Atau mungkin oleh karena kedua-duanya bersama-sama.
Demikianlah pengertian Ki Hadjar tentang nasionalismenya, dan bagaimana sikap hidup yang seharusnya kita pegang untuk keselamatan tiap-tiap orang dan ketertibdamaian masyarakat bangsa dan dunia.
Perasaan kesukuan dan kedaerahan dan golongan sebagai juga perasaan harga diri adalah perasaan yang wajar yang mestinya ada dan tidak bisa dilenyapkan. Hanya apabila perasaan itu akan meluap dan berakibat merugikan keselamatan hidup bersama sedaerah, sebangsa dan sedunia., bahkan sebaliknya supaya bisa menjadi urunan bagi kekuatan dan kepentingan hidup bersama sebangsa dan seluruh manusia.

19.    DASAR KEMASYARAKATAN – KONVERGEN.

Teori atau dasar ketiga ialah dasar kemasyarakatn yang disebut konfergensi, ialah sambung dan hubungan kita dengan masyarakat yang lebih luas (konvergensi). Sebagai lembaga kemasyarakatan Tamansiswa tidak memisahkan diri dari masyarakat yang lebih luas. Ia harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat, kalau ingin hidup mengabdi kepentingan masyarakat. Semangat memencil dan penyakit “kemurni-murnian” akan membawa kita ke kematian. Isolasi dan purisme membawa kita ke kematian, demikian Ki Hadjar Dewantara.
Dasar dan teori trikon Tamansiswa ini dapat dijadikan pegangan hidup kita sebagai bangsa, dalam mengatur kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kemasyarakatan dalam hubungan sebangsa dan hubungan bangsa Indonesia dengan dunia internasional. Dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran Tamansiswa menjelaskan, bahwa untuk anak-anak pelajaran disesuaikan dengan alam keluarganya. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Ibu dan bahasa daerahnya. Makin besar, main dewasa, dipergunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dan sesudah dewasa diperguruan menengah dan lanjutan atas, pelajaran dihubungkan dengan kepentingan dunia, yang akhirnya dibagian perguruan tinggi (universitas) sudah merupakan hubungan universal.
Demikian juga mengenai pelajaran kebudayaan. Dari kebudayaan dan kesenian daerah, meningkat kepada kesenian dan kebudayaan dunia yang akan dapat menambah kekayaan kita sebagai bangsa, dan memudahkan hubungan bangsa kita dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya, yang akan menempatkan bangsa dan rakyat indonesia di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia dalam kedudukan yang sejajar.

20.    TIRULAH HIDUP CECAK.(kesimpulan)

Pendidikan nasional yang dianjurkan Ki Hadjar dengan berdirinya Tamansiswa ialah kecuali menegakkan jiwa anak-anak sebagai bangsa yang juga bermaksud membimbing anak-anak untuk menjadi manusia yang bisa hidup dengan kecakapan dan kepandaiannya, berbuat sesuatu berguna tidak saja untuk dirinya, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Ki Hadjar melihat pendidikan kolonial yang diberikan oleh Belanda, tidak lain membawa anak-anak jadi makin canggung hidupnya dalam masyarakat, setelah mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang salah itu. Dengan pedas Ki hadjar mengkritik dan menyerang sistem pendidikan kolonial, yang menjadikan anak-anak hanya bisa hidup “cemanthel” yang akan jatuh dan ambruk apabila tempat canthelannya jatuh.
Ki Hadjar memberi contoh secara senda gurau: Orang yang telah sekolah bisa mencari makan dengan menjual kacang, berjualan sayuran yang bisa hidup dari hasil berjaja itu. Tetapi anak yang sekolah HIS (Sekolah Dasar dari Belanda) yang dianggap sebagai anak pandai, malah tidak bisa mencari makan sendiri kalau tidak menjadi kersni atau klerek, dan setelah sekolah MULO (SMP jaman Belanda) malah jadi tambah tidak dapat mencari makan, tidak dapat menjual kacang goreng, malu bekerja kasar. Dengan membawa diplomanya (ijasahnya) yang bagus, berkeliling-keliling memasuki kantor-kantor mencari pekerjaan. Dan jadilah ia penganggur – werklose – apabila dia tidak mendapat pekerjaan di kantor.
Secara berolok-olok Ki Hadjar menunjuk, Ibaratlah itu cecak. Dia tidak sekolah menengah. Dia tidak mempunyai diploma. Tetapi dia tidak pernah menganggur (werklose). Dia tahu dimana harus mencari makan. Dia tahu, dimana ada lampu, disana banyak datang nyamuk. Dan disanalah cecak mencari makan menangkap nyamuk makanannya.
Tetapi, Ki Hadjar, orang yang sudah bersekolah tinggi, tidak tahu dimana dia harus mencari makan.
Di kantor-kantor yang sudah ditulisi direkatkannya besar-besar “geen vacature”, tidak ada lowongan, disanalah orang-orang lepasan sekolah menengah dan menengah atas berbaris meminta pekerjaan, seolah-olah buta huruf tak tahu membaca tulisan dimuka pintu kantor itu, yang memberi isyarat pergilah kamu, disini tidak ada makanan untukmu.
Ki Hadjar mengeluh : “Kok apes temen, wong pinter-pinter kok malah kalah karo cecak”. Alangkah celakanya, orang-orang begitu pandai, kalah dengan cecak yang walaupun tak bersekolah tetapi tidak pernah jadi penganggur.
Rumusan asas Tamansiswa tentang tujuan pendidikan disebut bahwa pengajaran tidak lain merupakan alat dan syarat untuk anak-anak hidup berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat, sebagai disebut dalam asas Tamansiswa.
“Dalam sistem ini, yang dimaksud ialah sistem Among Tamansiswa, maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama”.
Sekedar itulah uraian pokok-pokok ajaran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam wujud asas, dasar, sistem, sendi organisasi dan cara-cara perjuangan hidup Tamansiswa, yang berwujud sebagai lembaga pendidikan dan kebudayaan nasional, yang menitikberatkan usahanya pada penggarapan jiwa manusia dengan pendidikan nasional pada anak-anak turunan bangsa kita.
Tiap – tiap orang Tamansiswa adalah pengabdi, yang dengan persetujuannya kepada asas Tamansiswa berjuang mengabdi Sang Anak dengan tulus, sebagai termuat dalam asas Tamansiswa yang berbunyi :
“Dengan tidak terikat lahir dan batin, dengan suci hati kita mendekati Sang anak. Kita meminta hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang Anak”.
Guru, menurut Ki Hadjar adalah abdi Sang Anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa anak-anak. Tiap – tiap orang Tamansiswa adalah peserta perjuangan Tamansiswa yang sadar, yang ikhlas mengabdi kepentingan sang anak, pengabdi kepentingan nusa, bangsa dan manusia, untuk bersama-sama menegakkan perikemanusiaan.


------------------------------------------------------------
Oleh: Ki Sutikno

Disampaikan :Peringatan Satu Abad Kebangkitan NasionalLokakarya Reformasi PendidikanDi Daerah Istimewa Yogyakarta5 Mei 2008Kerja sama UGM – Pemda DIY – Kagama

 

 Kepustakaan:

1.    Karya Ki Hadjar Dewantara      
2.    Masalah Kebudayaan
3.    Pendidikan dan Kebudayaan    
4.    Azas dan Dasar Tamansiswa      

5.    Demokrasi – leiderschap            
6.    30 tahun Tamansiswa                
7.    Lebih Baik Tidak Sekolah