Keadaan Joged (Tarian) Jawa

Budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa kepada manusia. Budaya itu sendiri akan diwujudkan dalam berbagai bentuk peri kehidupan manusia. Apabila budaya itu mengandung unsur estetis, maka akan berwujud sebagai seni. Ada pun seni di sini adalah meliputi tari, karawitan, mocopat, sastra, dan sebagainya. Sehingga tari Bedhaya Ketawang itu sendiri merupakan pengejawantahan dari bentuk budaya yang mengandung suatu unsur estetis atau keindahan.

Maka tidaklah benar jika seseorang mengatakan bahwa budaya (budaya jawa) sebagian besar adalah mengandung unsur klenik, mistik, dan mungkin erat kaitannya dengan adnya roh – roh halus dan sebagainya. Mungkin hal tersebut akan mudah dipahami oleh masyarakat tempo dulu, tetapi mungkin sudah tidak relevan apabila diterapkan pada pola pikir masyarakat saat ini, yang zamannya sudah amat berbeda jauh. Sehingga, mau tidak mau orang akan berusaha untuk mencari suatu penjelasan lain yang menurut mereka akan mudah diterima secara nalar dan logis.

Tetapi, hal penting yang dititik beratkan pada masalah ini bukanlah hal yang menyangkut sakral. Dan di sini diberikan batasan bahwa sakral ialah sesuatu yang suci dan menyangkut unsur ketuhanan. Jadi, apabila kita akan membahas dan memsuki suatu daerah atau batasan sakral ini, kita akan terbentur oleh berbagai hal yang nantinya malah akan membuat semakin membingungkan. Karena apabil kita sudah membahas suatu ”kesakralan” ini, maka hal ini sudah menyangkut pada kepercayaan dari diri pribadi masing – masing orang (istilah jawa ”kapitayan sowang - sowang”). Adalah tidak pantas dan tidak benar apabila kita akan memberikan suatu pernyataan konkret mengenai hal ini. Maka untuk masalah ini percaya atau tidak adalah tergantung dari masing – masing orang (”ora percaya kena, ning ora kena maido”, tidak percaya boleh tetapi tidak boleh mencemooh).

Di sini dapat kita ambil contoh seprti riwayat penciptaan gmelan yang tertulis pada kitab Wedhapradangga. Disebutkan bahwa pencipta gamelan yang pertama adalah ”Sang Hyang Guru” ketika menitis menjadi raja pertama di tanah jawa. Apakah hal tersebut hanya akan kita artikan secara wantah (makna lugas) saja? Tentulah hal tersebut kuranglah tepat.

Kita ketahui bahwa orang jawa adalah orang yang andhap asor (rendah hati) dan dalam kehidupannya penu dengan pasemon (perumpamaan). Sehingga segla sesuatunya memerlukan telaah yang mendalam. Dalam hal contoh di atas, bisa saja ”Sang Hyang Guru” itu adalah manusia yang menjadi raja pertama di tanah jawa. Mungkin, karena kebijaksanannya dan kewibawaannya, akhirnya diibaratkan sebagai dewa atau titisan dewa.

Sama halnya bila kita akan membahas Tari Bedhaya Ketawang. Kita akan menemui berbagai simbol, gambaran, dan pasemon yang memiliki makna filosofis yang tinggi dan tidak dapat diterjemahkan secara wantah (lugas). Sebenarnya , dalam mempelajari Tari Bedhaya ketawang ini dapat dirunut melalui fakta – fakta berupa benda – benda artefak, seperti relief candi dan manuskrip kuno yng bersifat obyektif. Jadi, tidak semata – mata hanya berasal dari dongeng atau cerita kuno yang belum tentu kebenarannya.

Siapapun yang ingin memperoleh keterangan ataupun memahami dan menelaah kharanah tari jawa. Akan terbentur oleh birokrasi yang sulit. Hal itu disebabkan karena khasanah tari tersebut hannya ada di beberapa tempat, dan tidak semua orang boleh menjamahnya (mempelajarinnya) yaitu yang terdapat di Keraton Jawa (Surakarta & Ngayogyakarta).

Jadi akan sangat berbeda jika kita memperhatikan keadaan ringgit (wayang) ataupun membathik. Dan juga dalam mempelajarinya, kita tidak akan terbentur oleh sebuah birokrasi yang sulit. Hal ini dikarenakan seringnya dipertontonkanpada khalayak ramai.

Sedangkan tarian rakyat (yang hidup & berkembang di luar keraton atau disebut ”Barangan/barang” yang dapat disewa oleh setiap orang dan hanya diiringi gamelan seadanya. Hal ini baru hanya sedikit saja (sebagian kecil) jika dibandingkan dengan tari keraton yang sempurna. Jadi, tari di keraton tidak dapat disamakan dengan tari barangan.

Tari putra lebih sering dipertontonkan dikuar keraton, tetapi juga hanya bagian fragmen saja (pethilan) dan tari perang (memik). Saat ini, para tamu yang baru saja melihat dan belum terbisa, akan heran meliyhat tontonan yan indah dan kadang terkesan mistis. Sehingga para tamu dari luar negeri akan tercengang. Tetapi akan berbeda dengan orang Jawa sendiri yang tidak terlalu memperhatikan. Hanya sebentar sebentar saja melihat. Mereka bahkan berbicara sendiri ataupun merokok. sehingga para tamu dari bangsa Belanda, belum seberapa lama sudah terasa sanngat lelah, berbeda dengan orang Jawa yang tahan hingga berjam-jam.

Menurut tujuannya, tari dapat dibedakan menjadi 3 golongan:

1) Joged parisuka (tari hiburan)
2) Joged perangan
3) joged pasamuwan agama.

Dapat disimpulkan, bahwa tari Bedhaya & Srimpi di keraton adalah termasuk Joged/ tari pasamuwan agami. Hal tersebut terlihat dari lambatnya tetabuhan gamelan dan lemah gemulai serta tajamnya (khusuknya) penari. Kira-kira tari tersebut pada jaman kuno (dahulu) adalah Joged/ tari persembahan di candi atau pundhen. Ditarikan oleh para perawan sebagai sarana memuja dewa Siwa, Wisnu, atau Brahma. Dan waktu itu, tari tersebut jelas bukan tari pertunjukan hiburan.

Sedangkan candi-candi atau pepundhen tersebut pada jaman dahulu, hanya para raja yang memerintahkan untuk dibangun. Dan digunakan sebagai sarana hormat dan prasetya ataupun memohon rahmat dari dewa. Sehingga, dapat diperkirakan para perawan (penari) tersebut, termasuk abdi Raja. Bersamaan denngan hilangnya penyembahan terhadap dewa-dewa akibat masuknya agama Islam, para perawan (penari) tersebut mendapat pengungsian ke Kraton. Dan kadang kala masih mempertontonkan kepiawaiannya menari. Sehingga, tari tersebut dapat lestari hingga sekarang dan hanya dimiliki oleh Raja.

Sedangkan joged Bedhaya Srimpi, gamelannya hanya sebagai sarana perlengkapan saja, sebagai perlengkapan dari pertunjukan joged/ tari, jadi hanya sebagai pengiring wirama dan wiletnya. Tari tersebut tentu saja harus diiringi sindhen (syair lagu), tetapi syairnya hanya uran-uran, yang isinya tidak berhubungan sedikitpun dengan yang dipertunjukan, maka sering membuat salah terima, dinamakan uran-uran tersebut satu maksud dengan joged/ tariannya.

Malahan, uran-uran tersebut hanya merupakan pethikan yang bukan hubungannya, dan walaupun ada beberapa yang memang urut, tetapi tetap saja tidak berhubungan dengan yang lainnya. Para badhaya sendiri juga tidak terasa atau pun mengerti sambungannya, mengertinya hanya menurut aturan beberapa tembang. Dari hal tersebut dapat diketahui, bahwa tari bedhaya hany meneruskan tata cara adat tradisi kuno, tidak ada ciri-cirinya yang berhubungan denngan rasa dari pelakunya sendiri. Para guru tari putri sebisa mungkin adalah selaku berusaha mengupayakan, jangan sampai ada perubahan yang kedua menurut keinginannya sendiri. Tari, tata cara, dan aturan seluruhnya selalu dilestarikan seperti sediakala. Hal tersebut turun-temurun hingga ratusan tahun, maka khasanah luhur dari jaman kuno tersebut dapat lestari hingga sekarang.

Tari Bedhaya

Komposisi tari putri klasik gaya Yogyakarta yang dianggap sebagai pusaka dibawakan oleh sembilan penari puteri dan bertemakan cerita legenda, babad atau sejarah.

Misalnya :

- Bedhaya semang, yang merupakan pusaka Mataram, menggambarkan pertemuan leluhur antara Panembahan Senopati dan Ratu Kidul.

- Bedhaya Bedah Madiun yang menggambarkan peperangan Mataram dengan Madiun.

Tari Bedhaya disebut Bedhaya sanga karena penarinya berjumlah sanga atau sembilan, sebuah komposisi tari kelompok puteri yang ditarikan oleh sembilan penari wanita.

Tari bedhaya ini termasuk tarian putri yang halus, luhur, serta adiluhung, indah dan ritual. Melalui tari bedhaya para putri sultan dilatih dan ditanamkan pendidikan tentang etika, estitika dan kehalusan budi pekerti oleh sultan sebagai bekal hidup di lingkungan istana. Menurut Babad Nitik, Bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul.

Pada masa Sultan Hamengku Buwana I beliau membangun tari bedhaya tersebut sebagai tarian ritual istana. Disebut ritual karena ada persyaratan-persyaratan tertentu di dalam penyelenggaraannya. Misal : penari harus suci (tidak sedang menstruasi), sebelum pertunjukan harus berpuasa, tempatnya suci di Bangsal Kencana, ada sesaji, waktunya tertentu, ada pemimpin, dan lain-lain.

Secara umum Beksan Bedhaya ditarikan oleh sembilan orang remaja putri yang disusun sesuai dengan keadaan badan manusia. Dengan sifatnya yang sakral, arti bedhaya lazim mengambil makna filosofis, sosio religi, etis dan moral, serta ajaran hidup yang dipandang aktual. Dalam suatu masa tertentu segi-segi tersebut tampaknya secara turun temurun telah menjadi konsep baku yang mendasari konsep estetis dan konsep koreografis tari bedhaya.

Bedhaya Semang

Salah satu tari putri klasik di Istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan dianggap sebagai pusaka. Hal ini dapat dibuktikan pada saat awal pertunjukannya para penari keluar dari Bangsal Prabayeksa, yaitu tempat untuk menyimpan pusaka-pusaka Kraton menuju Bangsal Kencono. Tari Bedhaya Semang yang sangat disakralkan oleh Kraton merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Menurut Babad Nitik, Bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama semang (Bedhaya semang) diberikan oleh Sultan Agung. Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual istana, seperti peristiwa jumenengan. Berdasarkan tradisi yang telah ada, jumlah penari bedhaya terdiri dari sembilan orang. Penari Bedhaya tersebut mendapatkan status sebgai pegawai Kraton dengan sebutan abdi dalem Bedhaya (Lihat abdi dalem bedhaya). Jumlah penari sembilan orang dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia (babadan hawa sanga, Jawa), yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan. Satu lubang mulut dan satu lubang dubur. Penari Bedhaya semang yang berjumlah sembilan orang terdiri dari : batak, endhel, jangga (gulu), apit ngajeng, apet wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking dan buntil.

Para penari Bedhaya semang memakai busana yang sama. Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dan wujud yang sama. Namun demikian tata busana yang dipakai para penari mengalami perubahan sesuai dengan kehendak sultan yang sedang memerintah. Busana yang dikenakan para penari bedhaya semang pada masa Sultan Hamengku Buwono I tidak diketahui bagaimana bentuknya karena tidak diketemukan gambar atau dukumen lainnya. Baru pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono V diperoleh gambaran secara rinci. Busana dan tata rias Tari Bedhaya semang mirip dengan busana dan rias mempelai istana. Busana tari Bedhaya semang mirip dengan hyusana dan rias mempelai istana. Busana Tari Bedhaya semang pada masa Sultan Hamengku Buwana VI adalah sebagai berikut : mekak (kemben, kain penutup badan atau dada), kain batik motif paranmg rusak sereden, udher cindhe, slepe dan keris sebagai lambang keprabon , hiasan kepala :rambut gelung bokor pakai klewer bunga melati, dikerik dipaes layaknya pengantin, cundhuk mentul, kelat bahu dan gelang yang kesemuanya menyerupaui pengantin istana.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamenku Buwana VII secara garis besar, busana yang dikenakan para penari Bedhaya semang masih sama dengan sebelumnya (Sultan Hamengku Buwana VI) yaitu menggunakan baju tanpa lengan yang diberi gombyok, kain seredan, udhet cindhe, irambut digelung bokor dengan klewer di balut dengan bunga melati, cunduk mentul, dipaes juga seperti halnya pengantin, memakai gelang, slepe dan keris. Pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII pakaian penari Bedhaya semang sudah agak berbeda, tidak kerikan, tetapi menggunakan hiasan kepala jamang dan bulu-bulu, gelung bokor, ron kalung sung-sun, kelat bahu, gelang, baju tanpa lengan seperti pada masa Hamengku Buwana VII, kain seredan motif prang rusak, udhet cindhe. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX dan X yang dikenakan penari sama dengan yang digunakan pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII. Properti yang digunakan pada Tari Bedhaya Semangi dalam adegan peperangan dipergunakan senjata, yaitu : keris.

Komposisi tari Bedhaya yang berjumlah sembilan juga diasosiasikan dengan struktur tubuh manusia yang terdiri dari satu hati, satu kepala, satu leher, dua lengan, satu dada, dua tungkai, dan satu organ seks. Susunan penari tari dalam Bedhaya semang sebagai berikut :

Keterangan :

1. Endhel
2. Batak
3. Jangga
4. Apit ngajeng
5. Apit wingking
6. Dhadha
7. Endhel wedalan ngajeng
8. Endhel wedalan wingking
9. Buntil

Jumlah angka sembilan melambangkan jumlah bilangan terbesar dan mempunyai arti yang sangat penting dalam pemikiran-pemikiran metafisika maupun kepercayaan orang Jawa. Selain itu jumlah sembilan dapat juga dipahami sebagai lambang mikroskopis (jagading manusia), yang dapat dilihat dalam peran yang yang dibawakan pada seiap penari yaitu :

-  Peran penari batak merupakan simbol akal pikiran dalam setiap jiwa manusia.
-  Peran endhel merupakan simbol dari perwujudan nafsu yang timbul dari hati,
-  Peran dhadha, merupakan perwujudan dhadha manusia , tempat mengendalikan diri.
-  Peran jangga, merupakan perwujudan leher (gulu, jawa) manusia.
-  Peran apit ngajeng merupakan perwujudan lengan kanan manusia
-  Peran apit wingking, merupakan perwujudan lengan kiri manusia
-  Peran endhel wedalan ngajeng merupakan perwujudan tungkai kanan manusia
-  Peran endhel wedalan wingking merupakan perwujudan tungkai kiri manusia.
-  Peran buntil merupakan perwujudan alat kelamin (organ seks).

Dalam tari Bedhaya semang, batak merupakan peran utama. Sedangkan endhel merupakan simbol kehendak di dalam setiap diri manusia. Peperangan terjadi antara peranan batak melawan endhel dalam posisi jengkang. Gerakan-gerakan tari Bedhaya semang bersifat kaku dan tidak boleh dilanggar, karena dalam setiap gerakan memiliki makna dan menyimbolkan maksud- maksud tertentu.

Gending yang dipergunakan untuk mengurangi tari bedhaya semang merupakan gending khusus dan perangkat gamelan khusus pula. Iringan yang dipakai dalam tari Bedhaya semang merupakan perpaduan antara instrumen musik jawa dengan instrumen musik Barat meliputi : alat tiup (trombone), dan instrumen musik gesek. Tercatat Serat Babad Nut Semang Bedhaya merupakan acuan dalam mengiringi tari Bedhaya semang. Lirik yang ada pada tari Bedhaya semang mengisahkan percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencono sari atau Ratu Kidul. Pada perkembangan selanjutnya tari Bedhoyo semang menjadi induk dari beksan Budhaya di Kraton Yogyakarta. 

(dari berbagai sumber)


_______ artikel terkait: _________


JUMENENGAN SRI SULTAN HAMENGKUBUWANA X
Tarian ”Bedhaya Semang” Digelar Lagi Setelah 132 Tahun  *)

YOGYAKARTA – Tarian sakral Bedhaya Semang dari Kraton Yogyakarta dipentaskan setelah sekitar 132 tahun tidak pernah dipertontonkan di depan umum. Bedhaya Semang terakhir dipentaskan pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1870 Masehi) dan biasanya tarian itu digelar setiap peringatan jumenengan (naik tahta) raja Mataram Islam, dan dilanjutkan dengan para raja di Kasultanan Yogyakarta.

Salah satu syarat pokok dalam tarian Bedhaya Semang adalah sembilan penari yang tampil semuanya harus masih lajang dan perawan. Itu bermakna tarian itu memang benar-benar suci. Oleh sebab itulah kenapa Bedhaya Semang dianggap tarian keramat.

Gelar Bedhaya Semang di Bangsal Kencana, Kraton Yogyakarta pada Senin malam (7/10) adalah untuk memperingati kenaikan tahta ke-14 Sultan Hamengku Buwono X. Digelar di Bangsal Kencana, Sultan Hamengku Buwono X dan Permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hemas duduk di singgasana. Tidak ada orang lain yang duduk di tengah bangsal itu selain mereka berdua. Kemudian, sembilan penari menari di hadapan Sang Raja dan Ratu tersebut.

Para penabuh gamelan, kerabat kraton, duduk di lantai bawah. Sementara tamu udangan lainnya, sekitar 1.000 orang duduk di halaman Bangsal Kencana setelah menikmati jamuan makan malam dalam suasana pesta kebun.

Istimewa

Peringatan naik tahta saat ini, menurut Gusti Bendara Pengeran Harya (GBPH) Yudhaningrat, salah seorang adik Sultan HB X, adalah sangat istimewa.

Pertama karena tahun ini adalah Tahun Gajah (Tahun Dal) yang dalam hitungan tahun Jawa dianggap paling keramat. Oleh karena itu dalam memperingati hari bersejarah itu, pihak Kraton Yogya juga menggelar acara labuhan di lima tempat. Jika biasanya labuhan (membagi sedekah) hanya di puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Laut Selatan (Pantai Parangkusumo), pada tahun ini ditambah di Pantai Dlepih dan Pantai Kahyangan di Kabupaten Wonogiri.

”Yang lebih khas lagi adalah dalam labuhan itu juga akan disertakan pelana kuda Jawa. Pelana kuda Jawa berbeda dengan pelana kuda Eropa. Bentuk pelana kuda Jawa dibuat dari kayu berukir, mirip topeng. Itulah yang dilabuh (dibuang) ke Merapi,” tutur Yudhaningrat.

Barang-barang yang dilabuh itu biasanya adalah pakaian raja, ditambah sesaji akulturasi antara kepercayaan Jawa dan Islam; sebuah kepercayaan khas masyarakat Jawa yang telah hidup lestari berabad-abad tanpa niat untuk menyekutukan Tuhan dengan makhluk yang lain. Orang Jawa menginginkan kehidupan mengalir. Menyatukan gunung dan lautan. Hidup dalam harmoni keserasian alam semesta.

Sementara itu yang paling mengesankan adalah gerak tubuh para penari Bedhaya Semang. Mereka adalah para gadis yang digembleng untuk bisa menari selama dua jam penuh, non-stop, dengan gerak lambat, gerak tubuh yang harus lemah-gemulai, kuda-kuda kaki sering hanya menumpu pada salah satu kaki. Oleh karena itu bisa dimengerti jika baru saja mereka menari sekitar 15 menit, peluh pun mengalir di paras cantik mereka.

Dengan rata-rata tinggi tubuh 165 cm, para gadis itu berpakaian kain panjang (jarik) Cinde Londong Merah dengan dominasi warna keemasan, dilengkapi dengan Kampuh Cinde Jene, diperindah dengan buntal (rangkaian dedaunan), sampur (selendang) Cinde, stut (sabuk) bertimang, mengenakan gelang dan kalung, dirias dengan konde rambut motif Jangan Menir lengkap dengan cunduk mentul lima buah.

Dengan iringan gamelan Kyai Kancil Belik di laras Pelog, dan gamelan Kyai Surak di laras Slendro; tarian tersakral itu pun dimulai.

Secara perlahan, sembilan penari naik pendapa Bangsal Kencana. Empat pengiring penari kemudian duduk bersimpuh di lantai, di depan para penabuh gamelan. Para pengiring itu adalah abdi dalem perempuan yang bertugas membetulkan letak pakaian penari jika dalam durasi selama dua jam itu ada pakaian penari yang terlepas, ataupun melorot.

Dipadatkan

Menurut GBPH Yudhaningrat, durasi Bedhaya Semang itu sudah dipendekkan dari 4,5 jam menjadi dua jam. ”Sultan mempertimbangkan tidak akan ada penari yang mampu menari 4,5 jam terus menerus. Apalagi sekarang juga tidak ada penonton yang bisa tahan melihat tarian selama itu. Oleh karena itu durasinya dipendekkan menjadi dua jam dengan cara menghilangkan beberapa gong tarian tanpa menghilangkan pokok-pokoknya,” tuturnya.

Semula, ada 18 gadis yang dilatih menari Bedhaya Semang; termasuk dua putri Sultan. Akan tetapi dalam perjalannya, dua putri Sultan sudah menikah, dan satu gadis lagi sakit. ”Jadi ada dua yang jelas sudah keluar; dan yang satu lagi itu katanya sakit. Tapi kabar terakhir dia masih sanggup untuk ikut menari,” kata Yudhaningrat.

Bedhaya Semang itu sendiri lahir dari rasa keprihatinan Sultan Agung, raja terbesar Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, raja pertama Mataram Islam, Kanjeng Panembahan Senopati yang berasal dari rakyat jelata menginginkan agar benih raja itu tidak terhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, sebagai penerus tahta, Sultan Agung kemudian berusaha berpikir keras dan kemudian bekerja sama dengan Kangjeng Ratu Kidul (Penguasa Laut Selatan dalam jagad metafisik) untuk melanggengkan keturunan raja itu. Dari sana dibuatlah tarian sakral Bedhaya Semang.

Di Kraton Yogyakarta, tarian Bedhaya Semang dipergelarkan terakhir kali pada zamannya Sri Sultan Hamengku Buwono VII sekitar tahun 1870. Sedangkan pada zamannya Sultan HB VIII dan IX, tarian Bedhaya Semang belum pernah dipergelarkan di depan umum pada saat memeperingati ”jumenengan”, namun hanya ditarikan saat latihan oleh para puteri kraton.

10 Penari ?

Ada kepercayaan saat Bedhaya Semang digelar, jumlah penari yang semula sembilan orang tiba-tiba bisa tampak menjadi 10 orang. Satu penari itu datang tiba-tiba tanpa diketahui para penonton. Itulah Kangjeng Ratu Kidul yang hadir. Boleh percaya boleh tidak. Namun percayalah, selama SH menyaksikan di Bangsal Kencana pada Senin malam itu jumlah penari masih tetap sembilan orang. Entahlah kalau ada yang melihat ada 10 penari. Yang pasti, suasana pertunjukkan itu penuh dengan kedamaian. Berbeda dengan gelar tari-tarian modern yang penuh ceria dan gamelan yang menghentak.

Kalau di Kasultanan dilestarikan Bedhaya Semang, maka Bedhaya Ketawang dipelihara terus di Kasunanan Surakarta. Dua jenis tari itu dianggap sebagai induk tarian putri. Sementara induk tarian laki-laki adalah Beksan Lawung yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua kerajaan pada tahun 1755 dalam Perjanjian Giyanti lewat pemberontakan Pangeran Mangkubumi yang tidak setuju dengan pemerintahan Kartasura (Mataram Islam) yang takluk terhadap Belanda. Kemudian Pangeran Mangkubumi itulah yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dan mendirikan Kerajaan Yogyakarta.

Bedhaya Semang itu sendiri, kata GBPH Yudhaningrat, bisa diartikan sebagai bentuk kepasrahan terhadap Tuhan YME. ”Keadaan rakyat, negara, dan kraton saat ini seperti ini. Jika dulu setiap bedhaya digelar di sana ada komunikasi antara rakyat dan abdi dalem, serta raja; kini juga terjadi seperti itu. Kita bersama-sama mengevaluasi diri masing-masing demi kebaikan bersama,” ujarnya.

*)  artikel ini dimuat di harian Sinar Harapan

0 komentar:

Posting Komentar