Filsafat Suryomentaram: Satu Alnernatif Analisis Karya Sastra

Pendahuluan

Di Indonesia, khususnya di Jawa, sebetulnya ada teori psikologi maupun filsafat yang dikemukakan oleh seorang Jawa dengan corak yang tipikal Jawa. Teori yang dimaksud yaitu Kawruh Jiwa atau “Pengetahuan Jiwa” yang dikemukakan oleh Suryomentaram (1892-1962). Ada beberapa pandangan Suryomentaram yang terkadang memiliki kesamaan dengan psikoanalisis Freud dan sejumlah teori filsafat Barat lainnya. Akan tetapi, teori-teori psikologi maupun filsafat yang dikemukakannya jarang diketahui oleh orang Indonesia sendiri. Bahkan terkadang ada asumsi bahwa apa-apa yang datang dari Barat diangap selalu lebih baik dari apa yang dimiliki oleh bangsa sendiri.

Kawruh Jiwa yang disampaikan oleh Suryomentaram sebetulnya sudah banyak dibukukan. Paling tidak ada tiga penerbit yang membukukan pemikiran Suryomentaram tersebut seperti Inti Idayu Press (1986 tiga jilid), CV Haji Masagung (1991 tiga jilid dalam bahasa Jawa), dan yang terbaru Grasindo pada tahun 2002. Bahkan ada sejumlah peneliti yang mengkajinya untuk disertasi maupun tesis mereka seperti Dr. J. Darminto, S.J (untuk disertasi di Universitas Gregoriana, Roma, 1980) dan Darmanto Jatman S.U. (untuk tesis di UGM, Yogyakarta, 1985). Kini di internet telah ada websitenya.

Biografi Singkat

Suryomentaram dilahirkan di Kraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892, anak ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu kecil bernama BRM Kudiarmaji. Ibunya bernama BRA Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Semasa belajarnya, Suryomentaram pernah mengambil kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Pernah belajar mengaji agama Islam pada K.H. Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Juga sempat bekerja di gubernuran selama dua tahun lebih. Ia gemar membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama.

Sebagai pangeran ia tidak mendapatkan kepuasan atau kebahagiaan hidup. Ia belum bertemu dengan orang-orang dalam arti yang sesungguhnya, ia hanya bertemu dengan para “topeng” di lingkungan kraton. Rasa tidak puasnya kian bertambah manakala ia menghadapi tiga kejadian: (1) kakeknya, Patih Danurejo VI—yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia; (2) ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya; (3) istrinya yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan seorang putra yang baru berusia 40 hari. Rasa tidak puasnya makin menjadi-jadi, kemudian ia mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonannya tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain, ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, ini pun tidak dikabulkan.

Oleh karena sudah tidak tahan lagi hidup di lingkungan kraton, ia lalu pergi ke Cilacap menjadi pedagang batik dan setagen (ikat pinggang) dan berganti nama dengan Notodongso (Kudiarmaji pada usia 18 tahun bergelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram). Oleh Sri Sultan, diperintahkan untuk mencarinya dan memanggil kembali ke Yogya. Akhirnya ia ditemukan di Kroya sedang memborong mengerjakan sumur. Kemudian ia kembali ke Yogya meski telah terlanjur membeli tanah. Hatinya tetap merasa kecewa, ia belum menemukan manusia yang sesungguhnya. Karena mengira yang menyebabkan kekecewaannya itu (selain kedudukan sebagai pangeran), adalah harta benda, ia pun melelang seluruh isi rumah. Mobilnya dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada tukang kudanya, dan pakaian-pakaiannya dibagibagikan kepada pembantu-pembantunya. Akhirnya kerjanya hanya keluyuran ke tempat-tempat keramat untuk tirakat seperti: Luar Batang, Lawet, Goa Langse, Goa Cermin, Kadilangu, dan lain-lain. Itu pun belum bisa menghilangkan rasa tidak puasnya. Ia makin rajin shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai ia datangi untuk belajar. Bahkan ia mempelajari agama Kristen dan Theosofi. Hal ini pun tidak dapat menghilangkan rasa puasnya.

Sepeninggal Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja pada 1921, ia tetap mengajukan permohonannya untuk berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan dikabulkan. Oleh pemerintah Belanda ia diberi uang pensiun sebesar £ 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat dengan Belanda. Ia malah menerima uang £ 75 per bulan dari kraton sebagai tanda masih keluarga kraton. Setelah berhenti sebagai pangeran, ia merasa lebih bebas, meski ia belum merasa bertemu dengan orang yang sesungguhnya. Ia membeli tanah di Bringin, Salatiga dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia dikenal sebagai Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Waktu itu banyak yang menganggap lelaki yang suka berkalung sarung ini sebagai dukun, sehingga banyak yang datang berdukun. Meski telah tinggal di Bringin, ia masih sering ke Yogya karena masih punya rumah di Yogya.

Waktu Perang Dunia I baru selesai, Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang lainnya mengadakan sarasehan setiap Selasa Kliwon. Mereka membicakan masalah-masalah aktual yang dihadapi Indonesia. Pada 1922 Taman Siswa didirikan dengan berorientasi pada pendidikan kebangsaan. Ki Hadjar Dewantara dipilih sebagai ketua, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua. Pada pertemuan tiap Selasa Kliwon inilah oleh Ki Hadjar Dewantara, namanya diubah menjadi Ki Ageng Suryomentaram. Setelah menjadi duda selama 10 tahun, pada 1925 ia kawin lagi. Beserta keluarganya ia pindah ke Bringin, sedangkan rumahnya yang di Yogya dipergunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa. Begitulah pada masa-masa berikutnya Suryomentaram terlibat dalam berbagai peristiwa sejarah, termasuk bergerilya pada masa perang kemerdekaan memberikan pemikirannya mengenai wawasan masalah negara kala diundang ke istana kepresidenan 1957 oleh Sukarno.

Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng Suryomentaram menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai “kelinci percobaan”. Dari penyelidikannya inilah kemudian tertuang pemikiran-pemikirannya yang sering disebut dengan Kawruh Jiwa itu. Ajarannya ini tersebar berkat teman-temannya berdiskusi yang menyebarkannya kepada orang lain maupun lewat penerbitan buku atas pemikirannya. Pada 18 Maret 1962, ia tutup usia di rumahnya, Jl Rotowijayan no 22 Yogya dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah barat Yogya. Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra dan empat orang putri.

Inti Ajaran Suryomentaram

Ada beberapa pengertian khusus yang dikemukakan secara khusus oleh Suryomentaram dalam Kawruh Jiwa, seperti: kramadangsa, mulur-mungkret, manusia semat-kramat-drajat, zaman windu-kencono, dan sejumlah istilah khusus lainnya. Suryomentaram menyampaikan kawruh-nya atau pengetahuannya kepada sahabat-sahabatnya mencakup topik yang sangat luas dan menyeluruh, meliputi semua aspek kehidupan manusia. Hal-hal ontologis yang pernah dikemukakannya adalah sebagai berikut:

Pertama, barang yang ada itu abadi. Artinya, dulu ada, kini ada, dan kelak ada juga. Barang yang tidak ada kemudian menjadi ada, dan yang ada menjadi tidak ada merupakan suatu hal itu tidak mungkin. Hal itu mirip seperti memikirkan dua kali dua sama dengan lima. Memikirkan barang yang ada menjadi tidak ada, tentu menimbulkan pertanyaan: ke mana hilangnya? Jadi, barang yang ada itu abadi; dulu ada, kini ada, kelak juga ada. Jika orang percaya bahwa barang yang tak ada bisa menjadi ada, dan barang yang ada bisa menjadi tidak ada, kacaulah pikirannya. Segala sesuatunya kemudian menjadi tidak berketentuan yaitu patokan ketakhayulan. Karena ia percaya barang yang tidak ada bisa ada, ia bahkan percaya seorang bayi bisa menjadi seekor kambing, dan semua orang yang bedosa akan bertanduk. Watak orang takhayul ini suka bertapa atau berpantang yang aneh-aneh seperti merendam diri, membawa jimat, bersemadi, pantang makan, pantang tidur, pantang senggama, pantang menginjak tanah, dan sebagainya.

Adapun yang dianggap barang yang tidak ada menjadi ada, dan barang yang ada menjadi tidak ada ialah barang jadi (dumadi) atau barang adonan (bentukan), seperti cangkir, piring, rumah, gunung, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Barang jadi ini bersifat tidak tetap adanya. Yang bersifat tetap adanya, ialah barang asal, yakni zat. Misalnya cangkir, sebelum jadi, cangkir itu tidak ada. Tapi asalnya cangkir sudah ada. Setelah cangkir itu dibentuk, ia menjadi ada, tapi bersifat tidak tetap. Bila cangkir itu pecah, bentuk cangkir itu tidak ada, namun asalnya tetap ada. Oleh karena itu, barang jadi itu bisa ada, bisa tidak ada; atau jadi, rusak, jadi, rusak. Pada diri manusia, rasa yang identik dengan namanya sendiri pun termasuk barang jadi atau adonan. Jika ia bernama si Suta, ia merasa aku si Suta. Jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa namanya sendiri ini, oleh Suryomentaram diberi istilah “Kramadangsa”.

Kramadangsa ini dibentuk dari kumpulan catatan-catatan pengalaman, yaitu Kramadangsa yang lahir di tempat tertentu, pada hari-bulan-tahun tertentu, dan mengalami hal-hal tersendiri. Jumlah catatan-catatan itulah yang membentuk Kramadangsa, si ingat. Sebagai barang jadi, Kramadangsa bersifat tidak abadi, berbeda satu sama lain; bisa jadi, bisa rusak. Oleh karenanya, ia mempunyai rasa iri hati, sombong, sesal, khawatir yang kesemuanya termasuk rasa celaka.

Rasa “Aku” ialah barang asal yang bersifat sama. Rasa “Aku” inilah yang melahirkan rasa tentram dan tabah yakni rasa bahagia. Tetapi bila rasa “Aku” ini lebur dengan Kramadangsa, orang selalu merasa “Aku Kramadangsa” dan lebur pula dengan watak Kramadangsa sehingga ia merasa “Aku Kramadangsa”, aku iri hati, aku sombong, aku menyesal, aku khawatir, aku menderita, aku celaka. Akan tetapi bila orang berdiri sendiri, bebas dari Kramadangsa, ia lalu merasa “Aku bukanlah Kramadangsa”. Bebaslah pula ia dari watak Kramadangsa sehingga timbul rasa aku tentram, aku tabah dan aku bahagia. Keadaan barang jadi tergantung pada adonannya (bahannya). Bila adonannya diganti, bergantilah keadaannya. Rumah bila salah satu tiangnya patah, ia akan reot. Kramadangsa bila dompetnya diisi uang, ia segera girang, mukanya gembira, jalannya pethenthang-pethentheng, lagaknya congkak. Hatinya berkata, “Hidup ini benar-benar senang, kalau ada yang tidak senang, ia bodoh sendiri.” Tetapi bila uangnya diambil, ia lalu sedih, pucat mukanya, lunglai jalannya dan putus asa, lalu katanya, “Bagaimanapun aku telah berdaya upaya, namun celaka juga.” Begitulah ciri-ciri Kramadangsa.

Kedua, wujud barang yang ada ialah zat, keinginan dan Aku. Zat, keinginan dan Aku ialah barang asal yang bersifat tanpa cacah, tak terlihat dengan mata, tanpa tempat dan tanpa zaman (bebas waktu). Oleh karena itu, ia tidak dapat ditanyakan berapa, bagaimana, di mana dan kapan. Zat itu ada, tidak terasa dan tidak dapat dapat dirasakan adanya. Keinginaan itu ada, dapat dirasakan, tapi tidak terasa adanya. Aku itu ada, dapat dirasakan dan terasa adanya.

Zat ialah asal barang jadi, mengadakan barang jadi, melahirkan barang jadi. Barang jadi tidak bisa lain pasti berasal dari zat. Zat melahirkan segala barang jadi dengan bercacah, dapat dilihat mata, bertempat, dan berzaman. Barang jadi dapat ditanyakan berapa jumlahnya, bagaimana rupanya, di mana tempatnya, kapan zamannya. Zat selalu melahirkan barang jadi sehingga selalu ada barang jadi, yang bersifat: jadi, rusak, jadi, rusak. Misalnya, ada cangkir yang jatuh hingga pecah, lalu rusak menjadi beling. Beling itu ditumbuk hingga hancur, rusak, lalu menjadi bubuk beling. Demikian seterusnya kejadian itu selalu ada. Adapun barang jadi selalu kalau tidak bergerak tentu diam. Setiap bergerak atau diam, tentu terdorong oleh daya. Daya inilah yang menggerakkan atau mendiamkan barang jadi. Oleh karenanya abadi. Kalau daya tidak abadi, akan terjadi barang jadi tidak bergerak dan tidak diam. Hal demikian tidak mungkin terjadi. Daya itu dalam diri manusia, disebut keinginan, yaitu yang menginginkan raganya bergerak atau diam. Oleh karena itu, keinginan tersebut abadi.

Keinginan ialah asal gerakan, melahirkan gerakan dan mengadakan gerakan. Gerakan tidak mungkin tidak dari keinginan. Gerakan itu bercacah, dapat dilihat mata, bertempat dan berwaktu sehingga dapat ditanyakan berapa, bagaimana, di mana dan kapan.
Hidup ialah gerakan, maka keinginan ialah asal kehidupan, mengadakan kehidupan, melahirkan kehidupan. Hidup berupa gerak dan diam. Pohon kelapa seutuhnya itu diam, namun di dalamnya bergerak; menumbuhkan daunnya, bunganya dan buahnya. Gerak dan diam itu berasal dari keinginan, maka keinginan selalu melahirkan kehidupan. Hal inilah yang mengabadikan hidup yang bersifat gerak dan diam, atau lahir dan mati.

Sebagai contoh, orang duduk lalu berdiri, artinya gerakan duduk mati, kemudian lahir gerakan berdiri. Berdiri lalu berjalan, artinya gerakan berdiri mati, lahir gerakan jalan. Demikian seterusnya gerak dan diam, atau hidup dan mati itu abadi. Sifat keinginan itu abadi, yakni sebentar mulur, sebentar mungkret (menyusut), sebentar mulur sebentar mungkret. Rasanya pun abadi, yakni sebantar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.

Orang berpenghasilan tiap bulan Rp 100.000 itu mempunyai keinginan berpenghasilan lebih tinggi, ia ingin berpenghasilan Rp 200.000. Inilah yang namanya mulur. Bila keinginannya terpenuhi, dapat berpenghasilan Rp 200.000, ia mulur lagi ingin berpenghasilan Rp 500.000. Bila telah terpenuhi, ia akan mulur lagi ingin berpenghasilan Rp 1.000.000; dan bila telah terpenuhi lagi, ia akan mulur lagi, ingin berpenghasilan Rp 5.000.000. Begitulah keinginan manusia selalu mulur dan tidak akan ada batasnya. Sebaliknya bila keinginannya untuk berpenghasilan Rp 5.000.000 per bulan tidak terpenuhi, tetapi hanya terpenuhi Rp 3.000.000 saja; ia pun akan menerimanya. Inilah yang dinamakan mungkret. Bahkan ketika keinginannya itu hanya terkabul berpenghasilan Rp 500.000 saja ia pun menerimanya juga. Ia mungkret juga. Begitulah hidup manusia selalu mulur dan mungkret.

Setiap kali keinginannya mulur dan tercapai, maka senanglah orang itu. Akan tetapi, jika tidak tercapai ia akan susah. Namun bila keinginannya kemudian mungkret dan menerima seberapa pun penghasilannya, ia pun akan senang. Begitulah irama orang hidup itu pun penuh dengan: senang, susah, senang, susah.

Contoh Penerapan dalam Analisis Karya Sastra

Nurhadi dan Dian Swandayani (2005) pernah melakukan penelitian sastra dengan menerapkan filsafat Suryomentaram ini untuk menganalisis novel Indonesia modern yang berlatar Jawa, yakni pada novel Pasar karya Kuntowijoyo (1994) dan novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (1999). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, tokoh utama protagonis novel Jalan Menikung yaitu Eko, Claire, dan Harimurti. Tokoh utama antagonisnya yaitu Tommi. Latar cerita novel ini terjadi di sekitar New York, Jakarta, dan suatu kabupaten yang disebutnya dengan Wanagalih. Peristiwa dalam novel ini berlangsung sekitar tahun-tahun pasca G-30/S 1965, dengan latar sosial berupa kehidupan keluarga Jawa trah Sastrodarsono yang masih tergolong kaum priyayi Jawa. Tokoh utama protagonis novel Pasar yaitu Pak Mantri, Paijo, dan Siti Zaitun. Tokoh utama antagonisnya yaitu Kasan Ngali. Latar cerita novel ini terjadi di seputar pasar kecamatan di wilayah Jawa yang disebutnya dengan Pasar Gemolong. Latar sosial yang melandasi peristiwa-peristiwa dalam novel ini yaitu kondisi masyarakat kelas bawah, yakni para pedagang pasar.

Kedua, konflik antar-kramadangsa yang terjadi dalam novel Jalan Menikung yaitu berupa pententangan antara kramadangsa manusia semat yang diwakili oleh keluarga besar Tommi, termasuk Jeanette, Bambang, Marie dan Maridjan yang terlalu mengagungkan harta kekayaan dalam kehidupan. Pandangan mereka berseberangan dengan tokoh-tokoh dari keluarga Harimurti (termasuk Harimurti sendiri, Eko, dan Lantip) yang priyayi dan memandang orang-orang bertipe semat semacam Tommi sebagai orang yang eksentrik. Konflik antar-kramadangsa yang terjadi dalam novel Pasar juga melibatkan pertentangan antara orang yang bertipe semat (manusia yang mengagungkan harta benda), yakni Kasan Ngali dengan orang-orang lain di pasar itu, khususnya dengan Pak Mantri, seorang priyayi yang tergolong sebagai manusia drajat, yakni orang yang lebih mengagungkan status sosial). Hingga akhir cerita Kasan Ngali masih berkonflik dengan dirinya sendiri atau dengan kramadangsa-nya, sementara Pak Mantri telah menyadari kekeliruan dirinya (baca: kramadangsa-nya) sehingga dia terbebas dari berbagai konflik, baik konflik batin maupun konflik dengan orang lain. Di akhir cerita Pak Mantri menemukan kedamaian dalam memasuki masa-masa pensiunnya sebagai mantri pasar.

Ketiga, baik Kayam maupun Kuntowijoyo dalam masing-masing novelnya menawarkan suatu nilai bahwa dalam tradisi Jawa, seseorang hendaknya jangan terlalu mengagungkan pada pandangan (gila) harta. Pandangan tersebut merupakan pertentangan terhadap gaya hidup kaum santri (yang secara jelas muncul dalam karakter nama Kasan Ngali) dan lebih menganjurkan pada gaya hidup kaum priyayi (yang diwakili oleh Pak Mantri maupun oleh keluarga besar Harimurti) yang dianggap mewakili tradisi Jawa. Hal tersebut memang cukup berasalan, karena dalam kehidupan nyata, baik Kayam maupun Kuntowijoyo, keduanya sama-sama berprofesi sebagai dosen yang notabene mewakili kaum priyayi. Hanya secara umum, tokoh yang mengagungkan status sosial atau manusia kategori drajat (yang jelas-jalas tampak pada diri Pak Mantri pada bagian awal cerita) maupun manusia kramat, pada dasarnya tidak akan menemukan kebahagiaan selama mereka masih terkungkung oleh kramadangsa-nya masing-masing yang menuntut berbagai hal. Kramadangsa itu bersifat mulur-mungkret. Baik novel Kayam maupun novel Kuntowijoyo, secara tidak langsung telah mengajarkan apa yang selama ini disampaikan oleh Suryomentaram yang terkenal dengan istilah Kawruh Jiwa, meski hanya sebagian.

Penutup

Berbeda dengan kajian filsafat ataupun psikologi Barat yang melihat objek kajian ataupun pasien sebagai target pasif, ajaran Suryomentaram memposisikannya secara lebih aktif. Jika kita menjadi pasien yang mau berkonsultasi kepada seorang psikolog, kita seakan-akan menjadi objek yang dikaji oleh seorang ahli dan menuruti segala resep maupun teknik penyembuhan atas gangguan kejiwaan tersebut.

Suryomentaram mengajarkan setiap manusia dapat menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan ia terbebas dari kramadangsa-nya dan bahkan melihat kramadangsanya sendiri maupun kramadangsa orang lain dengan aku-nya sendiri. Setiap aku manusia di dunia sama; yang membedakan antara satu orang dengan orang lain adalah kramadangsa; kramadangsa-lah yang membuat manusia tidak pernah bahagia, tidak pernah puas, selalu merasa celaka. Jika seseorang bisa melihat ke-aku-annya, maka ia akan keluar dari segala rasa celaka dan akan menemukan rasa kebahagiaan yang sesungguhnya, bahagia dengan apa yang ada sekarang, di sini, dan seperti ini.

Terlalu singkat untuk menjabarkan semua ajaran Suryomentaram yang membahas segala aspek kehidupan manusia, mulai dari kramadangsa, tipe-tipe manusia (semat, kramat, drajat) bahkan hingga permasalahan nasionalisme (permasalahan yang menurut Benedict Anderson sebagai imagine comunities). Membaca buku-buku yang menguraikan pemikiran Suryomentaram dapat menutup kekurangan ruang pembahasan yang terbatas ini. Selain itu, filsafat Suryomentaram juga merupakan salah satu “pisau bedah” yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kehidupan realitas manusia ataupun realitas kehidupan dalam karya sastra.


________________________________________________________________________


FILSAFAT SURYOMENTARAM: SATU ALTERNATIF ANALISIS KARYA SASTRA
Oleh: Nurhadi

Artikel no 46 dimuat di Jurnal Kreativa, Jurnal Mahasiswa FBS UNY edisi April 2007; kode:
filsafat suryomentaram

0 komentar:

Posting Komentar