Indonesia yang Jawa

Syahdan, orang Jawa kuno pernah bertanya satu hal yang sederhana, namun kompleks dalam implikasinya, "Mengapa matahari berputar mengelilingi bumi, mengiringi kita dengan panasnya?" Pertanyaan kaum peragu yang filosofis itu, tidak mendapat jawaban segera dari orangtua atau orang yang bijaksana. Ia dibalas justru dengan pertanyaan baru oleh sang orangtua, "Siapa yang bertanya itu, dari mana pertanyaan itu?"

Sang peragu sebentar terhenyak oleh pertanyaan itu, tapi lekas memberi jawaban spontan, "Siapa yang bertanya, ya jelas aku. Dari mana pertanyaan itu, jelas dariku." Konon, sang bijaksana yang Jawa itu tampak tersenyum lalu menukas dengan sederhana, "Kalau begitu, carilah jawaban itu pada dirimu sendiri, jawaban itu ada di dalam dirimu sendiri." Sang peragu yang bertanya terdiam, kemudian mulai memahami kebenaran jawaban akhir yang "belum" menjawab itu.

Tanya jawab atau keadaan mental dimana sang peragu diatas ada mungkin dapat dipadankan dengan kisah Bima atau Bratasena yang mencari inti hidup, inti diri atau kemanusiaannya sendiri. Sebuah pencarian yang bila sungguh-sungguh dikerjakan akan mencapai hasil, betapapun ia disesatkan oleh (hidup) bahkan guru besarnya sendiri, Sri Durna. Sebuah pencarian yang pada akhirnya bermuara pada diri sendiri, terlambang dalam Dewa Ruci yang merupakan refleksi raga dan batin dari Bima sendiri.

Bagi saya, kisah pencarian jati diri itu lebih dari sekadar pengetahuan dan pemahaman orang Jawa tentang keberadaan (eksistensi)nya sebagai manusia, makhluk di tengah alam semesta, di hadapan Penciptanya, tapi juga adalah sebuah --atau sekurangnya, salah satu-- "penemuan filosofis" (philosophical discovery) terbesar yang pernah dihasilkan oleh sejarah manusia, oleh kebudayaan dan peradaban yang dilahirkannya. Jawaban itu unik, bahkan orisinal, yang mungkin belum pernah didapatkan bangsa lain, kecuali beberapa kemiripan atau paralelisme dalam makna akhirnya.

Kita belum tahu, kapan kisah atau pertanyaan itu pertama kali diketahui. Namun ielas, pemahaman yang ada di dalamnya telah mengilhami hampir semua kitab, sejarah, sastra, atau spiritualisme dalam kebudayaan Jawa. Mengilhami orang Jawa bahkan memberinya tuntunan yang sangat jelas, kuat, dan sangat praktis. Daya tahan kebudayaan Jawa, termasuk dalam keyakinan kejawen,saya kira berasal pula dari sistem dan mekanisme berpikir atau diskursus semacam itu.

Logika yang Orisinal

Dalam pengertianya yang lebih lapang, sistem dan mekanisme berpikir semacam itu sebenarnya adalah sebuah logika tersendiri. Logika yang khas dan orisinal, yang berbeda --bahkan kerap diametral-- dengan logika yang dikembangkan orang-orang Oksidental (Eropa) sejak abad pertengahan, berdasar filsafat Hellenistik dan Skolastik. Inilah yang mungkin menjadi salah satu masalah dalam arus logika materialistis (sebagai kembang lanjutan logika abad pertengahan Eropa) dalam globalisasi kebudayaan masa kini. Terpenetrasi hingga ke tingkat dominasi penuh dan permanen dari logika atau cara berpikir Oksidental membuat logikal-logika lain yang sama kuat --dan sebenarnya lebih tua-- tertindih bahkan sebagian terlupakan dan lenyap, menguap menjadi asap adab yang huruf-huruf sejarah pun lupa mencatatnya.

Bila catatan buku pemerintah mencatat adanya 643 sukubangsa di negeri ini, saya pribadi mencatatnya "hanya" sekitar 260-an, dapat dibayangkan bagaimana banyaknya adat dan istiadat di Indonesia yang telah berhasil memproduksi logikanya sendiri sebagaimana orang Jawa. Betapa kekayaan kebudayaan luar biasa dapat dibayangkan, dari hanya cara kita menyusun pengertian dan pengetahuan, hingga menjadi ilmu, tentang diri sendiri, dunia, semesta, dan Sang Pencipta semua.

Sebagian dari itu, dapat dibuktikan, menjadi sebuah "agama". Tapi banyak juga yang tidak, atau sekadar menjadi keyakinan atau praktik spiritual yang tetap saja mengandung pengertian-pengertian unik tentang hidup. Sebuah perpustakaan hidup atau laboratorium hidup tak terpermanai, yang aduh... sayangnya, sangat dan sangat

sedikit yang mempelajari atau berusaha memahaminya. Ketika banyak manusia cerdas Indonesia justru tenggelam --terperangkap lebih tepatnya-- pada kepustakaan dan labo bergaya Oksidental di atas.

Salah satu perpustakaan dan laboratorium wacana yang unik dan orisinal itu kita temukan dalam diri seorang Suryomentaram, kerabat kerajaan (Matararn) yang Iebih memilih hidup sebagai petani untuk dapat lebih mengerti hidup dan makhluk atau kebudayaan yang ada di dalamnya. Saya yang sejak balita dididik dengan cara yang cenderung sekuler (modern/Barat), menemukan 14 jilid tipis buku terbitan Idayu yang berisi wejangan-wejangan Ki Suryomentaram di antara ratusan buku warisan pak Dhe saya, seorang mantan anggota DPR, pengarang, yang pemeluk teguh dan setia menulis tentang kejawen di harian Berita Buana.

Di usia sekitar 14 tahun, tahun akhir SMP, saya membaca habis ke-14 buku itu, tanpa mengerti penuh apa yang dimaksud buku itu. Sebuah kesalahan besar, ketika pengetahuan dan ilmu semacam itu hanya dipahami sebatas pemikiran --apalagi sekular-- tanpa berusaha mengalami atau melakoninya. Praktisitas dalam wejangan-wejangan Ki Suryomentaram, sebagaimana kita coba memahami lebih dalam tentang tauhid, akan mengalami keraguan yang lebih dalam, bahkan jalan buntu dan kesesatan, jika kita tidak coba mengejawantahkannya dalam (peri) laku.

Saya tidak begitu senang dengan peristilahan ini, tapi sekadar untuk komparasi, wejangan Ki Suryomentaram tampaknya sepadan dengan filsafat Sokratian, dari filsuf di masa kuno negeri maritim, Yunani. Sebuah cara berfilsafat yang tidak berhenti di kamar 3 x 4 meter, lampu temaram, tinta tebal, dan kertas tulis yang bertumpuk, sebagaimana gaya filsuf Eropa kemudian. Socrares, juga Ki suryomenratam, melihat dan menemukan filsafatnya dalam peristiwa, dalam hidup yang berjalan, dalam diri orang-orang yang bergelut dalam keseharian. Mereka menyimpulkan dan memberi tuntunan.

Inilah filsafat yang egaliter, praktis dan pragmatis (jauh sebelum William James, tentu saja), juga tentu emansipatoris. Sebuah identifikasi yang sesuai-padan dengan kebudayaan atau adab dimana keduanya hidup didalamnya: kebudayaan maritim. Filsafat ini cair, popular dan ditransmisikan secara langsung langsung melalui contoh dan laku. Berbeda dengan filsafat beradab kontinental atau daratan yang dibangun untuk menjadi monumen, totem atau berhala baru, dalam kitab-kitab tebal atau ajaran beku yang cenderung ideologis.

Dunia rasa

Dari latar belakang dan identitas yang berbeda kita akan menemukan bagaimana seorang Ki Suryomentaram menempatkan "rasa" sebagai sesuatu yang esensial bahkan pokok. Tidak seperti Albert Einstein yang setelah menyetujui tiga matra dasar (garis, bidang, dan ruang) menempatkan waktu sebagai matra keempat, maka Ki Suryomentaram menempatkan ukuran keempat adalah "rasa". Bahkan menurutnya, "rasa" ini secara inheren sesungguhnya ada dalam tiga ukuran/matra sebelumnya.

Perbedaan ini tidak hanya berefek pada pemahaman lanjutan dan implikasi praktisnya, tapi juga menciptakan kebijaksanaan yang berbeda pula. Betapa pun, misalnya, Einstein menyatakan "waktu" membuat segalanya menjadi relatif, tapi tetap saja ia menetapkan ukuran material pada waktu, sebagaimana kebudayaan Eropa mereifikasi waktu dalam satuan-satuan atau unit yang terhitung, sehingga kemutlakan dan relativitasnya justru hilang.

Bagi Ki Suryomentaram, hal relatif itu bukanlah waktu --apalagi yang mengalami pembendaan-- namun adalah "rasa" yang pada akhirnya memberi makna pada segala fenomena. Filsafat "rasa" ini adalah sari terpenting mulai dari pemahaman filosofis tentang titik dan garis yang tak berhingga (sebagaimana Zeno dulu menyatakannya),  yang kemudian ia pecahkan paradoksnya dengan "rasa". "Rasa" sesungguhnya adalah kunci rahasia dari semua kemutlakan dan ketidakmutlakan. Dalam hidup, semua yang bergerak atau berkembang di bawah langit, menjadi tidak mutlak dan tidak sempurna karena "rasa".

Apa yang kemudian terasa jenial adalah pemahaman dan praktik hidup --sebagaimana diwejang oleh Ki Suryomentaram-- yang menyadari bahwa tidak ada yang mutlak dan sempurna, membuat kita pun merasa (memiliki hidup yang) sempurna. "Jika orang mengerti," begitu wejang Ki Suryomentaram, "bahwa sempurna itu tak ada, maka orang lalu tidak mengharapkan (nya), (maka) lalu (ia) merasa sempurna".

Pemahaman di atas memberi dasar pengertian bagi salah satu ajaran Jawa yang luar biasa tentang "mulur-mungkret". Sebuah ajaran yang membuat semua manusia Jawa tulen tidak memiliki alasan untuk arogan, rendah diri, atau putus asa. Karena sesungguhnya rasa senang dan susah itu mulur-mungkret (mengembang dan menciut). Dan tindakan praktis yang paling logis, paling mungkin, dari kondisi eksistensial itu adalah kemauan dan kemampuan kita dalam mengukur --dan mencukupkan-- keinginan-keinginan kita.

Sesungguhnya secara jujur harus saya katakan, dari kebiasaan saya mengulang sampai lima-enam kali membaca ulang kitab-kitab yang sangat menarik, kitab Suryomentaram hanya saya ulang dua kali: pertama masa SMP dulu dan terakhir saat saya harus menulis pengantar ini. Apa yang saya dapatkan, hampir seperti sebuah "penemuan": saya telah melakukan, ngelakoni, banyak hal yang diwejang oleh tokoh yang sederhana dan penuh wibawa itu.

Apa yang selama lebih tiga dekade belakangan menjadi keyakinan dalam berpikir dan berperilaku itu mungkin terjadi pula karena sejak remaja saya merasa menjadi yatim piatu kultural, sehingga insting dan naluri saya bergerak mencari akar primordial yang terwaris dari DNA orang tua saya yang Jawa. Namun lebih dari itu saya memercayai --kata terakhir ini membuat saya tertawa sendiri, karena tidak ilmiah sama sekali-- apapun yang saya baca dan ketahui --terutama bila saya sangat terkesan karenanya-- akan menjadi nutrisi terbaik dalam metabolisme tubuh, pikiran dan jiwa saya. Keluaran atau output-nya pun jelas: perilaku pikir, mental-spiritual, dan fisikal saya sesuai dengan kandungan dari nutrisi itu.

Itu terjadi, misalnya, ketika sekitar sepuluh tahun lalu saya memutuskan berhenti secara sepihak sebagai seorang pemimpin redaksi sebuah rnedia, dengan gaji besar, kantor besar, dan sekretaris cantik kala itu. Sebuah keputusan yang saya ambil berdasar pengalaman belasan tahun tahun sebelumnya, dimana saya jadi penganggur atau pekerja, hidup sendiri atau bersama kelompok (teater yang saya asuh), saya tidak pernah merasa senang atau susah karena penghasilan yang tidak tetap. Memiliki uang Rp. 100 ribu atau Rp. 10 juta setiap bulan, dalam praktik hidup saya tidak ada bedanya. Semua akan habis untuk kepentingan pribadi dan kolektif, tanpa sisa, tanpa rasa berlebih atau kekurangan.

Mencari Sistem Sendiri

Itulah dasar kuat, misalnya, yang membuat saya menolak kapitalisme, apalagi kapitalisme pasar yang liberal. Sebuah sistem yang mengatur cara kita berekonomi dimana semua pribadi berdasar asas laissez faire-nya Adam Smith, diperbolehkan bahkan didorong dengan keras untuk memperoleh hasil material sebanyak mungkin, tiada batasnya. Dengan cara kompetisi, dalam praktik bisa dengan menyikut, menipu, menzalimi, mengorupsi, bahkan kalau perlu mengenyahkan orang lain (kompetitor).

Itulah sebuah sistem yang ternyata bertentangan secara diametral dengan watak dan jati diri orang Indonesia, orang Jawa setidaknya. Filsafat "mlur-mungkret" Ki Suryomentaram di atas misal saja, justru meminta seseorang untuk pertama memahami dan kedua mengontrol ambisi atau nafsunya yang berlebih akan harta, kuasa, dan ketenaran. Prinsip hidup orang Jawa sesunggunya bukan kompetisi, tapi harmoni yang dihasilkan oleh keselarasan dan rasa saling menghargai.

Dalam wejangannya di bagian lain, tentang masyarakat dan kebudayaan, Ki Suryomentaram menekankan betapa pentingnya kesadaran kita akan realitas atau kodrat kita sebagai kelompok. Diri manusia, pribadi, tidak dapat melepaskan dirinya dari masyarakat atau kelompoknya. Orang lain dan masyarakat adalah modus eksistensial orang Jawa (Indonesia) yang genuine. Sungguh sangat berbeda diametral dengan filsafat Barat yang menciptakan alter atau "orang lain" sebagai antitesis dari pribadi. Bahkan bagi eksistensialisme Sartreian, "orang lain" itu adalah musuh yang senantiasa menjadi ancaman bagi "aku".

Di sinilah sesungguhnya, kebenaran atau inti pemahaman kenapa dahulu Ir. Soekarno, bapak bangsa, presiden pertama Indonesia, meringkus Pancasila menjadi ekasila: "gotong royong". Sebagaimana dikatakan Ki Suryomentaram, gotong-royong adalah ruh perekat dari sebuah kelompok, bahkan bagi sebuah bangsa. Indonesia selaiknya dibangun sejak awal dengan nilai itu, yang sayang Soekarno pun gagal mengimplementasinya. Dan masa kini menjadi pengkhianat besar untuk nilai dasar berbangsa itu.

Betapa bila kita sabar dan tekun, Ki Suryomentaram akan memberi kita banyak pemahaman mendasar tentang bagaimana sesungguhnya (menjadi) orang Jawa, yang pada titik kulminasi lain: menjadi bangsa, menjadi Indonesia. Dan kita boleh mengganti kata "Jawa" itu dengan Bugis, Batak, Papua, Aceh, Banjar, Manado, dan seterusnya. Itulah realitas eksistensial yang mestinya mulai kita pahami sebagai realitas diri kita yang sesunguhnya, yang di masa kini dikelabui dan dikhianati oleh realitas asing dan cangkokan akibat globalisasi (yang penetrasinya menggunakan politik, uang dan senjata)

Tidak perlu keberanian besar untuk mengoreksi kembali cara kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan realitas sejati diri kita itu; memberi alternatif yang lebih mungkin dan cocok dengan hati, pikiran, dan tubuh primordial kita. Perlengkapan-perlengakapan manusia yang sesungguhnya sudah "jadi", bukan seabad atau dua abad lalu, tapi lebih dari dua milenia yang lalu. Lalu buat apa kita ragu?


---------------------------------------------------------------

"Indonesia yang Jawa" by Radhar Panca Dahana
Pengantar buku: Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram.
Cetakan I, Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar