ILMU JIWA PRIBUMI, DI PINGGIR DAN DIPINGGIRKAN

Saya mendengar pertama kali nama Ki Ageng Soerjomentaram dari Ki Said, ketua Taman Siswa Jakarta, seputar tahun 1970-an, yang ketika itu menceritakan bagaimana “local genius” Jawa sudah menyusun strategi kultural minimalis untuk mengatasi zaman malaise yang terjadi di masa ontran-ontran penjajahan Jepang dengan “6 Sa”-nya, yakni: “Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sapenake, Samesthine, Sabenere”.

Kalau saja Ki Ageng Soerjomentaram itu Ki Hadjar Dewantara, sahabatnya, mungkin beliau juga menulis “Andai Aku Orang Belanda” yang menyatakan bahwa “Kawruh Jiwa”nya adalah Psychologie. Memang wacana kejiwaan pribumi pada masa itu dipandang lebih rendah --pralogis, prarasional-- dibanding psikologi modern yang dibawa oleh pemerintah Belanda masuk ke Indonesia, baik untuk merekrut tentara arek Jawa Timur jadi kavaleri lan spanunggalane. Psikologi modern juga masuk ke Indonesia lewat rumah sakit (utamanya untuk psikoterapi, psikiatri), dan kemudian lewat Perguruan Tinggi.

Keasyikan mengimpor psikologi modern membuat wacana tentang pembumian psikologi tidak berkembang, bahkan sampai dua dekade yang lewat, karena ketidakyakinan orang akan posisi kultural psikologi itu sendiri, baik dari sisi aksiologis maupun epistemiologisnya. Agaknya positivisme telah memaksa psikologi untuk berkutat dengan apa yang teramati dan terukur saja, yakni gejala-gejala keperilakuan. Dalam hegemoni ini maka psikologi empiris, induktivis berkembang pesat lengkap dengan eksperimen dan statistiknya. Psikologi yang mengandalkan intuisi, pada analisis kualitatif, pada pemahaman, jadi tersisih. Sementara sebagian besar wacana tentang jiwa di Jawa khususnya, Indonesia umumnya, bersifat spekulatif --tergantung wahyu, wangsit, intuisi, insight-- seperti kebanyakan wacana filsafat (itupun dengan topik yang bermacam ragam, seperti filsafat hidup, moral, etika, metafisika bahkan sampai ke Alam Tuhan, religi, mistik, magis); untuk dapat bersanding dan diakui sebagai Psychologie, maka wacana jiwa itu perlu lebih dulu dieksplisitkan, disistimatisasikan, diuji kesahihannya dengan teoriteori psikologi yang telah “mapan”, bahkan kemudian perlu diuji secara empiris melalui penelitian atau eksperimen. Padahal “ilmu” jiwa ini telah membantu orang-orang tidak hanya survive tetapi juga mengaktualisasikan diri dalam menghadapi gelombang pasang kehidupan. Namun begitu, banyak falsafah yang terkandung dalam pemikiran Jawa tidak diakui sebagai falsafah tetapi “hanya” sebagai cara hidup, jadi namanya “kejawen”, kalau itu menyangkut hubungan dengan Tuhan disebut “kebatinan”, kalau usaha mengatur lingkungan ya namanya “klenik”. Jadi Psikologi Jawa itu ya parapsikologi, pelaku-pelakunya jadi paranormal ahli parapsikologi. Untungnya (atau malah celakanya) sekarang ini orang tengah membiarkan munculnya dukun-dukun santhet dan menyebutnya sebagai paranormal ahli parapsikologi. Satu keterlanjuran dan pembiaran pada satu sisi mengabarkan adanya pembusukan wacana, pada sisi lain “kabar baik”. Pengakuan akan pluralisme a la posmo. Namun yang jelas mereka menjadi produk sekaligus peneguh suasana anomi dalam kebudayaan kita. Situasi seperti ini mengundang beragam respon dari psikologi. Yang terbanyak dan terkuat ya sikap bertahan pada psikologi “asli”nya seperti yang mereka peroleh dari Harvard, atau Cornell atau UCLA. Benteng untuk itu jelas, fakultas-fakultas psikologi yang ada di negeri kita.

Tetapi paling tidak uji empiris terhadap “psikologi” pribumi sudah diawali di tahun 1956, ketika Soemantri Hardjoprakoso di belahan bumi lain --Rijk Universiteit Leiden—menulis disertasi yang diberi judul “Indonesisch mensbeeld als basis ener psychoterapi” untuk promosi doctor di bidang ilmu jiwa. Bahan-bahannya diambil dari kitab Sasangka Jati Pangestu. Banyak orang menyebut telaah Soemantri itu sebagai “Candra Jiwa Soenarto”, local genius lain, yang adalah cikal bakal Pangestu. Bolehlah kita menyaksikan, bagaimana kawruh jiwa pada masa rural agraris ini bakal menempuh perjalanan melalui masa urban-industrial lalu masa informasi-komunikasi global serta akhirnya humanistik-spiritual. Sebuah proses kultural yang panjang, yang melalui tahap mitologis, ontologis, fungsional bila kita pergunakan tahap-tahap perkembangan kebudayaan ala Van Peursen. Pada masa kini, misalnya, masa urban-industrial, bagaimana kedua produk “local genius” kita: Ilmu Jiwa Kramadangsa dan Candra Jiwa Soenarto, diterapkan untuk psikoterapi atau bahkan menyusun alat tes psikologi untuk rekrutmen dan asesmen karyawan, serta bagaimana kelak ia ikut serta dalam pengembangan proses informasi dan komunikasi global serta akhirnya menciptakan manusia berkualitas secara spiritual humanistik.

GUGUSAN PSIKOLOGI KEBUDAYAAN

Michael Cole dalam bukunya “Cultural Psychology” terheran-heran kenapa “psikologi kebudayaan” justru terabaikan untuk waktu yang lama, padahal seluruh dinamika kejiwaan/mental[1], baik mental state, mental process, maupun mental structure manusia justru adalah kegiatan kebudayaan. Michael Cole mencoba menjelaskan gejala itu seperti ikan yang berenang di air dan bertanya-tanya, “Manakah air itu?” karena seperti air bagi ikan, hampir semua kegiatan kejiwaan manusia tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Tetapi kebudayaan dipinggirkan dari kajian psikologi justru karena kebudayaan adalah media di mana manusia hidup. Inilah yang mendorong Cole untuk menggaungkan “culture inclusive psychology”. Bila kebudayaan dianggap membantu manusia dalam memaknai hidupnya, maka kepribadian orang per orang pun tergantung pada kebudayaan di mana ia tumbuh kembang sebelumnya. Kepribadian adalah subjektivikasi dari kebudayaan, sementara kebudayaan adalah objektivikasi dari kepribadian.

Telaah psikologi kebudayaan membentuk gugusangugusan berdasarkan bagaimana dan untuk apa mereka mengkaji kebudayaan: sebagai konteks, sebagai pokok, untuk menemukan universalitas maupun membangun identitas.

Awalnya antropologi kognitif --sebagai saudara tua psikologi yang menjadikan perilaku sebagai subyek pokoknya-- memperkenalkan Antropologi Psikologi (Psychological Anthropology). Antropologi Psikologi yang telah dipraktekkan oleh Snouck Hurgronye itu disebut sebagai etnopsikologi, sebuah kajian psikologi yang mempelajari suatu kelompok etnis atau bangsa sebagai yang dibangun oleh nilai-nilai mereka bersama, konsep-konsep, serta keyakinan mereka. Etnopsikologi dengan demikian adalah psikologi kebudayaan seperti yang ditemukan oleh Shweder. Psikologi Kebudayaan adalah kajian bagaimana tradisi kebudayaan telah mengatur, mengekspresikan, dan mentransformasi jiwa manusia, yang membuat ke-satu-utuh-an psikis manusia menjadi berkurang dan memunculkan perbedaan etnis dalam pikiran, diri, dan emosi (Shweder, 1990). Dalam etnopsikologi ini seluruh kearifan psikologi umum, psikologi lintas budaya, psikologi antropologi, etnopsikologi memadu.

Sementara Indigenous Psychology adalah kajian tentang perilaku manusia dan proses mental dalam konteks kultural yang mengatur nilai, konsep, sistem keyakinan, metodologi serta sumber-sumber yang pribumi sifatnya (Ho, 1998). Beberapa tokoh berpersepsi bahwa psikologi pribumi dengan etnopsikologi adalah berbeda. Yang pertama, etnopsikologi, dikemukakan oleh para pribumi dengan cara mereka masing-masing, sedang yang kedua, psikologi pribumi, dikemukakan oleh para ahli psikologi modern lengkap dengan tradisi “disiplin”nya, dengan tujuan mengungkapkan, menjelaskan, meramal dan mengontrol pengalaman dan perilaku manusia; dengan pokok bahasan utama keadaan mental, proses mental, serta struktur mental manusia; serta metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan, serta tentu saja sistimatika pemaparannya.

Psikologi Lintas Budaya yang digunakan oleh Harry C.Triandis, David Matsumoto, serta yang lain-lain, agaknya didorong oleh kenyataan bahwa tak ada psikologi positivistik yang bisa berlaku objektif, universal dimanapun juga, sehingga konsep yang berlaku pada satu kelompok bangsa belum tentu berlaku pula untuk bangsa yang lain, seperti “rasa” di Jawa dengan “emosi” atau “feeling” di Amerika Serikat[2]. Bagaimana pun, Triandis berupaya menemukan hal-hal yang setidaknya bersifat universal pada kelompok-kelompok beda budaya, semisal sindroma kebudayaan, yakni pola-pola umum yang ditemukan pada berbagai kebudayaan subjektif, yakni pola kepercayaan, sikap, definisi diri, norma dan nilai yang diorganisasikan seputar beberapa tema, dan memilahkan bangsa-bangsa menjadi penganut “collectivism” atau “individualism”. Seringkali, Psikologi Lintas Budaya dianggap sebagai satu usaha untuk bisa memberlakukan sebagai konsep yang dihasilkan Amerika Serikat di berbagai bangsa lain di dunia, atau dengan kata lain bersemangatkan kapitalisme dunia.

KUASA TRADISI DALAM PSIKOLOGI

Pada masa revolusi kemerdekaan, post colonial, masih banyak orang yang ketenta seolah-olah pemerintah yang berkuasa adalah satu rezim asing yang menentukan kebenaran yang resmi dan berlaku pada satu bangsa. Demikian sejarah pendidikan tinggi di Indonesia didominasi oleh ilmu pengetahuan yang berasal dari “Barat”, sementara kawruh-kawruh pribumi, asli, itu dipinggirkan, dimarginalkan.

Dalam psikologi misalnya, kawruh jiwa hidup di kampung-kampung dan di dusun-dusun; sementara psikologi modern (baca:Barat) diajarkan dan dipraktekkan di perkotaan di kalangan menengah ke atas. Sementara itu di kalangan masyarakat sendiri, terdapat lapisan-lapisan sosial yang mempunyai dinamikanya sendiri, serta menghasilkan berbagai kesenjangan yang mengandung bibit kecemburuan sosial didalamnya. Bila pada jaman penjajahan Belanda hanya mereka yang menak priyayi, yang bisa masuk ke perguruan tinggi, suasana itu nyaris terulang lagi ketika undang-undang keguruan kita yang dikriminatif antara PTN dan PTS hampir saja diluncurkan.

Pada satu sisi terjadi upaya sosialisasi ilmu-ilmu modern yang positivistik bagi seluruh rakyat – seperti sosialisi KB tempo dulu. Pada sisi lain terjadilah usaha-usaha untuk memperjuangkan kawruh-kawruh pribumi untuk bisa diakreditasi, diakui sebagai ilmu yang layak bagi seluruh bangsa, termasuk jamujamu yang diperjuangkan untuk memperoleh pengakuan dunia termasuk hak patennya.

Hal yang sama terjadi di psikologi, praktek psikologi terapan di republik kita agaknya mengalami proses akulturasi yang panjang. Alat tes psikologi --misalnya tes intelegensi-- yang diproduksi di Amerika Serikat, dicoba diterjemahkan dan dicobakan di Indonesia. Dengan menggunakan berbagai upaya teoritis, metodologis, praktis, alat-alat tes itu diusahakan agar bisa berlaku di seluruh Indonesia dengan hasil yang jitu. Sementara produk-produk tes psikologis bikinan dalam negeri --sekalipun mulai tumbuh kembang-- belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Boro-boro “psikologi dalam negeri” yang kita sebut “indigenous psychology” itu.

Meski demikian, spirit tradisional masih mengakar pada para ahli psikologi kita. Salah satu sebabnya tentu karena apa yang disebut gejala “atavisme” yakni keterlanjutan munculnya kembali gejala-gejala kultural tempo dulu yang mestinya sudah ditinggalkan, suatu gejala yang sebenarnya lebih spektakuler ketimbang yang nampak, yakni ketika para ahli psikologi- setelah menggunakan teori-teori yang paling maju, melakukan analisis, lantas menarik kesimpulan yang jauh dari kebisingan lalulintas data, yaitu menggunakan intuisi. Ambil contoh ketika Indonesia diserang berbagai penyakit seperti DB, HIV, BI, lantas sekarang ini flu burung. Setelah melakukan pengumpulan data, analisis yang canggih, ambil kesimpulan “malapetaka ini-itu datang karena salah kedaden!” Nah, sarannya adalah melakukan “Ruwatan” untuk mengusir Bathara Kala yang mau memangsa sukerta alias salah kedaden itu. Lalu dimana psikologinya?! Inilah kekuatan tradisi yang juga masih menggerakan akal para psikologi kita. Sayang.

PSIKOLOGI JAWA

Predikat “Jawa” dalam Psikologi Jawa di atas sesungguhnya sangat sewenang-wennang karena di Jawa tidak hanya ada satu dua “local genius” dalam psikologi asli, kayata Ki Ageng Soerjomentaram atau Prof.Dr. Soemantri Hardjoprakoso. Jadi predikat “Jawa” di sini hanyalah klaim, seperti yang dilakukan oleh Soemantri Hardjoprakoso ketika ia menulis disertasinya di Leiden. Seseorang bertanya: “Kok dibilang “Indonesisch”, kan itu berasal cuma dari kitab Sasangka Jati dari Soenarto?!” Soemantri menjawab,”Karena saya cinta sekali Indonesia!” (dan juga yang dikenal masyarakat internasional (sic!) itu indonesianya). Demikian juga ketika saya menulis buku “Psikologi Jawa”. Semula saya tambahkan “Salah satu Psikologi Jawa” bahkan “salah satu kawruh Jawa”, namun urung karena dalam pengantar, saya ungkapkan hal itu. Jadi, “Kalau membaca pengantar nanti kan tahu!”

Patutnya kita “mengakreditasi” kawruh-kawruh ini sudah coba saya kenalkan lewat Kongres ISPSI di Bandung tahun 80-an dengan menuliskanya di Pikiran Rakyat, Kompas, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat. Namun kampanye ijenijenan ini nggak memperoleh tanggapan yang memadai. Ketika saya berkesempatan ikut mendirikan Fakultas Psikologi UNIKA Soegijapranata, gagasan ini juga saya lansir dengan mundur setapak: “Memperkenalkan Psikologi Kebudayaan”. Waktu mendirikan Fakultas Psikologi Undip, saya coba bikin landasan dengan memperkenalkan Psikologi Kebudayaan, Psikologi Lintas Budaya; siapa tahu kelak akan tiba masanya mengemas mata kuliah “Psikologi Jawa”. Ketika berkesempatan mendirikan Fakultas Psikologi di USM, gagasan itu coba saya terapkan lewat mata kuliah Psikologi Sosial dan Teori Psikologi Sosial dengan konteks kultural Jawa. Sementara yang paling bebas saya lakukan tentunya lewat ruang konsultasi psikologi di harian Jawa Pos yang saya asuh. Psikologi Jawa menyumbang banyak dalam upaya membantu pembaca yang mempertanyakan bagaimana mereka masih merumuskan, merenung-renungkan, menyimpulkan dan mengambil tindakan untuk memlihara kesentosaan jiwa mereka. So far, hasilnya ada sekalipun minimal. Sambutan para pembaca Jawa Pos yang paling kentara. Lalu munculnya satu dua tiga mahasiswa yang membuat skripsi terkait dengan isyu-isyunya wong Jawa, termasuk: Sir, Kalbu, Ruh, Suksma, Jiwa, Hati, Nafs, Akal, Angenangenan, dan tentu saja rasa.

Sebagaimana yang dilakukan Soemantri Hardjoprakoso, sekalipun “Candra Jiwa” yang dikemukakannya diklaim sebagai universal, toh beliau mempergunakan istilah “Candra Jiwa Indonesia” karena cintanya pada Indonesia. Jadi bukan karena landasan pemikiranya “Sasangka Jati” yang amat Jawa yang berasal dari “paranpara” Soenarto Mertowardjono, lalu disebut sebagai “Candra Jiwa Jawa” sekalipun para ahli antropologi kebudayaan lebih banyak menyebut Pangestu yang berlandaskan ajaran kitab “Sasangka Jati” sebagai kebatinan Jawa. Namun jelas, “Indonesia” yang dipergunakan dalam usaha untuk memahami Psikologi Indonesia bukan sekedar atribut saking cintanya kita pada Indonesia; tetapi upaya untuk memahami kebermacamragaman ilmu jiwa atau kawruh jiwa atau Candra Jiwa yang sejak dulu kala telah hidup dan berkembang dalam kognisi berbagai etnis yang membangun Indonesia. Etnopsikologi yang seharusnya diakui ada banyak sekali, sebanyak berbagai suku bangsa yang membentuk Indonesia ini.

Jawa adalah satu sumber kawruh jiwa atau ilmu jiwa ini.

Kajian tentang Psikologi Jawa --yang juga bermacam ragam (baca: mazhab)nya—memang banyak, utamanya dalam Psikologi Umum, termasuk landasan falsafahnya. Namun pengetahuan tentang jiwa itu sebagian memang berhenti pada tataran gagasan, konsep yang spekulatif atau ideologis. Karenanya diperlukan usaha untuk mengeksplisitkan dan mensistematikan masing-masing wejangan itu untuk kemudian dibangunkan suatu ilmu pengetahuan yang padu, integral meliputi segenap elemen, proses dan struktur kejiwaan manusia untuk menjadi Psikologi Jawa umum. Hal itu tidak mudah, karena kawruh-kawruh jiwa itu berasal dari berbagai babon yang sudah terlebih dahulu didirikan sebagai gagasan ideologi keyakinan. Kita ambil saja misalnya “Candra Jiwa Soenarto” atau “Candra Jiwa Indonesia” yang telah “diakui” ilmiah yang sampai hari ini tidak banyak (kalau tidak boleh dibilang tak ada) yang mencangkoknya. Justru sebaliknya, di balik Candra Jiwa yang ilmiah itu berdiri basis aliran kepercayaan Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal) yang sampai hari ini masih dimasukan dalam kategori “Kebatinan Jawa” atau “Aliran Kepercayaan” (Harun Hadiwiyono, Sularso Sopater) yang sedikit banyak telah mengalami “stigma” sebagai komunitas eksklusif (!).

TIGA ALIRAN PSIKOLOGI JAWA

Sosrokartono, Raden Mas Panji, saudara kandung Raden Ajeng Kartini, dikenal sebagai sarjana sastra pertama lulusan Belanda asal Indonesai, Jawa, Inlander dengan prestasi akademis yang gemilang. Beliau dikenal sebagai orang yang benar-benar merasakan (prihatin) akan nasib bangsanya dan menfatwakan berbagai kearifan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bangsanya. Karena itu banyak yang menganggap beliau sebagai guru sehingga lahir paguyuban Sosrokartan. Padahal beliau sesanti “Murid gurune pribadi/ Guru muride pribadi/ Pamulangane sangsarane sesami/ Ganjaran ayu lan arume sesami“. Amboi! Berbagai wewarahnya dipegang oleh banyak orang Jawa, antara lain: “Sugih tanpa bandha/Digdaya tanpa aji/Nglurug tanpa bala/ Menang tanpa ngasorake”, sesanti yang kelak ternyata bermanfaat dalam negosiasi bisnis berdasar “win-win solution” dengan “take & give”. Belum lagi ajaran beliau: “Durung menang yen during wani kalah/ Durung unggul yen during wani asor/ Durung gedhe yen during ngaku cilik”. Memang banyak sih yang berpendapat bahwa itu ajaran defaitis karena ungkapan beliau yang lain “Trimah mawi pasrah/ Sepi pamrih tebih ajrih”.

Bagaimana penjelasan dinamika psikologisnya? “Ikhlas marang apa sing wis kelakon/ Trimah apa kang dilakoni/ Pasrah marang kang bakal ana”. Sosrokartono menyebut dirinya “Djoko Pring” atau “Mandhor Klungsu”, penjaga inti terdalam. Klungsu yang bakal jadi cikal bakalnya pokok kelapa. Apabila manusia dapat diumpamakan sebagai kelapa, maka orang harus mengupas dulu sabutnya untuk ketemu tempurung, perlu mengupas tempurung untuk ketemu kenthosnya, klungsunya. Sementara Pring itu ”deling, ngandel lan eling”. Ungkapannya “Pring podho pring/ Weruh podho weruh/ Eling podho elingeling”, ingat. Sadar terus menerus akan Tuhannya dan sesamanya.(“eling tanpa nyandhing”). Karena itu beliau menorehkan tanda alif di rumah beliau di Darussalam Bandung. Alif, aku. Dari sinilah dimulai pencarian jati diri manusia. Di balik aku, ego yang egosentris dan egoistis itu, ada Alif. Manusia “mesthi ngonceki” dirinya agar menemukan dirinya. Ini bisa terjadi bila seseorang pasrah menyerah total pada Tuhan (Islam): “Trimah mawi pasrah/ Soewoengan pamrih tebih ajrih/langgeng tan ono seneng/Anteng manteng, soegeng jeneng “. Jatidiri, Alif, mungkin juga disebut “egoless ego”, ”manungsa tanpa ciri”, self, seperti yang ditelaah CG. Jung pada masa akhir hayatnya dalam “The Undiscovered Self”. Yang membuatnya berkesan mistis adalah karena Sosrokartono menyebut adanya Alif yang agung, yakni tuhan itu sendiri. Dan yang membuat wewarah Sosrokartono “berbau” magis adalah laku-nya ketika menyulam huruf Alif, dengan bau kemenyan. Orang diharap khusyuk “uluk salam“ pada Alif dan minum air penyembuhan sehingga oleh mereka yang terpesona kepadanya, dia disebut Hyang Sosrokartono.

Kedua, yang amat siap untuk menjadi psikologi adalah “Candra Jiwa Soenarto” yang diturunkan dari babon kitab “Sasangka jati” oleh Soemantri Hardjoprakosa. Dalam kawruh ini disebut manusia hidup dalam tiga “lingkungan”, yakni “alam sejati, “badan halus” dan “badan jasmani”. Di alam sejati itulah hadir suksma kawekas, suksma sejati, dan rokh suci. Suksma kawekas adalah “ada” yang yang tak berubah, suksma sejati adalah “ada” yang berubah, sedangkan roh suci adalah “ada” manusia dalam badan halus. Ketiganya disebut “Tri Purusa”, dan “Aku” adalah cerminan dari Tri Purusa. Manusia melalui Rahsa Jatinya berkomunikasi dengan Rokh Suci, Suksma Sejati dan Suksma Kawekas, apabila ia selalu “Eling”, “pracaya”, lan “mituhu “.

Jiwa atau badan jasmani halus mempunyai tiga kemampuan: Angen-angenan (yang membuat manusia “eling”, sadar). Cipta yang membawa pangaribawa, nalar membawa prabawa, pangesti membawa kemayan. Perasaan (menerima atau menolak) adalah dasar dari pracaya, sementara nafsu (amarah, supiah, mutmainah, lauwamah) adalah dasar dari taat. Demikian lah Aku, Ego, Superego mampu untuk “Sadar, Percaya, Taat” Melalui Soemantri Hardjoprakosa, Candra Jiwa Soenarto ini memang telah eksplisit psikologi dan dalam zaman “spiritual humanistic” ini, diharapkan respon masyarakat terhadapa konsep Candra Jiwa ini akan lebih merebak utamanya ketika di dunia psikologi modern telah berkembang apa yang disebut “transpersonal psychology”.

Ketika wejangan dari Ki Ageng Soerjomentaram yang semula memang diuraikan untuk membantu orang Jawa agar tetap bisa bahagia dalam situasi “keplenet” yang seperti apa pun. Semula wejangannya diberi nama “Kawruh Bagja Sawetah” dan kemudian “Kawruh Jiwa” termasuk dalam rangkaian itu “pangawikan pribadi”. Demikianlah beliau mejang tentang “rasa hidup” serta sifat rasa yang “mulur-mungkret”. Ungkapan “Jawa iku nggone rasa” mewujud di situ, utamanya karena beliau menyatakan bahwa hidup bahagia bila rasa itu ditata, karena “di dunia ini tidak ada yang layak dihindari mati-matian atau dikejar-kejar matimatian”. Bukankah ini sejalan dengan sesanti Jawa “Rasa kang samadya” dengan kiat “ngono ya ngono ning ojo ngono”. Karena itulah Ki Ageng Soerjomentaram mewejang kaidah “6 sa”: sabutuhe, saperlune, sacukupe, sapenake, samesthine, sabenere. “Orang tidak dianjurkan untuk “ngangsaangsa, ngaya-ngaya, golek benere dhewe. Sayang dalam pergaulan, orang cenderung untuk mengejar “drajat, semat, kramat”.

Rasa, “Aku (Kramadangsa)” dan “mawas diri” adalah tiga pokok penting dalam ajaran Ki Ageng.

Rasa adalah keadaran manusia seutuhnya seperti diucapkan oleh Ki Ageng, “Rasa iku Aku“. Mahluk hidup mempunyai rasa hidup. Rasa hidup menodorng mahluk hidup bergerak, dan gerak ini dimaksudkan untuk kelangsungan hidup. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti tujuan hidup dan kebutuhan hidup dengan pikirannya, dan tindakan yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dan mencapai tujuan didasarkan pada “ilmu”, pendidikan. Berbeda dengan manusia yang mempunyai rasa bahagia dan derita, hewan hanya mempunyai rasa senang dan rasa susah. Kebutuhan dan tujuan hidup membuat manusia menciptakan cita-cita. Kegagalan mencapai cita-cita adalah sumber derita. Ki Ageng juga memilahkan antara “rasa yang merasakan” dan “rasa yang dirasakan”. Rasa yang merasakan sakit berbeda dengan rasa sakit yang dirasakan. Ketidakmampuan membedakan antara rasa yang merasakan dan rasa yang dirasakan ini yang membuat manusia bingung. Orang baru merasa “ada” bila ia berhubungan dengan orang lain, dengan benda, atau dengan rasanya sendiri. Dalam hubungan itu orang menanggapi sesuatu dengan rasa senang atau benci yang bisa berubah menjadi rasa percaya dan tidak percaya. Inilah yang disebut sebagai rasa tanggapan.

Rasa catatan adalah catatan-catatan manusia (sebagai juru catat, manusia ukuran ke-satu) yang berisi segala macam kenyataan dalam rasanya yang didapat melalui panca indera. Catatan ini makin lama makin banyak dan mengelompokkan diri dalam berbagai kelompok catatan, misalnya drajad, semat dan kramat. Dari catatan-catatan ini muncul “rasa Aku (Kramadangsa)”. Rasa aku seringkali terikat dan bahkan menjadi budak rasa catatannya. Inilah yang disebut “manusia ukuran ke-tiga.” Sedangkan manusia ukuran ke-empat adalah manusia tanpa ciri (tanpa tenger), yang memiliki rasa bebas, bebas dari rasa benci dan sukanya, senang dan susahnya. Manusia tanpa ciri ini tidak berlangsung terusmenerus, tetapi hanya pada tiap kejadian, tiap peristiwa. Bila orang menganggap dirinya paling benar (penganggep bener) maka ia akan balik ke ukuran ke-tiga. Kesulitan-kesulitan banyak ditemui orang karena ia tidak mengetahui tentang dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri ini sama dengan pengetahuan hal jiwa, yang disebut “Pengawikan Pribadi”. Untuk bisa melakukan ini diperlukan latihan dengan cara “srawung”. Dalam srawung ini Kramadangsa dapat mencari rasa sama antara dirinya dengan diri orang lain.

Repotnya dalam kehidupan sehari-hari, Soerjomentaram yang adalah putra Hamengku Buwono VII, merasa “ora tau ketemu wong”, justru karena mereka yang ditemuinya itu tinggal “subasita”nya saja, “Tatakrama”nya, “moralisme”nya. Dalam “Pengawikan Pribadi” ia mengelakkan “Dudu Aku lan Dudu Kowe”, “Dudu Kramdangsa”, yakni dengan menemukan “manusia ukuran ke-empat”. Dalam bahasa masa kini ya “jati diri” manusia itu. Manusia tanpa ciri itulah yang bakal merasakan hidup bahagia.

WASANA KATA

Apabila wacana kali ini diakhiri dengan “Psikologi Jawa” tidaklah berarti bahwa Psikologi Jawa itu yang paling unggul diantara berbagai indigenous psychology atau etnopsikologi di Indonesia, hanya karena saya sejak asal mula telah ditumbuhkembangkan dalam budaya Jawa ini, sehingga meraa mengenal budaya jawa ini “by heart” dengan jalan menghayatinya, merasakanya, sekaligus untuk mengundang yang lain agar juga mewacanakan psikologi etniknya (etnopsikologinya) serta menerapkanya dalam “sharing” kawruh yang lebih terbuka, saling beri-dapat, sehingga lahir satu wacana Psikologi Indonesia yang lebih fungsional menuju ke kehidupan cultural-spiritual humanistic. Satu proses penyempurnaan ilmu pengetahuan seperti yang pernah diutarakan oleh Peter Berger dalam “The Sociology of Knowledge”nya. Semoga.

Oleh: Darmanto Jatman  (3 Desember 2007)
(disampaikan pada upacara peresmian penerimaan jabatan guru besar dalam Psikologi pada Fakultas Psikologi Undip Semarang, 2000.)


--------------------------------------------------------
Istilah mentalitas sudah jarang digunakan dalam dunia psikologi karena kuatnya orientasi positivisme dan berkembangnya behaviorisme yang memusatkan kajian pada gejala yang teramati dan terukur, sementara mentalitas tidak menjanjikan ke-eksak-an seperti itu.
“Rasa” Jawa lebih dari sekedar “rasa” yang diungkapkan sebagai “feeling”, “emotion”, “sentimentality”, “lust”, “mood”, atau “sensation”. “Wong Jawa” memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia, pernyataan dari kodrat Illahi, hati nurani.

Sumber:  http://eprints.undip.ac.id/354/1/Sudarmanto_Jatman.pdf

0 komentar:

Posting Komentar