RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA
Oleh: Ki Herman Sinung Janutama
PENDAHULUAN
Saya menyusun makalah ini semula hanya mengikuti permintaan panitia diskusi di Salihara. Beberapa catatan diberikan kepada saya. Seperti, bagaimana “persenyawaan” antara Islam dengan Kejawen? Bagaimana ajaran Ranggawarsita mengenai hal tersebut? Apa inti dari ajaran Ranggawarsita? Dan seterusnya, dan seterusnya. Bagi orang awam yang bernaung di bawah lindungan tradisi, seperti saya ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas-jelas keliru. Terdapat beberapa alasan mengapa saya menyatakan demikian. Pertama, pertanyaan tersebut berangkat dari anggapan bahwa “Islam” dan “Kejawen” atau Jawa adalah dua hal berbeda. Bahwa pembahasan keduanya harus mengikuti definisi kekinian yang gayut terhadap imperative category modern. Bagi saya, tentu saja hal ini sangat memberatkan. Betapa tidak? Jawa, kejawen, Islam, muslim, mukmin, harus dijelaskan dalam kerangka definisi-definisi demikian itu. Lha, terus bagaimana mungkin kita memahami term-term itu menurut makna yang dimaksudkan oleh budaya Jawa (Nuswantara) itu sendiri?
Jika operasi tersebut di atas kita gunakan, pasti anda akan mendapati simpulan yang tidak proporsional, jika bukan ala western. Orang Jawa bilang, simpulan cara landa atau wong sing kamilandanen. Artinya, simpulan-simpulan yang diperoleh dalam perspektif “kacamata” pinjaman. Bukan kacamata pengetahuan kita sendiri. Bukankah budaya Jawa atau Nuswantara itu budaya kita sendiri? Mengapa tidak kita pahami dari perspektif Jawa atau Nuswantara itu sendiri?
Kedua, maka saya tidak menginjak ranah pikiran sinkretik. Karena ia merupakan persenyawaan atau intersep dua “himpunan” berbeda. Melainkan saya mengikuti cara pandang leluhur. Bahwa Islam sejak dulunya disampaikan ke seluruh dunia mengikuti asas “bi lisani qoumihi” tidak melulu harus kaku mengikuti “lisaanan arobiyyan mubin”. Jadi, ia mengikuti asas di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau, dalam lisan Jawa bisa ajur ajer. Gejala ini mengisyaratkan adanya operasi konversi, dari lisan Arab ke lisan Jawa, atau secara umum lisan Nuswantara. Itulah sebabnya dalam lingkungan Jawa, terdapat pepatah wong jawa panggone semu. Semu artinya qiyas, konversi substitutif. Sementara istilah ja-wa itu sendiri memiliki pengertian yang-mengerti, yang-tahu, atau yang-memahami. Yakni yang-memahami konversian-konversian tersebut. Dengan kata lain, dalam pandangan orang Jawa, agama adalah budaya dan budaya adalah agama. Hal ini dikarenakan budaya Jawa atau Nuswantara adalah abstraksi dan inisiasi dari nilai-nilai agama itu sendiri.
Itulah sebabnya saya ingin menyajikan kajian budaya Jawa–dalam hal ini Ranggawarsita—dari tradisi paramasastra atau jinarwa Jawi itu sendiri. Dari cara kajian sebagaimana dicontohkan oleh leluhur Jawa atau Nuswantara yang tersebar dalam berbagai teks kejawen. Inilah yang disebut alam kapujanggan Jawi. Di dalamnya terdapat banyak model operasi demi menggali maknanya (jinarwa). Kali ini saya hanya menggunakan beberapa saja di antara operasi-operasi tersebut. Yakni operasi jinarwa dasanama, jarwadhosok, kiratabasa, dan garba.
Dasanama artinya sinonim, padanan, maupun persamaan kata dan istilah. Dalam bahasa Jawa satu kata tidak hanya memiliki satu atau dua padanan dan persamaan kata atau istilah. Melainkan bisa memiliki banyak sekali padanan dan persamaan kata atau istilah. Misalnya, barat= angin= arah barat= kulon, dst.
Jarwadhosok artinya memaknai kata atau istilah, khususnya memaknai dalam kerangka “dhosok” atau kebaktian kepada Tuhan YME. Operasi ini mirip uthak-athik-gathuk, namun gayut terhadap “persangkaan baik” atau husnudzon. Misalnya, barat= kulon= huluwan= yakni “asal muasal” perjalanan hidup manusia dalam rangka mencari dan menelusuri makna hidupnya.
Kiratabasa artinya memaknai kata atau istilah dengan kata atau istilah yang sekiranya mirip. Misalnya, barat (angin)= barata (keluarga)= brata (besar)= branta= brangta (cinta).
Garba adalah penggabungan dan pemisahan dua atau lebih kata dan istilah. Dalam bahasa sansekerta sering disebut sebagai sansandhi. Konsekuensi dari operasi ini adalah jumbuhnya dua suku kata yang sama. Misalnya, nuswantara= nuswa+swa+(sw)anta+tata+tara.
Sesungguhnya masih banyak lagi operasi-operasi bahasa dalam alam kapujanggan Jawi. Namun diskusi ini mencukupkan diri dengan mengoptimalkan empat operasi tersebut di atas.
Raden
Kata raden berasal dari kata rahadian atau roh-adi-an. Roh= ruh, suksma. Adi= luhur, mulia. Kata raden ini juga setara dengan radin= rasa, perasaan. Kata raden juga mengacu pada kata radya= negeri, keraton, atau pemangku negeri. Gelar umum bagi para bangsawan jawa (Nuswantara) ini dahulunya berarti pemangku negeri yang telah mencapai keluhuran ruhani dan kemuliaan akhlak. Bahkan juga telah mencapai “ketajaman perasaan” dan kelembutan hati nurani. Gelar ini juga dahulunya menunjuk kepada kewajiban para pemangku negeri, yakni para bangsawan atau pangeran di tanah jawa untuk memiliki komitmen moral dan spiritual. Sedemikian rupa sehingga mereka proporsional dalam memposisikan diri sebagai panutan moral, akhlak, dan budi pekerti bagi warga masyarakatnya. Kata pangeran itu sendiri berasal dari kata pa+ngenger+an. Di mana ngenger= nderek, ngawula, atau mengabdi melayani junjungan. Maka kata pa+ngenger+an berarti tempat mengabdi dan menghamba warga masyarakatnya. Pengabdian dan penghambaan dari warga, akan memperoleh imbal balik berupa pengayoman, perlindungan dan pendidikan dari para “pangeran” tersebut.
Diktum ini sangat berbeda dengan feodalisme eropa. Para pangeran atau prince= lord= count di Eropa secara umum mendasarkan diri pada penguasaan tanah dan wilayah. Secara lebih luas semata-mata melandaskan diri pada kepentingan politik dan ekonomi. Oleh karena itu komitmennya bersifat eksploitatif dan kontradiktif. Tuan-hamba, aristokrat-rakyat, kapitalis-buruh, dll. Upaya-upaya memaksakan similarisasi atas dua fakta budaya berbeda tersebut menurut hemat saya merupakan kekejaman, jika bukan kejahatan.
Ngabehi
Kata ngabehi pada gelar raden ngabehi secara langsung menunjukkan posisi yang bersangkutan sebagai tokoh sesepuh atau orang yang dituakan oleh keraton (sultan atau susuhunan). Sebagai contoh gelar kebangsawanan pada mendiang GBPH Sandiya, yakni seorang ulama di Mlangi, Ngayogyakarta. GBPH pada gelar ini kepanjangan dari Gusti Bendhara Pangeran Hangabehi. Beliau diposisikan sebagai kakak, atau sesepuh, atau saudara tua oleh mendiang Sri Sultan Hamengku Buwana al awwal (pertama, 1755-1812). Sebaliknya, adalah gelar raden-harya. Kata harya pada gelar ini menunjuk kepada posisi yang bersangkutan sebagai adik, atau saudara muda dari karaton atau sultan. Sebagai contoh, gelar GBPH pada adik-adik Sri Sultan HB X (dinobatkan 1989), yakni Gusti Yudaningrat, atau Gusti Jayakusuma. GBPH pada gelar ini merupakan kepanjangan dari Gusti Bendhara Pangeran Harya.
Dari numenklatur pada tradisi gelar ini, kita dapat melihat posisi Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-73), setidaknya di kalangan kraton Surakarta Hadiningrat dan budaya Jawa pada umumnya. Pada tahun 1844, 14 tahun setelah perang Jawa (sabilolah Dipanegara), Karaton Surakarta Hadiningrat mengangkat Ranggawarsita (42 tahun) sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom, atau Kliwon Carik, atau Pujangga Karaton, dengan gelar resmi Raden Ngabehi Ranggawarsita. Apa maknanya?
Ranggawarsita
Kakek buyut Raden Mas Burhan adalah Pangeran Wijil dari lingkungan ulama Kadilangu, Demak Bintara. Beliau adalah pelestari Kitab Jayabaya Kidung, dengan menuliskannya kembali dari tradisi lisan. Jika silsilah Pangeran Wijil ini diteruskan ke atas lagi, ayah Pangeran Wijil adalah Tumenggung Tirtawiguna, kakeknya adalah Tumenggung Sujanapura, seorang pujangga di Kraton Pajang. Yakni era Sultan Hadiwijaya (1580-an). Tumenggung Sujanapura adalah putra dari Panembahan Tejowulan di Jogorogo (sekitar kota Sragen sekarang). Panembahan Tejowulan adalah putra dari Raden Arya Pamekas. Raden Arya Pamekas adalah putra dari Raden Patah atau Bagus Kasan atau Syah Alam Akbar. Bagus Kasan, atau Raden Patah, atau Pangeran Jinbun, ini adalah putra dari Prabhu Brawijaya V, sultan terakhir Majapahit.
Keturunan dari Pangeran Wijil adalah Raden Ngabehi Yasadipura I. Raden Ngabehi Yasadipura I berputra Raden Ngabehi Yasadipura II pujangga di lingkungan Kraton Surakarta. Namun Yasadipura II ini juga seorang senapati tempur era perang sabilolah Dipanegara (1825-30). Beliau memimpin pertempuran di wilayah timur pesisir utara Jawa, bergelar Raden Tumenggung Sastranegara. Seusai peperangan, Tumenggung Sastranegara tertangkap oleh kumpeni dan dihukum mati di Batavia. Beliau dimakamkan dengan nama kecilnya—yakni Sayyid Abubakar—di kompleks pemakaman keramat Luar Batang, Jakarta.
Sesungguhnya peran Mas Burhan tak beda dengan ayahnya, Sayyid Abubakar, maupun leluhur-leluhurnya. Nama Ranggawarsita berasal dari kata rangga+warsita. Rangga= senapati, panglima, komandan pertempuran. Warsita= wacana, wejangan, pengetahuan hidup, episteme. Nama ini secara langsung menunjukkan bahwa para pemimpin tanah Jawa mengubah strategi peperangannya melawan kumpeni. Selepas peperangan fisik di perang Jawa/Dipanegara, maka peperangan dengan kumpeni berubah bentuk menjadi peperangan pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa Mas Burhan diberi gelar R Ng. Ranggawarsita, bukan Yasadipura III. Dan hal ini terbukti dengan bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan pengetahuan Jawa. Bersamaan era atau masa dengan R Ng. Ranggawarsita adalah Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809-81) dari Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Perlawanan epistemik ini diikuti pula dengan strategi para pemimpin tanah Jawa untuk mengirimkan ulama-cendikiawannya ke sekolah-sekolah di mancanegara. Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat, mengirimkan para ulama-cendikiawannya ke Mekah untuk menyempurnakan pengajaran dan penyebaran agama Islam. Di Mekah mereka membantu proses belajar-mengajar di Gedung Wakaf Mataram, sedangkan di Kitab Jayabaya muncul sekitar 1157 setelah itu selama ratusan tahun mengendap menjadi tradisi lisan di kalangan bangsawan. Muncul kembali dalam bentuk Kitab Asrar, setelah disusun ulang oleh Kangjeng Sunan Giri Sepuh sekitar 1400. Setelah itu kembali mengendap menjadi tradisi lisan di kalangan bangsawan. Disusun kembali menjadi Kitab Jayabaya Kidung oleh Pangeran Wijil sekitar 1740. Penyusunan ini diikuti oleh pujangga-pujangga keraton Kartasura.
Pada abad ke-14, setiap orang termasuk para petinggi dan para walyullah, lazim memiliki 3 versi nama. Sunan Kalijaga misalnya, bernama arab Raden Mas Sahid, bernama tionghoa Oei Sam Iek. Sunan Ngampel (nama Jawa), juga bernama Raden Rakhmat Makhdum (arab), dan Tan Go Hwat (nama tionghoa). Sunan Gunungjati (nama Jawa), juga bernama Syarif Hidayatullah (nama arab), dan Tan Beng Hwat (nama tionghoa).
Namun strategi kebudayaan peradaban Jawa (Nuswantara) ini sepertinya diketahui oleh kumpeni. Mereka menghadapi ekspansi pengetahuan tradisi ini dengan antisipasi berupa gerakan etische politiek. Yakni semacam gerakan “balas budi” semu, dengan mendirikan sekolah rendah untuk pribumi. Namun sifat sekolah ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai negri rendahan dalam lingkungan administrasi kumpeni. Kumpeni menembak mati R Ng. Ranggawarsita yang dianggap terlalu berbahaya bagi kolonialisme. Maka sang panglima peperangan pengetahuan Jawa itu gugur pada 24 Desember 1873, atau 5 Dulkangidah 1802 Jawa. Beliau mengikuti jejak ayahnya dan leluhur-leluhurnya sebagai rangga atau komandan pertempuran. R Ng. Ranggawarsita di makamkan di desa Palar, kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Sandyasma:
Kala Tidha atau Kala Bendu
R Ng. Ranggawarsita sendiri telah memberikan keterangan perihal tujuan hidup dan karyanya. Hal ini terdapat pada dua sandyasma pada Serat Jaka Lodhang dan Serat Sabda Jati. Sandyasma berasal dari dua kata sandi+asma. Sandi= sasmita= sandi, kode, tanda yang mengarahkan makna. Asma= aran= jeneng= nama= asma. Jadi nama ranggawarsita itu sendiri telah memberikan clues mengenai tujuan hidup dan karya sang pujangga.
Rongeh jleg tumiba
Gagaran santosa
Wartane meh teka
Sikara karodha
Tatage tan katon
Barang-barang ngerong
Saguh tanpa raga
Katali kawawar
Dhadhal amekasi
Tonda murang tata
Eh, eh, tiba-tiba saja datangnya
kabar gempar yang sangat meyakinkan
mengabarkan hampir tiba saatnya
angkara yang semula terlindas
ketegarannya yang semula lenyap
materialnya yang semula menyembunyikan diri
kehebatannya yang semula tak bisa dinyatakan
yang semula terikat kuat terlepaskyahi lokal keluarga Ibnu Wahhab.
menghambur tanpa batas
tanda mulanya segala kekurangajaran
Sebait gurit atau puisi di atas terdapat dalam Serat Jaka Lodhang. Tujuan hidup dan karya sang Pujangga R Ng. Ranggawarsita ingin mengabarkan sesuatu yang-buruk yang akan menimpa peradaban manusia. Bahwa angkaramurka yang mengandung kecurangan, kelicikan, yang-asusila, dan materialisme akan mendunia dan merajalela. Angkaramurka akan menjadi grand-narrative dunia. Angkaramurka akan menjadi orde global di seluruh dunia. Inilah yang disebut sebagai kala tidha yang artinya jaman serba ragu-ragu. Jaman ini disebut juga oleh eyang Prabhu Jayabhaya sebagai kala bendu. Artinya, jaman edan yang serba celaka, serba bencana, serba prahara. Sedangkan Sultan Pabhu Brawijaya V (1478) menengarainya dengan sesantinya yang sangat terkenal: sirna ilang kertaning bhumi.
Di samping itu jika suku kata terdepan dan terakhir disusun dari atas ke bawah, diperoleh kalimat RONGGAWARSITA BASA KADHATON dan BASA KADHATON RONGGAWARSITA. Artinya, sang pujangga Ranggawarsita mengemukakan basa kadhaton. Basa= bahasa= pengetahuan= kebijaksanaan. Kadhaton dari ka+dhatu+an, di mana dhatu artinya sepuh= tua= tetua= generasi awal mula. Makna dari kalimat ini adalah bahwa sang pujangga R Ng. Ranggawarsita bermaksud mengemukakan kembali pengetahuan-pengetahuan atau kebijaksanaan para ulama, cerdik pandai yang telah menjadi pegangan hidup manusia sejak dahulu kala. Ini adalah pengetahuan kebijaksanaan kuno, scientia sacra, atau atsatiruuna al awwaliin.
Megatruh
Haywa pegat ngudiya ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan sampai terputus mencari sumber keindahan budi pekerti
Jalan bagi kebahagiaan dan keselamatan hidup
Terlepas dari hasrat keinginan
Terjauhkan dari amal menyesatkan
Dengan tekun melakukan prihatin
Bait gurit ini terdapat dalam Serat Sabda Jati. Serat ini menjelaskan bagaimana jalan hidup manusia agar bisa selamat hidup di dalam jaman kala bendu, kala tidha, atau jaman edan. Hal demikian ini juga pernah dikumandangkan oleh Mahapatih Amangkubhumi Majapahit Gadjahmada (1328), setengah abad sebelumnya. Yakni dengan sumpah tanayun amukti palapa. Tanayun= meninggalkan hasrat kehendak terhadap gemerlapnya dunia, atau ziinata al hayata addunya’. Amukti= prihatin, bersakit-sakit. Palapa= pa+lapa= pala+lapa= membaktikan diri kepada Tuhan YME dengan berpuasa sepanjang hayat.
Ajaran Ranggawarsita:
Triparaga
Ajaran R Ng. Ranggawarsita sesungguhnya merupakan kelanjutan dari ajaran leluhur Jawa atau Nuswantara. Hal ini dikatakannya sendiri dalam sebuah suluk:
Panemune pujangga Ranggawarsita, kang kawasitakake marang para siswa-siswane: Aja uwas sumelang ing ati. Ing wekasan sumangga, angon-angon ana ing karsa, katarima ana ing sarira. Sarehning aku mung sadarma ngimpun sakehing ilmu saka wewejanging guru sawiji-wiji, pangrasaning atiku wis ganep etunge, kuranga kaya ora akeh.
Artinya, pandangan sang pujangga Ranggawarsita, yang disampaikan kepada para siswanya: janganlah hati kalian was-was dan khawatir. Silahkan merenunginya, dibayangkan dalam karsa, diterimakan di dalam jiwa. Karena saya ini hanya menghimpun sebanyak-banyak ilmu dari wejangan guru demi guru. Sepanjang perasaan hati saya, semua telah saya genapkan, kalaulah masih kurang tak seberapa banyak. Demikian sang pujangga yang memandang dirinya dengan sangat bersahaja.
Dalam alam kesadaran Jawa, terutama yang diajarkan oleh Ranggawarsita, terdapat pengertian hubungan Allah-manusia. Model skematik relasi tersebut disebut triparaga. Yakni Baetul Makmur, Baetul Muharom, dan Baetul Mukodas. Dalam bahasa Jawa dipaparkan seperti di bawah ini. Pertama, wewejangan ingkang dhihin, dipunwastani: Baetul Makmur, inggih kayektening Pangeran, inggih punika pitedhahan tataning karaton, duk tinata wonten uteking manungsa. Sajatosipun inggih namung kangge pitedahan kayektening wujud satunggal-satunggal, anandhakaken kadadosan karsa, ingkang boten ewah gingsir ing kahananipun. Wejangan wau inggih anggelaraken bab sampurnaning manungsa, kang ugi sasadan pangandikanipun Pangeran dhateng Nabi Mohammad s.a.w. Makaten pangandikanipun: Sajatine ingsun anata palenggahan, dumunung ana ing enggon parameyaningsun, jumeneng ana sirahing menungsa. Kang ana sajroning sirah iku utek, kang gagandhengan ana ing antarane utek iku manik. Yaiku telenging netra, aran pramana. Sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, kang uga ingaran angen - angen. Sajroning napsu iku suksma, kang uga ingaran nyawa, roh utawa getih. Sajroning suksma iku rahsa, kang uga ingaran cipta. Sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran, nanging Ingsun sajatining urip kang anglimputi sagunging kahanan.
Menggah dunungipun makaten:
1. Sirah, sajatining enggen parameyan.
2.Utek, kandanging cahya, pambukaning netya (praen).
3. Manik, sajatimng pramana, pambukaning paningal.
4. Budi, sajatining manah, pambukaning pamicara.
5. Napsu, sajatining angen-angen, pambukaning swara.
6. Suksma, sajatining nyawa, pambukaning swarga.
7. Rahsa, sajatining gesang, pambukaning pangraos.
Peperangan ing nginggil punika, sajatosipun boten sanes wiring pangawasa wau, inggih saking purbawisesaning Pangeran kita.
Kedua, Wejangan ingkang kaping pindha, dipunwastani: K a n y a t a h a n I n g wahananing Pangeran, inggih punika ambuka panataning palenggahan, duk jumeneng women salebeting jantunging manungsa, punika sajatosipun inggih namung minangka pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kadadosaning karsa ingkang langgeng boten mawi ewah gingsir saking kahanan jati. Makaten ugi ngemot cariyos bab kasampurnaning manungsa. Sasadan pangandikaning Pangeran dhateng Nabi Agung Mohammad s.a.w. Makaten firman utawi pangandikanipun: sajatine Ingsun anata palenggahan ana sajroning jantunging manungsa, iya iku enggon laranganingsun, jumeneng ana dhadhaning manungsa, kang ana sajroning dhadha iku ati, kang gagandhengan ana saantaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, tegese angen-angen, sajroning jinem iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, sajatining urip kang anglimputi sagunging kahanan, menggah dunungipun makaten:
1. Dhadha, tegesipun griya kang ka’awisan.
2. Ati, tegesipun pancadriya, inggih napsu, wahyaning napas.
3. Jantung tegesipun osik gangsal, inggih birahi, wahyaning keteteg.
4. Budi tegesipun kawaspadan, inggih karsa, wahyaning pamicara.
5. Jinem tegesipun panggraita, inggih swara, wahyaning pamiarsa
6. Suksma tegesipun erah, inggih cipta, wahyaning pangganda.
7. Rahsa tegesipun urip, inggih kang kawasa, wahyaning pangraos.
Perangan ing nginggil punika, inggih sami kemawon maksudipun ka-liyan perangan ing wewejangan ingkang kaping sakawan.
Ketiga, wewejangan ingkang kaping tiga, dipunwastani: K a y e k t e n kahananing Pangeran, inggih punika pambuka tataning palenggahan duk tinata wonten kontholing (penis) manungsa, inggih saking karsaning Pangeran ingkang amesti, punika sajatosipun inggih amung minangka pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal, nandhakaken kadadosaning karsa ingkang boten mawi ewah gingsir ing kahanan jati. Makaten ugi ngemot carios bab kasampurnahing manungsa ingkang ugi sasadan pangandikanipun Pangeran dhateng N. Mohammad s.a.w. Makaten firman utawi pangandikanipun: sajatine ingsun anata palenggahan ana sajroning kontholing manungsa, iku omah dununging pasucianingsun. Kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang anglimputi ana saantaraning pringsilan iku mani, sasarining mani iku madi, sasarining madi iku wadi. Sasarining wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahasa, sajronig rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, sajatining urip kang anglimputi sakliring tumitah, jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun mahanani sosotya kang dhingin kahanan kabeh. Maksih dumunung ana alaming wiji, laju amnggon ana ing alam pambabaring wiji, laju tumurun ana alaming suksma, yaiku getih, laju tumurun ana alam kang during kahana, yaiku alam kang ingaran upama, laju turun ing alam dunya, yaiku alaming manungsa urip, lan yaiku sajatining warnaningsun. Menggah dunungipun makaten:
1. Konthol, sinebut griya kang sinucekaken.
2. Pringsilan, nyataning birahi, bubuka sengseming manah.
3. Maui, nyataning hawa, bubuka sengseming pandulu.
4. Madi, nyataning karsa, bubuka sengseming pamireng.
5. Wadi, nyataning cipta, bubuka sengseming pocapan.
6. Manikem, nyataning pangraos, bubuka sengseming pangambu.
7. Rahsa, nyataning pangawasa, bubuka sengseming salulut.
Panggenahipun malih:
1. Mani, pejuh. Ingkang taksih kados toya, warninipun surat biru.
2. Madi, sarining mani, warninipun surat dhadhu.
3. Wadi, sarining madi, warninipun surat jene.
4. Manikem, sarining wadi, warninipun pethak mayu-iuaya kadi retna.
5. Wiji kang piningit, inggih punika rahsa sajati.
6. Sosotya ing dhihin, inggih manik embaning rahsa sajati, ing ngriku wontening papangkatan pambabaring wiji, dumunung pitung kahanan, inggih punika nalika kita taksih dumunung wonten guwagarbaning rena (biyung), inggih punika :
1. Duk kendel 1 wulan, kita dumunung wonten alaming wiji.
2. Duk kendel 2 wulan, kita dumunung wonten pasenedhaning wiji
3. Duk kendel 3 wulan, kita dumunung wonten pambabaring wiji.
4. Duk kendel 4 wulart, kita dumunung wonten alaming rah.
5. Duk kendel 5 wulan, kita dumunung wonten alaming. upama.
6. Duk kendel 6 wulan, kita dumunung wonten alaming badan.
7. Duk kendel 7, 8. 9, wulan, kita dumunung wonten alaming manungsa.
Ing ngriku kita tetep jumeneng kasampurnaning manungsa (insankamil). Sampun darbe pakerti kita badhe lahir saking guwa garbaning ibu, tumitah wonten ing donya.Dene wejangan punika tnanawi tumanduk dhateng tiyang estri, wenang kasantunan pamangsitipira makaten: ingsun anata palenggahan jumeneng ana bagane Siti Kawa, kang ana sajroning baga iku purana, kang ana antaraning purana iku reta, sajroning reta iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, Ian salajengipun kados wejangan rumraping priya kasebut ing nginggil.
Similaritas:
Agama=Budaya
Similaritas antara agama dan budaya terdapat dalam karya Sinuhun Pakoe Boewana Kaping X (1910) dengan irah-irahan atau judul Serat Rerepen. Serat ini bukan karya langsung dari R Ng. Ranggawarsita, ia muncul sekitar 30 tahun setelah wafatnya. Namun serat ini menjadi penting karena secara langsung menjelaskan similaritas yang dimaksud.
Pangkur
(1)
Pamundhut hingsun mring sira
Santana lan kawula kabeh hiki
Hambak taler Jawa tuhu
Tan hala haprayuga
Gayuh suprih yem tentrem hayuning srawung29
Wajib netepana warah
Wuruking agama suci30
Nasehatku untuk kalian
Kerabat dan rakyat semuanya ini
Yang telah ditakdirkan menjadi orang Jawa (Nuswantara)
Tidak buruk, bahkan utama
Mencitakan terwujudnya ketentraman kehidupan sesama
Wajib menetapi ajaran
Petunjuk agama suci
(2)
Narendra miwah pujangga
Wali lan pandhita jatine kaki
Karsaning Kang Maha Agung
Gunggunging Islam-Jawa
Marmane langgengna tunggal loro hiku
Ja-hana hingkang tinggal Jawa
Lan ja-hana hadoh agami
Para raja dan para pujangga
sesungguhnya para wali dan ulama anakku
Atas Kehendak Yang Maha Agung
Agunglah Islam-Jawa
Karena itu lestarikanlah dwitunggal itu
Jangan sampai ada yang semata Jawa
Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama
(3)
Tinulis sajroning Qur’an
Hantepana dadya laku ban hari
Miwah wanguning Kadhatun
Tindakna klawan takwa
Wit kang mangkana sira jeneng geguru
Ratu habudaya Jawa
Wali panuntun agami
Yang telah tertulis dalam Al Qur’an
Mantapkanlah menjadi perilaku sehari-hari
Demi indahnya sebuah pemerintahan
Jalankanlah dengan takwa
Karenanya hendaklah engkau berguru
Para raja yang berbudaya Jawa
Juga adalah para wali penuntun agama.
Nuwun.
Daftar Pustaka
1. Abdullah Ciptoprawiro, dr., Filsafat Jawa, Balai Pustaka, 1992.
2. Agus Haryo Sudarmojo, Kepahlawanan dan Inspirasi Pangeran Sambernyowo, Kompas, Jakarta, 2011.
3. Andjar-Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon, Aneka Ilmu Semarang, tt.
4. Dirdjosiswojo, Kawi-Djinarwa I-II, PT Pertjetakan RI, 1957.
5. Herman Sinung Janutama, Ki, Pisowanan Alit-1, Nuswantara Negeri Keramat, Lkis, Yogyakarta, 2012.
6. KRT Tjakraningrat, Kitab Primbon Atassadhur Adammakna, CV Buana Raya, Yogyakarta.
7. Mandoyokusumo, KRT., Serat Radjaputra, Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
8. Pranoedjoe Poespaningrat, Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru, PT. BPKR, 2008.
9. R. Tanaya, Baboning Primbon, Surakarta, tt.
10. Wamugi, Drs., Sunan Kalijaga, Fortuna, Pekalongan, 2005.
11. Werdoyo, TS., Tan Jin Sing, dari Kapiten China sampai Bupati Yogyakarta, Grafiti Pers, Jakarta, 1990.
------------------------------------
Tentang Penulis
Ki Herman Sinung Janutama (45), adalah pekerja budaya dan pemerhati persoalan Filsafat. Reader pada waosan kitab Primbon Betaljemur Adammakna di gelaran Indonesia Buku, Ngayogyakarta. Pembantu panitia penyelenggara Pagelaran Wayang Kulit di Sasana Hinggil Dwi Abad ”Pepadang”, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat 2012. Koordinator diskusi bulanan ”Pepadang” Pra-pagelaran Wayang Kulit di Sasana Hinggil Dwi Abad, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat 2012.
Pernah sekolah di FMIPA, Jurusan Fisika Teori, Universitas Gadjah Mada, serta Fakultas Akidah-Filsafat UIN Suka Yogyakarta. Akrab dengan budaya Jawa sejak bersekolah di SDN (Jawa) Endrakila, Madiun. Dan juga sejak bersekolah di SMPN 1 Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.
Pekerjaan paling berkesan adalah sebagai Pedagang Asongan di Pasar Demangan, Pasar Beringharjo, dan Pasar Kolombo Yogyakarta. Juga sebagai Pembantu Penjual Rujak Es Krim di perempatan Pandeyan, Umbulharjo. Pernah menjadi CEO pada PT Scripta Perennia, Jakarta. Semua itu dijalani penulis sebagai laku ngudi kawruh sangkan paran.
Buku yang telah ditulis antara lain: Mencari Tuhan dalam Fisika Eisntein, 2007 (karya terjemahan), Pisowanan Alit (2009), dan Kesultanan Majapahit (2010). Ada juga buku-buku indie seperti Dikiran Pujabekten 1, Dikiran Pujabekten 2, Premis-premis Pembacaan Khasanah Kebudayaan Jawa dan Nuswantara, Ecce Dialecticus - Dialectico In Traditio Demonstrata, Pierre Bourdieu - In Mea Demonstrata, Meditasi atas Modernitas.
[Ngayogyakarta Hadiningrat, Selasa Pon, 13 Ruwah 1945 Jawa, 3 Juli 2012]
______________________________________________________________
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia
t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org
0 komentar:
Posting Komentar