Menurut Profesor Selo Soemardjan, masyarakat Indonesia termasuk penganut kebudayaan malu. Bahkan di beberapa daerah, nilai-nilai budayanya membenarkan orang menebus malu dengan jiwa sendiri atau jiwa orang lain. Carok di Madura atau Siri di Bugis mempunyai akar budaya malu itu, budaya yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan harkat serta martabat diri dan keluarga.
Di Jawa, ada ungkapan 'sedumuk bathuk' -- bagian kening kalau tercoreng membikin malu. Dan bagian itu sangat mahal harganya. Banyak kesatria Jawa kehilangan keseimbangan ketika mulai merasa tersentuh 'sedumuk bathuk'-nya. Karena itu, dalam masyarakat yang menganut kebudayaan malu, perkara kritik menjadi sangat pelik. Bagaimana menyampaikan kritik tanpa membuat malu bahkan menjadi problem akademis.
Prof. Selo menasihati, lakukanlah kritik itu sedemikian rupa manis, hingga yang dikritik bisa ketawa terkekeh-kekeh. Sekurang-kurangnya, tersenyum geli. Karena itu, dalam tradisi masyarakat Yogyakarta, wahana kritik sosial itu disalurkan melalui dagelan Mataram. Dalam seni wayang kulit atau wayang golek pun, kritik dimasukkan dalam bagian yang tidak serius, bebodoran atau pernesan. Peran pengritik dilakukan oleh tokoh-tokoh lawak, yang pasti tidak mengancam kedudukan. Mereka sah mengeluarkan kritik, karena telah teruji kesetiaannya. Pelawak itu ialah panakawan alias begundal setia. Dari tampang, pakaian, tindak-tanduknya, mereka nyata-nyata bukan ancaman terhadap takhta dan wibawa penerima kritik.
Kitab Wedatama merupakan salah satu rujukan yang baik tentang pandangan budaya Jawa tentang kritik. Kumpulan lima gugus tembang cantik dan terdiri atas pilihan kata yang menyentuh hati itu, di kalangan masyarakat keraton dan priayi Jawa, dikenal sebagai karya K.G P.A.A Mangkoenagoro IV. Kitab ini memberi petunjuk tentang sikap arif dan luhur, pedoman bagi para penguasa di Jawa. Demikian populernya tembang yang tercantum dalam kitab Wedatama ini, hingga hampir setiap orang Jawa yang dibesarkan di tanah leluhurnya pasti bisa menyanyikannya di luar kepala, satu atau beberapa pupuh tembangnya.
Sesungguhnya, Wedatama bukan hanya bicara soal kritik, tetapi juga tentang berbagai kearifan lainnya. Kebudayaan Jawa kurang mendukung awam yang turut bicara dan mengutarakan pendapat. Apalagi bila awam itu berani mengutarakan Impian atau cita-cita yang muluk-muluk, orisinil, dan tidak lazim.
Dengan pedas Wedatama menghardik:
"Si pengung nora nglegewa,
sang sardo nggenira cariwis,
angandar-andar angendukur,
kandane nora kaprah."
Bila diterjemahkan bebas, kurang lebih artinya: "Si pandir (awam) itu tidak peduli bicaranya makin ngelantur, muluk, dan tidak lazim."
Menurut Wedatama, hanya mereka yang arif yang patut didengar, mereka yang mampu mengutarakan segala sesuatu secara menyejukkan. Pupuh-pupuh tembang dalam gugus Pangkur di awal Wedatama ini menjabarkan secara rinci tentang masalah ini. Tetapi bagian yang paling langsung membahas soal kritik tertera pada gugus tembang ketiga, Pucung.
Pada akhir pupuh 12 dan pupuh 13 tembang pendek-pendek berirama lugas itu, Wedatama menghantam kaum pengritik. Perhatikan getirnya pandangan kitab budi pekerti keraton Jawa ini, tentang kritik:
"Nora kaya si muda mudar angkara,
nora uwus kareme anguwus-uwus,
uwese tan ana,
mung janjine muring muring,
kaya buta buteng betah nganiaya."
Tembang dengan untaian kata-kata pendek itu bila diterjemahkan mengandung makna yang pahit: "Tidak seperti pemuda yang sedang berang, kegemarannya menjelek-jelekkan (saja), padahal sesungguhnya tiada aib apapun, (pokoknya) asal marah-marah saja, seperti raksasa yang kala lalu berbuat aniaya."
Dalam kerangka budaya yang demikian, lalu bagaimana kalau rakyat yang diperintah hendak unjuk usul atau urun rembuk? Ada caranya, kata Wedatama. "Bersikaplah realistis. Karena segala pikiran dan pengetahuanmu itu toh masih harus dicobakan dulu dalam kondisi kemasyarakatan yang nyata," kata tembang Pucung itu lebih lanjut. Ini mengagetkan. Karena ungkapan Wedatama ini paralel sekali dengan sikap umum yang diambil oleh pejabat kita, baik dia berasal dari Jawa maupun dari luar. Padahal, belum tentu mereka itu sudah pernah membaca Wedatama. Kalau toh sudah, saya menduga belum sampai pada gugus Pucung yang lugas ini.
Wedatama juga punya resep tentang cara mengatasi perbedaan pendapat. "Perbedaan pendapat jangan sampai menyebabkan pertengkaran. Karena kalau demikian akan justru menjadi penghalang terlaksananya maksud baik yang terkandung dalam pendapat yang berbeda itu. Manakala ada selisih pendapat, seyogyanya diselesaikan dengan dingin dan tenang. Dengan semangat semata-mata mencari pemecahan yang arif dan utama." Enak didengar. Lebih enak lagi kalau ditembangkan dalam Macapat yang gayeng dan sambil ndekok. Tetapi jangan ada rakyat kebanyakan yang mencoba berbeda pendapat dengan penguasa. Karena resep di atas hanya berlaku antaraparat kekuasaan.
Tidak hanya Wedatama yang mengulas sikap budaya Jawa tentang kritik. Dalam kitab Wulangreh (secara harfiah artinya ajaran memerintah) juga ada gugus tembang yang melarang mengeluarkan kritik yang kelewatan, memuji-muji diri dan suka mencela orang lain. Tenggang rasa dan semangat setia kawan sesama abdi negara harus dijaga. Ini tercantum dalam gugus tembang Durmo.
Sesungguhnyalah, budaya Jawa memang memiliki trauma pada kajinya ucapan buruk. Itu kalau Wedatama dan Wulangreh bisa jadi rujukan yang sahih. Karena pada tembang terakhir kitab ini pun, yang disusun dalam irama Wirangrong, orang dinasihati agar menjaga lidah.
Buat seorang penguasa yang menganut ajaran Wulangreh, kajinya berucap buruk itu disejajarkan derajad kejahatannya dengan perbuatan madat, main, minum, main perempuan, dan... bermental saudagar. Lho? habis, memang begitulah kata Wulangreh, penguasa yang bermental pengusaha itu juga nista.
*) Kolom Majalah Tempo - 13 Agustus 1988.
0 komentar:
Posting Komentar