Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali rnasih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?.
Seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889):
(1) wayang,
(2) gamelan,
(3) ilmu irama sanjak,
(4) batik,
(5) pengerjaan logam,
(6) sistem mata uang sendiri,
(7) ilmu teknologi pelayaran,
(8) astronomi,
(9) pertanian sawah,
(10) birokrasi pemerintahan yang teratur
Sepuluh butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India. Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa prasejarah.
Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengarn bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.
Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).
Dalam pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):
- menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
- menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.
Sumber data tentang gamelan
Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.
Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber - sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh - tabehan” (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti 'alat pemukul'. Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke¬13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.
Gambaran instrument gamelan pada relief candi
Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).
Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik pukul).
Pengelompokan yang lain adalah:
(1) Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul.
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).
1. Kelompok membranofon (Avanaddha vadya)
Kelompok membranofon adalah instrumen garnelan, yang suber bunyi ada pada selaput kulit atau bahan lainnya. Di dalam gamelan Jawa kelompok ini adalah jenis kendang. Dalam beberapa prasasti diperoleh bukti bahwa instrumen kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang.
Istilah 'padahi' tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Istilah tersebut terus dipergunakan sampai pada jaman Majapahit sebagaimana dapat dibaca pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960). Bukan tidak mungkin bahwa instrumen musik jenis membranofon merupakan jenis instrumen gamelan yang telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan alat-alat musik yang dimiliki suku bangsa primitif yang pada umumnya dari kelompok membranofon. Di jaman kebudayaan logam prasejarah di Indonesia (kebudayaan perunggu) telah dikenal adanya jenis moko, nekara. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang. Penulis tidak sependapat bahwa nekara dalarn perkembangannya kemudian menjadi gong.
Di India instrumen jenis kendang disebut dengan berbagai nama seperti: dundubhi, pataha, mridangga, panava, murawa, mrdala. dan telah dikenal sejak masa Weda. Jenis 'dundubhi' disebutkan sebagai 'kendang yang jika dipukul dapat mengalahkan musuh' (Vatsyayan, 1968:175). Di India kendang memainkan peran penting dalam upacara dan mengiringi pertunjukan tari sebagai mana disebutkan di dalam Natya Sastra. Mridangga termasuk sebagai jenis kendang yang utama. Murawa (muraba), mrdala, Mrdangga, (mridangga) barangkali berasal dari akar kata yang sama yakni "mrd" yang berarti 'tanah'.
Dalam mitologi disebutkan bahwa 'mrdangga' atau 'mrdala' diciptakan oleh Dewa Brahma untuk mengiringi tarian Dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986). Dalam kitab Natya Sastra dijumpai istilah bheri, bhambha, dindimas, yang mungkin juga masih termasuk sebagai kelompok instrumen kendang. Kemudian istilah bheri di Jawa sekarang menjadi kelompok ideofon yang disejajarkan dengan bendhe. Dalam beberapa kitab sastra Jawa kuno penyebutan bheri berdekatan dengan kata 'mrdangga, seperti dalam kitab Wirataparwa: ".. prasamanggwal bheri mrdangga, ajimur arok silih-wor ikang prang..." (artinya: “...sama-sama memikul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang..."); "...humung tang bheri murawa..." (artinya: "Huh suara bheri dan murawa"). Dalam kitab Ramayana (abad X, Masehi) disebutkan: "...tinabih ikang bahiri ring taman..." ( "bheri, ditabuh di taman" ). Keterangan tersebut memberi kesan bahwa 'bahiri' atau 'bheri' masih dalarn kelompok membranofon. Berdasarkan data-data yang dijumpai di kitab-kitab sastra, mrdala atau murawa merupakan instrumen yang sangat penting yang dikombinasikan dengan alat musik yang lain seperti sangkhakala, vina, baribit.
Penyebutan dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai bentuk kendang dan bahan. Dalam seni arca kendang kecil yang dipegang oleh dewa disebut 'damaru'. Pada relief Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi) dan Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi) dilukiskan bermacam¬ - macam bentuk kendang (Haryono, 1985; 1986). Ada kendang bentuk silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut. Pada pagar langkan candi Siwa (Prambanan) kendang ditempatkan di bawah perut dengan semacam tali. Pada candi-candi yang lebih muda dari sekitar abad ke-14 relief kendang dapat dilihat di candi-candi masa klasik muda (periode Jawa Timur) seperti: Candi Tegawangi, Candi Panataran. Di candi Tegawangi juga dijumpai relief seseorang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. Di Candi Panataran relief kendang digambarkan hanya berselaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat. Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini 'dogdog'. Adanya kesamaan penyebutan kendang dalarn sumber tertulis Jawa Kuna dengan sumber tertulis di India membuktikan bahwa kontak budaya antara keduanya mencakup pula dalarn bidang seni pertunjukan. Namun tidak berarti bahwa kendang Jawa adalah pengaruh kendang India.
Berdasarkan akar kata “mrd” maka kata “mredangga” dalarn prasasti mungkin sekali adalah kendang yang dibuat dari tanah liat. Dalam perkembangan kemudian di Jawa kata “mredangga” menjadi “pradangga” dalarn bahasa Jawa Baru yang berarti penabuh gamelan atau niyaga. Perubahan seperti ini terdapat juga pada kata 'kamsa' atau 'kangsa' yang berarti 'perunggu' kemudian di Jawa berubah menjadi 'gangsa' yang berarti 'gamelan'. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa kata 'gangsa' berasal dari kata 'gasa' sebagai kata singkatan (akronim) dari kata 'tiga' + 'sedasa' atau 'tembaga' + 'rejasa' tidak berdasarkan pada hasil penelitian yang valid (Haryono, 2002; 2004:48). Penelitian metalurgis perunggu atas dasar komposisi unsur bahan juga tidak membuktikan adanya komposisi 'tiga' berbanding 'sedasa' (3:10). Sebagai contoh dapat ditunjukkan dari penelitian penults. Hasil penelitian komposisi unsur pada gamelan buatan Papringan (Yogyakarta) = Cu 52,87% : Sn 34,82% : Zn 12,55% ; adapun dari Bekonang (Surakarta) = Cu 48,80% : Sn 39,88% : Zn 10,86%; dan dari Kauman (Magetan) aJalah Cu 51,00% : Sn 40,26% : Zn 8,39%. Cu adalah tembaga, Sn untuk timah putih dan Zn untuk seng. Jelaslah bahwa komposisi tersebut tidak menggam¬barkan perbandingan 3 (tiga) : 10 (sedasa) seperti pendapat pada umumnya (Haryono, 2004:51-52).
Istilah 'gangsa' yang berarti gamelan sudah digunakan pada abad ke-12 Masehi seperti dijumpai dalam kitab Smaradahana (pupuh XXIX:8): "ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran...” artinya Gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan (Poerbatjaraka, 1951; Sedyawati, 1985:236). Dalam gamelan sekarang yang disebut 'gambang gangsa' adalah jenis gambang yang dibuat dari bahan logam (perunggu atau kuningan).
Jenis instrumen membranofon lainnya adalah 'bedug' dan 'trebang'. Istilah 'bedug' dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya instrumen sejenis disebut dengan istilah “tipakan”. Selain itu ada istilah 'tabang-tabang' dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka yang rnangkin kemudian berkembang menjadi istilah 'tribang'. Kutipan teks seperti berikut: "ginding sri saha damya-damyan anameni kidung miring ing tabang tabang" (Gatotkacasraya 37:7); "tabang-tabang ramya karingwangsulan". Jika ini benar berarti apa yang kita sebut 'trebang' maupun ‘bedhug’ bukan instrumen musik yang rnunculnya setelah datangnya kebudayaan Islam tetapi telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983:317-395).
2. Kelompok Ideofon (Ghana Vadhya)
Instrumen musik kelompok ini adalah jenis instrumen musik yang sumber bunyinya berasal dari 'badan' alat musik itu sendiri dan oleh para ahli musik digolongkan sebagai alat musik yang tertua jika dibandingkan dengan jenis yang lain (Ferdinandus, 1999). Beberapa di antara instrumen musik jenis ini yang dapat dijumpai dalam sumber-sumber tertulis (prasasti dan kitab sastra) adalah: tuwung, kangsi, rigang, curing, rojeh, brikuk, bungkuk, kamanak, gambang, calung, salunding, barung, ganding, gong.
Prasasti-prasasti masa Jawa Tengah (abad ke-9 Masehi) banyak rnenyebut istilah 'curing' 'regang, 'tuwung', 'brikuk', Curing dan tuwung merupakan jenis simbal. Curing barangkali sejenis simbal yang dibuat dari logam. Dalam prasasti Kuti tahun 762 Saka (840 Masehi) disebutkan: "Mangkana yan pamuja mangungkunga curing..." adapun jika mengadakan pemujaan, supaya menabuh curing. Kata “mangungkunga” dalam bahasa Jawa Baru sekarang masih dapat dijumpai sebagai tiruan bunyi gamelan 'ngungkung'. Jenis instrumen gamelan 'curing' ini sangat populer pada masa Jawa Kuna terbukti banyak disebutkan dalam prasasti penetapan Sima dari abad ke-9 sampai abad ke 12 Masehi. Dari data prasasti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perlengkapan gamelan dibunyikan dalam konteks ritual (upacara pemujaan).
Menurut Jaap Kunst (1968:52) 'curing' dan 'tuwung' adalah alat musik yang sama yaitu sama-sama jenis kicer. Nama instrumen gamelan 'celuring' sekarang ada pada gamelan di kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Mungkin 'celuring' berasal dari kata 'curing' mendapat sisipan 'el' untuk menyatakan jamak. Seandainya demikian maka gambaran bentuk 'curing' pada masa Jawa Kuna mungkin seperti 'celuring' sekarang atau 'celuring' sekarang ini merupakan perkembangan dari 'curing' dari masa Jawa Kuna. Sementara itu di beberapa kitab sastra disebutkan jenis instrumen gamelan 'rojeh' seperti dalam kitab Hariwangsa, Kresnayana, Sumanasantaka, Siwaratrikalpa, dan Kidung Harsawijaya. Instrumen gamelan ini ditafsirkan sejenis simbal. Demikian pula istilah 'baribit' disebut sebagai nama jenis instrumen gamelan dalam kitab Ramayana.
Nama 'brikuk' sebagai nama instrumen gamelan dijumpai dalam prasasti Panggumulan tahun 902 Masehi dan prasasti Lintakan 919 Masehi. Sedangkan dalam prasasti Paradah tahun 943 Masehi dijumpai istilah 'bungkuk'. Dalam gamelan sekarang ini ada nama 'ketuk'. Istilah 'ketuk' telah ada pada zaman Kadiri sebagaimana disebut dalam kitab Hariwangsa oleh Mpu Panuluh. Dalam kitab tersebut diceriterakan suasana keindahan alam ketika Rukmini dan Kresna dalam sebuah perjalanan yang diibaratkan sebagai pertunjukan wayang yang diiringi gamelan: salunding, kituk, dan talutak.
Uraian tersebut sekaligus merupakan gambaran bahwa pertunjukan wayang abad ke-12 diiringi ansambel gamelan yang masih sederhana. Mungkinkah 'brikuk' dan 'bungkuk' adalah instrumen gamelan 'pencon' seperti 'ketuk' dan kenong sekarang? Menurut J. Kunst (1968:63) baik brikuk maupun bungkuk adalah penyebutan yang sama untuk satu jenis instrumen. Mungkin sekali brikuk, bungkuk, dan kituk adalah bentuk instumen gamelan yang sejenis. Bentuk instrumen gamelan pencu dipahatkan pada candi-candi masa Jawa Timor sekitar abad ke-14 Masehi dan sesudahnya seperti Candi Panataran, Candi Sukuh, dan Candi Ngrimbi.
Relief Instrumen gamelan berpencu di Panataran maupun Candi Ngrimbi barangkali dapat dinamakan 'reyong'. Instrumen ini dibunyikan dengan tongkat pendek dipegang dengan lengan kanan dan kiri. Dalam susunannya yang banyak dalam satu rancak kemudian menjadi 'bonang'. Kalau susunannya sedikit masing-masing dalam satu rancak dinamakan ‘kenong’. Dalam sumber tertulis istilah 'reyong' dijumpai dalam kitab Pararaton, sebuah kitab yang ditulis pada masa sesudah kerajaan Majapahit. Dalam sumber tertulis yang lebih tua yakni prasasti Polengan I tahun 870 Masehi disebut istilah ‘makajar’ yang berarti pemain kajar. Kajar adalah sejenis instrumen musik pencu.
Gong adalah jenis instrumen gamelan yang sangat penting pula. Dalam bentuk relief, sumber tertua dapat dilihat pada relief cerita Arjunawiwaha di Gua Selamangleng, Tulungagung, yang berasal dari abad ke- I I Masehi (Bernet Kernpers, 1959:87). Kemudian digambarkan pada relief cerita Bhornantaka di Candi Kedaton, dan relief Ramayana di Candi Panataran (abad ke 14 Masehi). Hal ini tidak berarti bahwa gong belum dikenal sebelum abad ke- 11. Dalam kitab Ramayana Jawa Kuna yang berasal dari abad ke-9 Masehi telah disebut-sebut 'gong' (Poerbatjaraka, 1926:265-272). Dalam berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi) disebutkan bahwa “jika raja Poli keluar kota, ia mengendarai kereta yang ditarik oleh gajah dan diiringi musik yang terdiri dari gong, kendang, dan terompet” (Haryono, 2001). Tampaknya instrumen gamelan yang sampai sekarang tetap bernarna 'gong' pada jaman abad ke-9 Masehi sebagai instrumen gamelan yang penting yang pada waktu itu mungkin penggunaannya terbatas di keraton sehingga oleh Kunst dikatakan sebagai 'royal instrument' (Kunst, 1968:66). Lagi pula, ditinjau dari teknik pembuatan, gong memerlukan teknik lebih rumit dan bahan yang lebih mahal sehingga tidak setiap kelompok masyarakat dapat rnemiliki.
Istilah 'gong' dalam hal ini digunakan untuk menyebut gong ukuran besar (gong gedhe); sedangkan untuk ukuran yang lebih kecil mungkin ada istilah lain seperti: gubar, bendhe, bheri. Istilah 'gong' juga dipakai untuk mewakili seluruh ansambel gamelan. Jika masyarakat Jawa mengatakan bahwa kalau punya hajatan akan 'nggantung gong' berarti akan menyelenggarakan 'klenengan'. Dalam kitab Bharatayuddha disebutkan gending, gong, dan gubar dalarn satu kelompok. Sangat menarik bahwa dalam Kidung Wangbang Wideya (dari masa kerajaan Kadiri) yang berisi cerita Panji disebutkan jenis gong dengan istilah 'gong Bentar Kadatwan'. Bersama-sama dengan gamelan yang lain yakni curing dan gong, dibunyikan untuk mengiringi pertunjukan wayang (Robson, 1977). Adapun 'gubar' ditafsirkan sebagai sejenis gong ukuran sedang. Dalam Bharatayuddha gubar disebut bersama-sama dengan sangkha dan saragi, dibunyikan oleh prajurit dalam peperangan. Dalam konteks 'gubar saragi' ,berarti istilah 'saragi' dapat juga berarti sejenis gong. Di Ternate kata 'saragi' berarti 'gong' (Haryono, 2001:107).
Gambang disebutkan dalam sumber tertulis kitab Malat, dan menurut berita Cina dari masa Dinasti Song (966-1279 Masehi) dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri masyarakat Jawa telah dapat bermain seruling, kendang, dan xylophone (gambang) dari kayu (Groeneveldt, 1960:17). Dalam sumber-sumber tertulis yang lain seperti kitab Sumanasantaka, prasasti Buwahan abad ke-11 Masehi, prasasti Pura Kehen (abad ke-12 Masehi) disebut istilah 'calung' dan istilah 'galunggang' dan 'garantung' dalam sumber yang lain. Istilah 'gender' mulai disebut pada zaman Kadiri yakni dalam Kidung Wangbang Wideya yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang bersama dengan ridip dan gong. Instrumen gamelan yang terdiri atas bilah-bilah (wilahan) yang dirangkai telah ada pada masa Candi Borobudur (abad ke-9 Masehi). Relief seperti tersebut juga dapat dilihat pada candi yang lebih muda yakni Candi Panataran. Kalau gambang sudah dikenal mestinya jenis saron juga sudah dikenal.
Barangkali relief yang dipahatkan pada candi Borobudur menggambarkan saron bukan gambang. Istilah 'saron' baru ditemukan dalarn sumber tertulis setelah abad ke-15 Masehi (kitab Arjunapralabda) Dalam sumber tertulis ada istilah 'barung' yang ditafsirkan sebagai 'saron' (Juynboll, 1923:401). Dalam kitab Bharatayuddha, Gahtotkacasraya, dan Hariwangsa serta beberapa prasasti Bali kuno abad ke 12 Masehi dijumpai istilah 'salunding'. Gamelan 'salunding' sampai sekarang masih dapat dijumpai di Bali.
Instrumen gamelan berikutnya yang cukup tua keberadaannya adalah 'kemanak'. Dalam kakawin Bharatayuddha, kitab Calon Arang, disebutkan 'kamanak' bersama-sama dengan 'kangsi'. Bahkan dalam kitab Calon Arang dikatakan bahwa kamanak dan kangsi dipakai untuk mengiringi tarian sakral yang di lakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya.
3. Kelompok Aerofon (Sushira Vadya)
Jenis instrument yang termasuk kelompok ini adalah gamelan yang sumber bunyinya adalah udara yang ditiup. Pada ansambel gamelan Jawa sekarang ini seruling merupakan kelengkapan dalam gamelan klenengan atau uyon-uyon. Dalam kitab Natya Sastra seruling (suling) disebut dengan istilah 'vamsa' yang artinya 'bambu' dan dibunyikan bersama-sama dengan ‘vino’ (wina). Bukti piktorial keberadaan suling pada masa Jawa kuno dapat dilihat pada relief di Candi Borobudur pada relief Karmawibhangga, relief Jataka, dan Lalitawistara. Selain itu terdapat juga pada relief di Candi Jago dan Candi Panataran.
Berdasarkan data relief tersebut dapat dibedakan dua macam seruling yaitu seruling melintang (suling miring) dan seruling membujur (vertikal). Dalam sumber tertulis seruling disebut dalam kitab Ramayana Jawa Kuna dengan istilah ‘bangsi’ dan dibunyikan bersama-sama dengan instrumen rawandsta. Kata 'bangsi', ‘wangsi’ sangat boleh jadi berasal dari kata yang sama Sanskrta 'vamsa'. Dalam kitab yang lebih muda yakni Writtasancaya karya Mpu Tanakung disebut dengan istilah 'suling'. Kitab Ramayana Jawa Kuna juga telah menyebutkan istilah 'suling'. Demikian pula di Bali, dalam prasasti Batur Pura Abang A tahun 1011 Masehi disebut 'suling'. Ini berarti bahwa sejak abad ke-11 suling telah masuk dalam kelengkapan gamelan.
Selain seruling dalam sumber tertulis maupun relief ada alat musik tiup yakni terompet yang disebut ‘sangkha’. Sangkha adalah kerang laut dan sebagai alat musik tiup telah lama digunakan di India. Dalam ikonografi Hindu, sangkha merupakan atribut Dewa Wisnu, Kresna. Dalam relief Ramayana di Candi Brahma (Prambanan) sangkha ditiup untuk membangunkan Kumbakarna yang tidur. Dalam Nagarakrtagama (masa Majapahit) disebutkan “gumang kahala sangka lan padaha ganjuran....” artinya: “gemuruh suara kahala sangka dan kendang, ganjuran...” (pupuh 65:1). Dalam kitab Ramayana disebut dengan 'kalasangkha' dan dalam kitab Wirataparwa disebut 'sangkhakahala' (Kunst, 1968). Istilah 'kahala sangka' dan 'sangkha kahala' sekarang menjadi 'sangkakala; sedangkan 'ganjuran' sebagai instrumen gamelan barangkali sejenis genderang (?). Istilah gamelan Kala Ganjur sekarang ini berasal dari kata 'kahala' dan 'ganjur', istilah yang telah ada sejak zaman Majapahit. Jenis terompet yang lain adalah ‘pereret’ sebagaimana disebut dalam Kidung Ranggalawe.
4. Kelompok Kordofon (Tata Vadya)
Instrumen gamelan yang termasuk dalam kelompok ini pada gamelan Jawa sekarang disebut dengan istilah siter, celempung, dan rebab. Istilah celempung pertama kali dijumpai dalam sumber tertulis Hikayat Cekelwanengpati. Pada relief di Candi Jago dilukiskan gambar seseorang yang sedang memainkan celempung. Dalam Kidung Wangbang Wideya disebut instrumen gamelan 'samepa' dan gamelan ini ditafsirkan sebagai 'rebab' (Kunst, 1968). Sementara itu 'kachapi' disebutkan dalam Kidung Hausa Wijaya bersama-sama dengan gamelan lainnya yakni: gong, ridip, dan ginding.
Prasasti-prasasti Jawa Kuna menyebutkan istilah 'wina, 'rawanahasta' dan ‘panday rawanahasta'. Kata 'rawanahasta' berarti 'tangan rawana' dan ‘panday rawanahasta' berarti 'tukang membuat rawanahasta'. Rawanahasta ditafsirkan sebagai instrumen gamelan berdawal sejenis lute yang berbentuk seperti tangan (Kunst, 1968; Sarkar, 1972). Kitab Ramayana Jawa Kuna menyebutkan: 'makinara' dan ‘malawuwina’. Lawuwina artinya wina yang berbentuk seperti buah labu. Harpa tampaknya telah digunakan pada masa lampau seperti terlihat pada relief di Candi Borobudur dan di pemandian Jalatunda (Jawa Timur). Demikian pula ada beberapa arca logam yang yang ditemukan di Nganjuk dan Suracala (Yogyakarta) yang menggambarkan dewi memegang alat musik petik.
Demikian sekilas tentang Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa
-----------------------------------------------
Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. (KRA. Haryono Hadiningrat)
Budayawan Jawa, Guru Besar dalam Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Anggota Dewan Pakar Lembaga Studi Jawa 'Sekar Jagad' - lahir di Klaten, 5 Oktober 1945.
0 komentar:
Posting Komentar