Sekolah sebagai siksaan yang tak tertahankan. (Rabindranath Tagore)
Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar (Bakruddin)
Sekolah itu menindas dan membelenggu (Paulo Freire)
Masing – masing dari kita mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan diri dari sistem sekolah karena hanya ditolak yang sanggup melaksanakannya.
Sekolah jauh lebih memperbudak orang dengan cara yang sistematis.
( Ivan Iiliek )
Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.
Guru menjadi agen pengawas, penindas,dan merendahkan martabat siswa.
Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar.
(Prof. Kurt Siregar)
Fungsi guru telah berubah menjadi fungsi pawang, maka kembalikanlah pawang itu menjadi guru lagi.
(Romo yb. Mangunwijaya)
Sekolah tidak wajib, tetapi belajar perlu
(Imam Supingi)
“Bila engkau melihat anak bangsa, lihatlah sebagaimana mawar, jika engkau melihat mawar janganlah engkau pandang durinya, sebab jika engkau pandang durinya engkau akan membayangkan tempat sampah dan lubang pembakarannya; maka lihatlah mawarnya, dan jika engkau melihat mawarnya maka engkau akan menjadi penjaga taman”
(Ki Hadjar Dewantara)
Dari persoalan diatas bisa dirasakan peradaban moral anak bangsa yang hanya dilihat dipandang durinya saja, sedang bingungkah kita atau kita sedang kehilangan jati diri untuk mendidik anak bangsa ini. Maka saya akan mengajak kembali ke jati diri bangsa.
PERADABAN BANGSA SENDIRI
Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yangkita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatinya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaan bangsa asing.
(Landasan Perjuangan Asas Tamansiswa 1922, asas ke 3)
MUTIARA MORAL DAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG HAMPIR TERLUPAKAN
Salah satu contoh yang akan saya paparkan dari mutiara moral, pendidikan di lapisan bangsa ini adalah alam pikiran Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswanya yang diwariskan kepada kita, namun kurang terpelihara adalah sepuluh fatwa untuk hidup merdeka, lima dharma (ciri khas pendidikan) yang disebut panca dharma, landasan perjuangan asas Tamansiswa 1922 dan dua puluh ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, kalau kita coba hubungkan hal tersebut siatas, akan tertulis dalam bentuk angka penjumlahan sebagai berikut :
10 + 5 + 7 = 20
Artinya:
10 fatwa untuk hidup merdeka
5 Panca dharma
7 Landasan perjuangan asas Tamansiswa 1922
20 Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara
Kita akan ambil dari 10 fatwa, No 1 dari panca dharma, No.1 dari asas Tamansiswa 1922, dan no.1 dari 20 Ajaran ki Hadjar Dewantara, dan kita hubungkan masing-masing No.1 terjadinya akan jawaban dimana letak moral dan pendidikan Indonesia itu?
No. 1 Fatwa untuk hidup merdeka adalah
1. Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan.
Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu.
Ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala, mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).
No.1 Panca Dharma
1. Kodrat Alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah satu dengan alam semesta ini.
Karena itu manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan.
No. 1 Asas Ketamansiswaan 1922
1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrechf) dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheld) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya.
Tidak adalah ketertiban terdapat, kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.
Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groed) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (“regering-tucht en orde”, inilah perkataan opvoedkunde) itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak.
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. itulah yang kita namakan “Among Methde”.
No. 1 Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara
1. CITA-CITA MANUSIA SALAM-BAHAGIA, DUNIA TERTIB-DAMAI
Cita-cita Ki Hadjar Dewantara dengan gerakan hidup Tamansiswa, yang dalam wujud geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah mewujudkan manusia salam- bahagia, masyarakat tertib – damai.
Hidup salam dan bahagia, yang berarti selamat lahirya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan sandang pangan, keperluan jasmaniah dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir dan gangguan batin, bebas dari ketakutan.
Orang tak akan bahagia apabila hidupnya hanya dengan kecukupan makanan dan pakaian, kalau dia hidup dalam ketidakbebasan dan ketakutan. Kecukupan sandang pangan tanpa kebebasan dan kemerdekaan jiwa, tak akan memberi bahagia.
Sebaliknya kebahagiaan tak akan ada selama orang masih menderita kekurangan keperluan jasmaninya. Ki Hadjar Dewantara mengiaskan orang yang serba cukup keperluan materiil tetapi jiwanya menderita, tak merasa bahagia, sebagai orang: “nunggang motor mrebes mili” (naik mobil dengan menangis), sedang orang yang melarat materiil tetapi merasa puas, merasa bahagia, digambarkan sebagai orang: “mikul dawet rengeng-rengeng” (memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), menggambarkan orang yang merasa tentram walaupun berat hidupnya.
Ki Hadjar mencita-citakan hidup manusia yang bahagia lahir dan batinnya. Tidak sebagai halnya orang yang serba kecukupan sandang pangannya tetapi jiwanya merintih, bukan pula orang yang selalu merasa puas dengan serba kekurangan keperluan jasmaninya.
Cita-cita hidup salam bahagia, hanya bisa dicapai dalam satu Masyarakat yang tertib damai, tata lan tentrem (orde en vrede).
Ketertiban menjadi syarat mendatangkan damai, tetapi ketertiban oleh karena paksaan dan tekanan tidak akan mendatangkan kedamaian hidup.
Tertib lahirnya, damai batinnya itulah masyarakat yang akan dicapai oleh Tamansiswa.
Salam bahagia bagi tiap orang tertib damai untuk masyarakat. Masyarakat tertib damai dengan orang-orang yang salam bahagia, orang-orang salam bahagia di dalam masyarakat tertib dan damai.
Dari cuplikan etika dan moral pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara inilah bisa kita jadikan sebagai sumber nilai-nilai kebangsaan dalam mempertahankan akibat pengaruh globalisasi, maka nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan dapat dijadikan basis dalam sistem pendidikan nasional kita.
Dengan ini dapat kita tarik garis simpul cuplikan karya Ki Hadjar Dewantara ini sebagai berikut :
Ilmu yang luhur dan mulia akan menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban manusia. Manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hokum kemajuan.
Pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan – hukuman – ketertiban itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak. Maka pelajaran berarti mendidik anak-anak bangsa ini akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan tenaganya.
Bukan manusia “ Nunggang motor bribes mili” (Naik motor dengan menangis), tetapi menjadi manusia “mikul daawet renggang-renggeng” (Memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), inilah gambaran manusia yang merasa tenteram walaupun berat hidupnya.
Secara etika dan moral pendidikan kita harus berlandaskan masyarakat yang tertib, damai, dalam dan bahagia yaitu dunia yang tatan lan tenterem. (orde en vrede).
Dengan ini pula saya lampirkan lebih lengkap karya Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswanya. Salam.
Fatwa Untuk Hidup Merdeka
Untuk peneguh keyakinan perjuangan kita, Ki Hadjar Dewantara memberikan kita bundelan dan beberapa ajarannya, yang disebut Ki Hadjar sebagai “fatwa” akan sendi hidup merdeka”. Untuk diingat-ingat, direnungkan dan diamalkan:
1. “Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu. Ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala, mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).
2. “Suci Tata Ngesti Tunggal”
Dengan suci batinnya, tertib lahirnya menuju kesempurnaan, sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap peserta perjuangan Tamansiswa.
Fatwa ini juga sebagai candrasengkala, mencatat lahirnya Persatuan Tamansiswa (1853 dan 1923).
3. “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”
Berdasarkan asas Tamansiswa, yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agamanya, bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya dan sama kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan kewajiban kemanusiaan, untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan bahagia dalam hidup batinnya. Jangan kita hanya mengejar keselamatan hidup lahir, dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.
4. “Salam bahagia diri tak boleh menyalahi damainya masyarakat”
Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain yang seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan “hak diri” kalau tidak bersama-sama dengan ucapan “tertib damainya masyarakat”, agar jangan sampai hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup bersama, yang juga merusak kita masing-masing.
5. “Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna”
Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan yang maha kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai seorang atau individu, sebagai bangsa maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.
6. “Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan”
Berarti bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus ialah alam diri, alam kebangsaan dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari masing-masing manusia. Adanya perasaan ini tidak dapat diungkiri.
7. “Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada Sang Anak”
Penghambaan kepada Sang Anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada Sang Anak, tetapi yang memerintahkan kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara, pada rakyat dan agama atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencapai rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.
8. “Tetep – Mantep – Antep”
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus tetap hati. Tekun bekerja, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu “mantep”, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang akan dapat menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita.
Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita dan mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan “antep”, berat berisi dan berharga. Tak mudah dihambat, ditahan-tahan dan dilawan oleh orang lain.
9. “Ngandel – Kendel – Bandel - Kandel”
Kita harus “ngandel”, percaya kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. “Kendel”, berani, tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya kepada Tuhan dan kepada diri sendiri. “Bandel”, yang berarti tahan, dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi “kandel”, tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.
10. “Neng – Ning – Nung – Nang”
Dengan “meneng”, tentram lahir batin, tidak nerveus, kita menjadi “ning”, wening, bening, jernih pikiran kita, mudah membedakan mana hak dan mana batil, mana benar dan salah, kita menjadi “nung”, hanung, kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya “nang”, menang, dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.
Sepuluh fatwa Ki Hadjar di atas itu merupakan welingan, pesanan dan amanat kepada kaum Tamansiswa yang berjuang menghadapi kesulitan hidup dan rintangan-rintangan yang hebat terutama di waktu jaman pemerintahan kolonial. Ia menjadi mantra yang menguatkan keyakinan perjuangan kaum Tamansiswa.
NGERTI – NGRASA – NGLAKONI
Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran, dan cita-cita hidup yang kita anut, diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan.
Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu syarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu.
“Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa amal perbuatan adalah kosong. Perbuatan tanpa ilmu pincang. Bagi pengikut dan peserta perjuangan haruslah penuh pengetahuan dan pengertian, penuh semangat dan kemauan dan sungguh-sungguh melaksanakan semua yang menjadi pengetahuan dan cita-citanya. Demikianlah diminta Ki Hadjar bagi tiap-tiap orang yang mengemban ayahan.
Penjelasan Ciri Khas PANCA DHARMA
1. Kodrat Alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah satu dengan alam semesta ini. Karena itu manusia akan mengalami kebahagiaan jika ia menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan.
2. Kemerdekaan mengandung arti bahwa kemerdekaan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang memberikan kepadanya hak untuk mengatur hidupnya sendiri (Zelfbeschikkingsrecht) dengan selalu mengingat syarat tertib damainya hidup bermasyarakat. Karena itu, kemerdekaan diri harus diartikan sebagai swadisiplin atas dasar nilai hidup yang luhur, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan dengan kehidupan bermasyarakat.
3. Kebudayaan mengandung arti keharusan untuk memelihara nilai dan bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara kebudayaan nasional itu yang pertama dan terutama ialah membawa kebudayaan nasional kearah kemajuan dunia. Untuk kepentingan hidup rakyat lahir dan batin sesuai dengan perkembangan alam dan zamannya.
4. Kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu bangsa dalam suka dan duka, serta kehendak untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak boleh bertentangan dengan dasar kemanusiaan, bahkan harus menjadi sifat, bentuk, dan laku kemanusiaan yang nyata, dan karena itu tidak mengandung rasa permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain.
5. Kemanusiaan mengandung arti bahwa kemanusiaan itu ialah darma tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya. Keluhuran akal budi menimbulkan rasa dan laku cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan Yang Maha Esa seluruhnya, yang bersifat keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Karena itu, rasa dan laku cinta kasih harus tampak pula sebagai tekad untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.
ASAS TAMANSISWA 1922
1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrechf) dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijke saamhoorigheld) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak adalah ketertiban terdapat, kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groed) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (“regering-tucht en orde”, inilah perkataan opvoedkunde) itulah kita anggap memperkosa kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. itulah yang kita namakan “Among Methde”.
2. Dalam sistem ini, maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja. Akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (sociaal belang).
3. Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yangkita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatinya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaan bangsa asing.
4. Oleh karena pengajaran yang hanya didapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada meninggikan pengajaran pengajaran kalau usahan meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.
5. Untuk dapat berusaha menurut azas yang merdeka dan leluasa, maka kita hrus bekerja menurut kekuatan sendiri. walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
6. Oleh karena itu kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan bisaa. Inilah yangkita namakan “zelfbedruipings systeem” yang jadi alatnya semua usaha yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri.
7. Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak.
AJARAN HIDUP KI HADJAR DEWANTARA
Tujuh pasal “ Asas Tamansiswa 1922 “ dilengkapi dengan sistem dan cara pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Tamansiswa, merupakan konsepsi kehidupan manusia baru, untuk manusia salam bahagia, masyarakat tertib damai ( penjelasan selanjutnya pada lampiran ).
Tamansiswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asa, sendi organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebisaaan hidup, sebagai syarat-syarat pelaksanaan dan perwujudan cita-cita kehidupan Tamansiswa. Tak benar orang yang memisahkan dan mau membedakan antara ajaran Ki Hadjar dengan asas dan dasar kehidupan Tamansiswa. Ki Hadjar berdiri tidak mau dengan “ Dewantara-isme “, “ Dewantara-leer “, atau “ Dewantara-methode “. Segala ajarannya, segala penemuannya diserahkan menjadi ajaran dan sistem Tamansiswa, menjadi ajaran “ Ketamansiswaan “.
Maka bila selanjutnya disebut Tamansiswa atau sistem Tamansiswa, adalah dimaksud ajaran Ki Hadjar Dewantara, yang tidak saja berlaku untuk penyelenggaraan pendidikan anak-anak dalam satu perguruan, tetapi dimaksudkan juga untuk mengatur kehidupan masyarakat, dalam kita berumah tangga, dan bahkan dalam kita bernegara.
1. CITA-CITA MANUSIA SALAM-BAHAGIA, DUNIA TERTIB-DAMAI
Cita-cita Ki Hadjar Dewantara dengan gerakan hidup Tamansiswa, yang dalam wujud geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah mewujudkan manusia salam- bahagia, masyarakat tertib – damai.
Hidup salam dan bahagia, yang berarti selamat lahirya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan sandang pangan, keperluan jasmaniah dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir dan gangguan batin, bebas dari ketakutan. Orang tak akan bahagia apabila hidupnya hanya dengan kecukupan makanan dan pakaian, kalau dia hidup dalam ketidakbebasan dan ketakutan. Kecukupan sandang pangan tanpa kebebasan dan kemerdekaan jiwa, tak akan memberi bahagia. Sebaliknya kebahagiaan tak akan ada selama orang masih menderita kekurangan keperluan jasmaninya. Ki Hadjar Dewantara mengiaskan orang yang serba cukup keperluan materiil tetapi jiwanya menderita, tak merasa bahagia, sebagai orang: “nunggang motor mrebes mili” (naik mobil dengan menangis), sedang orang yang melarat materiil tetapi merasa puas, merasa bahagia, digambarkan sebagai orang: “mikul dawet rengeng-rengeng” (memikul cendol yang berat dengan bernyanyi), menggambarkan orang yang merasa tentram walaupun berat hidupnya. Ki Hadjar mencita-citakan hidup manusia yang bahagia lahir dan batinnya. Tidak sebagai halnya orang yang serba kecukupan sandang pangannya tetapi jiwanya merintih, bukan pula orang yang selalu merasa puas dengan serba kekurangan keperluan jasmaninya.
Cita-cita hidup salam bahagia, hanya bisa dicapai dalam satu Masyarakat yang tertib damai, tata lan tentrem (orde en vrede).
Ketertiban menjadi syarat mendatangkan damai, tetapi ketertiban oleh karena paksaan dan tekanan tidak akan mendatangkan kedamaian hidup.
Tertib lahirnya, damai batinnya itulah masyarakat yang akan dicapai oleh Tamansiswa.
Salam bahagia bagi tiap orang tertib damai untuk masyarakat. Masyarakat tertib damai dengan orang-orang yang salam bahagia, orang-orang salam bahagia di dalam masyarakat tertib dan damai.
2. KEMERDEKAAN DIRI, TERTIB DAMAI.
Hak kemerdekaan diri, -dulu disebut Zelfbeschik kingsrecht-, hak mengatur diri sendiri, dicantumkan sebagai asas Tamansiswa yang utama dan pertama,menjadi dasar mencapai cita-cita hidup salam bahagia dan masyarakat tertib damai. Pada masa lahirnya, pernyataan asas kemerdekaan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara sebagai dasar pendidikan anak-anak jajahan, merupakan pernyataan tantangan dan tantangan terhadap sistem pendidikan yang berlaku, yang dengan sistem kolonialnya ingin menjadikan anak-anak Indonesia berjiwa budak, supaya jadi anak jajahannya.
Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan sebagai dasar pendidikan anak-anak kita, atas kesadarannya bahwa mengisi jiwa merdeka pada anak-anak jajahan, berarti mempersenjatai bangsa dengan dengan senjata keberanian berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk mencapai kemerdekaannya. Selanjutnya jiwa merdeka itu merupakan syarat mutlak untuk mencapai hidup salam bahagia dan sebagai syarat terbentuknya dunia tertib damai.
Asas kemerdekaan diri menurut paham Tamansiswa ialah bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah hak tiap-tiap orang. Untuk mencapai hidup salam bahagia. Menurut faham Tamansiswa, hak kemerdekaan diri seseorang harus mengakui hak kemerdekaan orang lain. Ki Hadjar Dewantara mengatakan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh tertib dan damainya pergaulan hidup. Kemerdekaan seseorang tidak boleh dipergunakan untuk mengganggu tertib-damai. Ki Hadjar Dewantara memperingatkan : “Janganlah kamu mengucapkan kemerdekaan diri, kalau tidak diikuti dengan ucapan tertib damai”
3. DEMOCRATIVE EN LEIDERSCHAP-DEMOKRASI DAN PIMPINAN KEBIJAKSANAAN.
Dasar kemerdekaan yang menjadi faham Tamansiswa jelas bedanya dengan kemerdekaan diri yang dimaksud oleh demokrasi ala barat yang bisaa disebut demokrasi liberal. Demokrasi liberal bersumber pada individualisme, yang kebebasan seseorang berarti hak orang itu untuk menindas kebebasan orang lain. Bahkan demokrasi yang dijalankan untuk menindas demokrasi itu sendiri.
Tamansiswa sejak lahirnya telah mengutuk demokrasi liberal sebagai bahaya demokrasi itu sendiri. Dengan mengemukakan “democratie en laiderschap”, yang mengakui hak kebebasan tiap-tiap orang, tetapi harus pula tiap-tiap orang mengakui adanya pimpinan untuk keselamatan dan kepentingan pergaulan hidup bersama.
Kemerdekaan diri seseorang sebagai dasar untuk mencapai salam-bahagia hidupnya, tidak akan tercapai tanpa tertib damainya masyarakat. Tak ada hidup salam bahagia dalam masyarakat yang tidak ada ketertiban dan kedamaian. Kepentingan seseorang untuk keselamatan hidupnya masing-masing, mengharuskan orang itu mengorbankan sebagian kemerdekaannya untuk kepentingan bersama, karena hanya dalam dan dengan masyarakat yang tertib damai, maka salam dan bahagia seseorang dapat diwujudkan.
“Democratie en leiderschap” yang menjadi faham Tamansiswa sejak lahirnya, menjunjung tinggi kebebasan tiap-tiap orang, tetapi mengakui adanya pimpinan untuk ketertiban dan kesemalatan bersama. Demokrasi dan pimpinan kebijaksanaan adalah cara dan ajaran hidup Tamansiswa. Demokrasi tanpa leiderschap menimbulkan chaos dan anarchie, membahayakan masyarakat. Leiderschap tanpa demokrasi menimbulkan tirani dan kewenangan-kewenangan, penindasan sesama manusia. Tamansiswa menyatakan bahwa sesuatu keputusan yang adil tidak didasarkan atas imbangan jumlah suara separo lebih satu sebagai dasar demokrasi liberal. Hal ini dinyatakan tegas-tegas dan dilaksanakan dengan cara, bahwa atas sesuatu yang asasi yang mengenai kehidupan seluruh keluarga yang diperlukan kebulatan pendapat, kalau rapat untuk itu belum / tidak mencapai suara bulat, ditunda selama 24 jam, memberi istirahat dan menenangkan pikiran, agar dapat mempertimbangkan masak-masak, untuk mengambil putusan yang tepat.
Apabila untuk rapat kedua juga tidak didapat persetujuan secara bulat, maka terhadap soal itu tidak jadi diambil keputusan. Tidak ada pernyataan minderheidsnota (nota minorita), sebagai pernyataan tetap tidak setuju atas keputusan itu, yang seolah-olah minta dibebaskan dari tanggung jawab melaksanakan keputusan musyawarah yang telah dilakukan.
Demi kepentingan bersama orang tunduk kepada keputusan hasil musyawarah, tiada perkecualian kewajiban terhadap kepentingan bersama.
4. SISTEM AMONG, TUTWURI HANDAYANI.
Dalam pelaksanaan asas kemerdekaan diri, tertib damai atau democratie en leiderschap dilakukan “Sistem Among” dan cara “Tutwuri Handayani”. Mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila keinginan anak akan membahayakan keselamatannya. Tutwuri Handayani, berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang dipimpinnya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Di dalam keadaan luar bisaa, maka pimpinan harus tegak, anggota dan anak-anak hanya tunduk pada pimpinan. Dalam keadaan semacam itu berlaku: Kedudukan pemimpin diatas peraturan.
Tamansiswa menyebut guru-gurunya “pamong” juru mendidik dan mengajar pelaksanaan sistem among.
“Sistem among” yaitu cara pendidikan yang dipakai dalam Tamansiswa, dengan maksud mewajibkan pada guru, supaya mengingati dan mementingkan “kodrat alam” anak-anak murid, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Karena itu, alat “perintah, paksaan dan hukuman”, yang biasa terpakai dalam pendidikan di jaman dulu, harus diganti dengan cara memberi tuntunan dan menyokong anak-anak dalam mereka tumbuh dan berkembang atas dasar kodratnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi tumbuh dan perkembangan sendiri itu, dan mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya. “Perintah” dan “Paksaan” hanya boleh dijalankan jika anak-anak tidak dapat dengan kekuatannya sendiri menghindarkan bahaya yang akan menimpanya. Hukuman tak boleh lain daripada sifatnya kejadian yang sebenarnya harus dialami oleh karena sesuatu perbuatan, dan bukan sebagai siksa dari orang lain.
Ki Hadjar memberi kias sistem among dengan gambaran bahwa guru terhadap murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap Juru Tani terhadap tanaman peliharaannya, bukannya tanaman ditaklukkan oleh kemauan dan keinginan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tanaman inilah yang menjadi kepentingan Juru Tani.
Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan jenis tanaman menjadi tanaman jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tanaman padi mempercepat buahnya supaya lekas masak menurut kemauannya karena kepentingan yang mendesak, memerlukan beras untuk segera ditanak.
Juru Tani harus tahu akan sifat dan watak serta jenis tanaman, perbedaan antara padi dengan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing agar tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Karena itu Juru Tani harus faham akan ilmu mengasuh tanaman, untuk dapat bercocok tanam dengan baik, agar dapat menghasilkan tanaman yang subur dan buah yang baik.
Oleh karena itu Juru Tani tidak boleh membheda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Segala yang dapat dipakai untuk usaha menyuburkan tanaman menurut “kodrat alam” harus digunakan.
5. MERDEKA, KESANGGUPAN DAN KEMAMPUAN UNTUK BERDIRI SENDIRI.
Menurut faham Tamansiswa, kemerdekaan seseorang tidak saja berarti bebas lepasnya orang itu dari perintah dan penguasaan orang lain, tetapi juga berarti sanggup dan kuatnya berdiri sendiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain.
Kidung “Wasita Rini” gubahan Ki Hadjar mengutamakan “....................... Mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, ning uga kuwat kuwasa, amandiri priyangga.................” (mardika berarti tidak saja bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tetapi berarti kuat dan mampu mandiri sendiri). Kalau kita ingin menjadi orang merdeka, harus sanggup berdiri sendiri, tidak menggantungkan dan mengharapkan bantuan orang lain.
6. ZELFBEDRUIPINGSYSTEEM – OPOR BEBEK MATENG SAKA AWAKE DEWEK.
Untuk hidup merdeka tidak tergantung pada pertolongan orang lain. Tamansiswa mendasarkan cara hidupnya atas sistem opor bebek, membiayai hidupnya dari usaha sendiri, sebagai masakan opor itik, yang dapat masak oleh minyak yang ada pada badannya sendiri.
Bantuan dari manapun datangnya dan berapa jumlahnya dapat diterima, asal tidak mengurangi kemerdekaannya. Syarat yang bagaimanapun kecilnya, dalam pemberian bantuan, yang bersifat mengurangi kemerdekaan hidup Tamansiswa harus ditolaknya.
Dengan konsekuen Tamansiswa melaksanakan sistem ini, dan menolak tiap-tiap bantuan dengan ikatan, dari mana saja datangnya, oleh karena penerimaan subsidi dari Pemerintah kolonial berarti mengikatkan diri dan sedia tinduk kepada peraturan-peraturan yang pasti akan menghilangkan kemerdekaan hidupnya.
Tidak banyak di jaman penjajahan orang atau golongan yang berani menolak pemberian Pemerintah, oleh karena berat konsekuensinya. Tetapi dengan tekat kuat Tamansiswa menolak tawaran subsidi Pemerintah kolonial itu.
7. HIDUP HEMAT DAN SEDERHANA.
Tekat ingin merdeka, dan kemerdekaan tidak mau dikuasai orang lain, dengaan melaksanakan sistem opor bebek (zelfbedruipsysteem) membawa akibat hidup yang berat. Penghasilan Perguruan yang semata-mata di dapat dari bantuan rakyat berupa uang sekolah yang sangat kecil, menekan hidup Tamansiswa dengan segenap keluarganya harus menyesuaikan dengan keadaan dan kekuatan keuangan yang lemah. Kemampuan rakyat yang berani dan mau menyerahkan anaknya sekolah di Tamansiswa, musuh pemerintah yang sedang berkuasa, yang rata-ratanya terdiri dari golongan yang tidak mampu, menyebabkan kehidupan materiil keluarga Tamansiswa sangat berat.
Tekat kuat melaksanakan sistem opor bebek, disertai dengan kesanggupan tahan menderita tekanan hidup, meminta keberanian hidup secara hemat dan sederhana. Sanggup hidup dengan belanja yang sesuai dengan penghasilan yang diterimanya.
Berani hidup hemat dan sederhana, sebagai akibat tidak mau menerima bantuan orang lain yang mengikat, konsekuensinya orang yang ingin hidup merdeka, tidak mau menjadi budak orang lain.
Hidup sederhana yang kenyataannya hidup melarat oleh keluarga Tamansiswa dengan tawakkal, yang dirasakan sebagai keharusan akibat cita-citanya. Karena tekat dan keyakinannya bahwa untuk mencapai hidup salam bahagia dan masyarakat tertib damai, harus sanggup mengalami penderitaan hidup.
Siapa ingin bebas merdeka, harus berani hidup tidak menggantungkan pertolongan orang lain. Siapa akan hidup tidak menggantungkan pertolongan orang lain, harus berani hidup dari hasil usahanya sendiri. Untuk hidup dari usahanya sendir, harus sanggup dan bersedia hidup hemat dan sederhana, hidup yang sesuai dengan penerimaan dan pengeluaran. Hidup melampaui batas kemampuan usahanya, akan membawa seseorang tergantung dari hutang yang membelenggu dirinya, dan hilanglah kemerdekaan, dikuasai orang yang menghidupinya.
8. KEKELUARGAAN – SALAM BAHAGIA – ADIL MAKMUR.
Segenap anggota Tamansiswa, yang mengabdikan dirinya pada sang anak, hidup bersama-sama dalam satu lingkungan hidup keluarga. Ki Hadjar menyebutkan sebagai ikatan “keluarga suci”, satu keluarga yang terbentuk oleh kesamaan dan kesatuan tekat, satu perjuangan dengan satu cita-cita hidup, ialah cita-cita hidup ke Tamansiswaan. Bukan keluarga oleh pertalian turunan darah, bukan pula karena “Serasa setekat selakon” (sefaham, secita-cita dan seperjuangan).
Sebagai satu kesatuan hidup, Tamansiswa mengatur dirinya dengan cara dan sistem “Kekeluragaan”, satu pergaulan hidup yang berdasarkan hubungan antara sesama saudara, sesama keluarga. Saudara dari satyu kandungan cita-cita, ialah hubungan cita-cita Tamansiswa.
Atas pertalian kekeluargaan, berkumpul dan bersatulah orang-orang Tamansiswa, apa juga keyakinan politik dan agamanya, dari manapun asal keturunan suku dan daerah kelahirannya. Dalam satu keluarga orang hidup bersama berdasarkan cinta dan kasih sayang. Tiada penindasan dan pemerasan diantaranya. Tak seorang kuasa atas orang yang lain. Antara kakak dan adik, antara anak dan ibu bapak tidak ada main kuasa-kuasaan, segalanya berlaku atas dasar hubungan kasih sayang, dan bersama-sama mewujudkan keselamatan diri dan keselamatan seluruh keluarga. Keselamatan dan kebahagiaan hidup sekeluarga menjadi pokok pangkal segala perhitungan.
Dalam kehidupan satu keluarga berlaku dasar persamaan penghargaan derajat kemanusiaan atas tiap-tiap orang anggota keluarga itu, bagaimanapun berbeda-beda kecakapan dan tugas pekerjaannya, tetap sama haknya bagi tiap-tiap anggota keluarga dalam mengatur kehidupan bersama. Karena sama pula kewajibannya untuk mendatangkan keselamatan bersama bagi segenap keluarga, walaupun jenis pekerjaannya akan berbeda-beda menurut pembagian bidang dan jenisnya, dan berbeda pula berat ringannya beban berdasarkan perbedaan kekuatan dan kecakapan.
Dalam satu keluarga sama-sama mendapat bagian rejeki yang merata di antara seluruh keluarga, dan sama pula derajat dari kedudukan sosialnya, tak satu lebih rendah dari yang lain dalam penghargaan sosialnya. Dalam kehidupan keluarga berisi dan berlaku: demokrasi politik, demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.
Dalam Tamansiswa hal ini berlaku dan dilaksanakan :
a. Tiap – tiap anggota sama haknya dalam turut mengatur persatuan (organisasi) Tamansiswa, tak ada perbedaan satu dengan lainnya. Tiap anggota mempunyai kemerdekaan dan kebebasan.
b. Tiap orang Tamansiswa sama derajat sosialnya, sebagai orang-orang dari satu “turunan Tamansiswa” dan satu “kasta Tamansiswa”. Ki Hadjar telah memberi contoh menghilangkan titel bangsawannya, untuk menghilangkan halangan yang memenggali hubungan antara sesama orang.
Digambarkan dengan sebutan yang sama bagi seluruh pamong.anggota Tamansiswa. Sebutan Ki untuk semua anggota lelaki, Nyi untuk anggota perempuan yang sudah kawin dan Ni bagi yang belum kawin. Hapuslah dalam Tamansiswa sebutan-sebutan yang berdasarkan tingkat turunan, dan jadilah orang-orang Tamansiswa satu turunan, “turunan Tamansiswa”, dengan Bapak Ki Hadjar Dewantara.
Hubungan antara murid dan guru berlaku sebagai hubungan antara anak dengan orang tua, ibu bapaknya. Murid memanggil guru Bapak dan Ibu, yang pada waktu itu (jaman Belanda) murid-murid sekolah negeri dan sekolah-sekolah lainnya memanggil menir kepada guru lelaki dan menpro / jipro kepada guru perempuan, ndoro, engku, dan lain-lain panggilan, yang menggambarkan hubungan yang jauh antara murid dan guru. Antara sesama anggota / pamong berlaku panggilan saudara, kakak, atau adik.
Sekarang panggilan Bapak dan Ibu sudah merata diakui hubungan dalam masyarakat, walaupun terkadang masih bernada “Bapak Tuan atau Bapak ndoro”.
c. Dalam soal pembagian rejeki berlaku bahwa pembagian nafkah berdasarkan kepentingan keluarga. Orang yang tanggungan keluarganya besar, anaknya lebih banyak menerima nafkah lebih besar, apa juga ijasah dan tingkat pendidikan ataupun jabatannya. Sebelum di kalangan Pemerintahan berlaku “tunjangan keluarga” seperti sekarang, dan di jaman Pemerintah Belanda hal ini tidak berlaku, Tamansiswa telah sejak semula lahirnya menentukan nafkah pamong-pamongnya berdasarkan kebutuhan hidup keluarga. Arti kata nafkah sendiri dimaksudkan “biaya hidup” berdasar kepentingan hidup. Sebagai senda gurau Ki Hadjar, yang kemudian menjadi kebiasaan dan sistem ialah akte yang bisa menambah dan menaikkan nafkah ialah beristri/bersuami dan mempunyai anak, yang oleh Ki Hadjar dinamakan “hoofdacte” (akte kepala), akte tinggi bagi guru-guru di jaman Belanda untuk guru yang sudah beristri/bersuami, dan mendapat “bij acte” (akte tambahan) untuk guru yang sudah mempunyai anak. Sekaligus juga menentukan bahwa guru yang sudah kawin itu lebih masak jiwanya.
Dalam Tamansiswa berlaku syarat menjadi Ketua Perguruan harus sudah kawin.
Cara penentuan nafkah masing-masing anggota, oleh karena ukuran ijasah, tingkat jabatan dan perbedaan tugas tidak menjadi dasar dan kurang diperhitungkan, dan sebagai dasarnya ialah keperluan hidup keluarga, dulu biasa dilakukan dengan cara : tiap-tiap orang dipetimbangkan sendiri-sendiri. Orang yang sedang dipertimbangkan besar kecilnya nafkah meninggalkan rapat, tidak turut mempertimbangkan. Demikian selanjutnya terhadap anggota lainnnya. Biasanya putusan itu dianggap adil dan diterima penentuan keluarganya. Tidak ada peraturan nafkah yang sama untuk seluruh persatuan, oleh karena keadaan keuangan antara satu cabang dengan cabang lainnya berbeda-beda menurut keadaan masing – masing.
Apabila karena keuangan tidak memungkinkan pembagian nafkah secara teratur oleh karena sedikitnya uang yang harus dibagi, beberapa orang hidup dengan dapur bersama (sistem centrale keuken, dapur umum), sedang sisa uang selebihnya sesudah diambil untuk belanja makan bersama, dibagi sebagai uang saku. Untuk memberi kebebasan kepada anggota, karena selera orang tidak sama, maka yang dimasak bersama hanya nasi dengan lauk yang umum, umpamanya sayur, tempe/tahu, untuk memberi kesempatan anggota menambah lauk lainnya.
Di cabang – cabang yang kecil, yang jumlah anggotanya belum banyak, biasany hal ini lebih mudah dilaksanakan, oleh karena guru-guru tinggal dalam satu tempat, berdekatan.
Di dalam Tamansiswa tidak terdapat hubungan majikan dan buruh, antara werkgever dan werknemer, antara pemberi kerja dan pekerja, yang didasarkan si majikan yangkuasa, si buruh hanya sebagai pekerja pengambil upah yang ditentukan upahnya oleh majikan semata-mata, pembagian tugas dalam Tamansiswa diatur bersama atau dasar kata sepakat, atas dasar tahu diri untuk menentukan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Karenanya di dalam Tamansiswa tidak mengenal istilah upah, dalam arti pemberian penghargaan kerja yang hanya ditetapkan oleh satu fihak yang memberi pekerjaan yaitu fihak majikan.
9. TAMANSISWA MASYARAKAT TIDAK BERKELAS.
Dengan tegas Tamansiswa menolak dikenakannya peraturan “loonbelasting” (pajak upah) dari peraturan Pemerintah Hindia Belanda, yang dijalankan mulai tahun 1935. secara prinsipiil Tamansiswa menolak peraturan itu dikenakan kepada Tamansiswa. Dan akhirnya setelah lima tahun Tamansiswa berjuang menentang loonbelasting. Satu pengakuan dasar kekeluargaan dari Pemerintah Belanda, bahwa di dalam Tamansiswa tak mengenal buruh dan majikan.
10. KEKELUARGAAN – DEMOKRASI DENGAN KEPEMIMPINAN.
Kehidupan satu keluarga menggambarkan di mana tiap-tiap orang dalam keluarga itu sama derajatnya, sama haknya, sama-sama bebas dan merdeka. Tetapi apabila kebebasan masing-masing itu akan mengganggu ketertibdamaian dan keselamatan keluarga harus ada tindakan penyelamatan yang tegas, kalau perlu secara keras harus dihukum anak yang mengganggu keluarga itu. Dalam hal keadaan yang membahayakan kehidupan keluarga, pimpinan keluarga (ayah atau ibu salah seorang diantaranya, atau terkadang anak yang tertua) bertindak tegas untuk menyelamatkan. Tidak jarang terjadi, bahwa seseorang anggota keluarga yang berbuat membahayakan atau mencemarkan keluarga mendapat hukuman yang berat, dikeluarkan dari keluarga (disebtrake), tidak diakui atau dianggap sebagai bukan anggota keluarga lagi. Di lain waktu orang yang telah disebratkan itu bisa diterima kembali (diampuni kesalahannya) atau mungkin selama-lamanya dikeluarkan dari keluarga itu. Dalam keluarga berlaku demokrasi dengan leiderschap.
Kekeluargaan mengenal adanya disiplin, tindakan penyelamatan yang terkadang keras seperti digambarkan diatas itu. Orang tidak boleh mempergunakan “kekeluargaan” sebagai kelemahan yang tidak sanggup menegakkan disiplin.
Ki Hadjar menggambarkan disiplin dalam keluarga sebagai halnya kalau ada luka pada tubuh badan kita. Apabila luka itu ringan dapat diobati dengan obat-obat luar, dengan salep dan lain-lain. Apabila jalan semacam itu tidak berhasil, dan kemudian luka itu makin parah, dan dengan demikian bisa membahayakan seluruh tubuh, harus dioperasi. Kalau perlu dipotong dan bagian yang akan membahayakan itu dibuang. Kejam nampaknya, tetapi apabila tidak demikian seluruh tubuh badan akan mendapat keracunan dan menghancurkan seluruh badan.
Dalam keadaan biasa, tidak ada apa-apa, anggota badan kita masing-masing merdeka dan bebas bergerak. Tangan, kaki, hidung, mata, telinga, masing-masing bergerak bebas.
Pada suatu malam, hujan, halaman becek. Perut sakit oleh karena siangnya terlalu banyak makan rujak. Harus kebelakang
Mata mengantuk, tidak mau melek. Salahmu sendiri, kata si mata, terlalu banyak kamu makan rujak. Kaki tidak mau melangkah, karena diluar becek. Tangan tidak mau membuka pintu, karena malas, mau mengaso, siangnya capai bekerja.
Apabila seluruh dan masing-masing anggota badan dibiarkan bebas semacam itu, sedang perut sakit dan harus kebelakang, maka akan terjadilah sesuatu yang akan mengotori seluruh badan. Maka pimpinan (otak) memberi perintah, untuk seluruh badan, kaki harus bergerak, mata harus melek, tangan harus bekerja, walaupun hujan dan becek harus berangkat. Perintah harus dijalankan, demi keselamatan bersama. Itulah kekeluargaan. Itulah demokrasi yang dibatasi dengan leiderschap untuk kebahagiaan dan keselamatan bersama.
11. TERUG NAAR HET NATIONALE – KEMBALILAH PADA ASALMU.
Berdirinya Tamansiswa dengan nama dan merek “nasional” di tengah-tengah alam kolonial beserta syarat dan cara-cara pelaksanaan pendidikannya, merupakan pernyataan kesadaran bangsa dari kesesatan, siuman dari mabuk yang telah disesatkan dan diracuni oleh kolonialisme.
Tamansiswa menyadari betapa sudah jauhnya Belanda menyesatkan bangsa Indonesia, dan berapa dalam racun kolonialisme merasuk dalam jiwa dantubuh bangsa Indonesia.
Pernyataan pendirian perguruan nasional Tamansiswa merupakan canang pemanggil bangsa dan rakyat Indonesia dari sesatnya, untuk kembali kepada hidup pribadinya, ingat kepada sesatnya, untuk kembali kepada kepribadian nasionalnya. Pada tahun 1922, Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian nasionalnya., Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya.
Kembali kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju daripada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu.
Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, sesuatu bangsa akan lebih cepat maju.
12. KEBANGSAAN – KODRAT ALAM.
Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kodrat alam itu menjadi petunjuk bagi hidup manusia, karena apa yang diwujudkan oleh atau dari dan di dalam kodrat alam itu merupakan sifat lahirnya kekuasaan dan ketertiban tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada satu kekuatan Tuhan itu tak terbatas. Oleh keadaan kodrat alamnya manusia sedunia bergolong-golong dengan sifat hidup masing-masing dan terjadilah bangsa-bangsa.
Hidup tiap-tiap bangsa di seluruh dunia bermacam-macam sifatnya, terjadi karena adanya perlawanan kekuatan-kekuatan yang berlaku dan yang menentangnya, baik kekuatan yang ada pada kodrat alam umumnya maupun yang ada pada tiap-tiap manusia. Perlawanan ini tak ada berhentinya dan tak terbatas luasnya, hingga lama-lama tambahlah ketertiban dalam hidup manusia dan keluasan peri kehidupan yang sama sifat dan bentuknya. Demikianlah terjadinya adat hidup alat adat istiadat dan timbulnya bangsa – bangsa di dunia.
Karena itu, kebangsaan menurut Tamansiswa adalah sifat khusus daripada manusia sedunia oleh karena pengaruh kodrat alam yang manusia tidak kuasa untuk menyamakannya.
Oleh keadaan kodrat alamnya manusia mempunyai kebiasaan – kebiasaan hidup, yang berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Karenanya pula berbeda cara pendidikannya, cara usaha penyempurnaan hidupnya.
Ibarat itik dengan ayam. Berbeda-beda kodrat pemberian Tuhan baginya. Si itik beralat paruh seperti sudu, si ayam berparuh untuk mencotok. Kaki si bebek dilengkapi dengan alat untuk berenang. Si ayam dengan cakarnya. Si ayam makan dengan mengais, si itik makan dengan menyudu. Kalau antara ayam dan itik berlomba hidup dengan alat hidupnya masing-masing, kalah menang akan bisa dicapai dengan ketangkasan yang dapat dipelajari. Tetapi kalau ayam disuruh berlomba melawan itik dengan berenang, si ayam pasti kalah dan mati tenggelam.
Demikian juga sebaliknya kalau si itik berlomba makan harus dengan cara si ayam, supaya mengais butir-butir makanannya, si itik akan kelaparan.
Demikianlah tiap-tiap bangsa menerima dari Tuhan oleh karena kodrat alamnya berbeda-beda keadaan alat kelengkapannya, walaupun manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya yang dapat menyesuaikan dirinya atau mendekati sifat-sifat bangsa lain, daripada sifat yang ada pada binatang. Salah satu sifat kebangsaan menurut faham Tamansiswa adalah kekhususan dari sifat-sifat manusia oleh karena kodrat alam, pemberian Tuhan.
13. KEBANGSAAN – KEMANUSIAAN
Menurut Ki Hadjar Dewantara, hidup kebangsaan adalah “differensiasi” atau kekhususan hidup kemanusiaan sebagai kewajaran menurut dasar-dasar dan kepentingan yang khusus bagi hidup bangsa. Dasar dan syarat kebangsaan itu adalah akibat mutlak yang timbul karena tuntutan kodrat alam dan kehidupan bersama alam lingkungan masing-masing bangsa tadi. Karena itu hidup kebangsaan harus selalu sesuai dengan hidup kemanusiaan. Tidak boleh bertentangan, bahkan bertali erat dan merupakan kesatuan antara sifat-sifat yang khusus dan yang umum dalam hidup manusia di dunia.
Adat kebangsaan yang melanggar atau merugikan hidup kemanusiaan pastilah adat hidup yang salah dan harus dibatalkan dan dikeluarkan dari hidup dan penghidupan bangsa.
Secara populer Ki Hadjar memberikan contoh – contoh :
Walaupun kesenian tayuban itu nasional, dan menjadi kegemaran bangsa Indonesia Jawa, tetapi oleh karena adat itu bertentangan dengan perikemanusiaan, sebagai tindakan yang merendahkan golongan wanita, maka Tamansiswa mengharamkan seni tayuban itu. Walaupun adu jangkrik itu nasional, oleh karena perbuatan itu merupakan penyiksaan terhadap binatang, Tamansiswa tidak mengijinkan adu jangkrik.
Walaupun berkain panjang dan berikat kepala (udeng,blangkon) itu nasional, tetapi oleh karena untuk bekerja cekatan akan mengganggu dan berakibat merugikan hidup, umpamanya bagi seorang “kuli sepur” yang harus bergerak cepat, harus dan dengan sendirinya meninggalkan “pakaian nasional” yang menghambat kehidupan baru itu.
Tiap-tiap bangsa wajib menyesuaikan hidup dan penghidupannya dengan syarat-syarat kemanusiaan, tidak saja dengan membuang yang salah atau memperbaiki yang buruk dari kepunyaan kita yang ada, tetapi harus pula memasukkan nilai-nilai baru yang baik yang tadinya tidak ada.
Dalam kita menerima dan meniru kebudayaan orang asing, kita harus berlandaskan dan berdiri sebagai suatu bangsa yang berpribadi yang sanggup mempergunakan tiap-tiap barang baru yang dari manapun datangnya akan berguna dan akan lebih memudahkan cara kita mencapai hidup salam bahagia.
Tinggalkanlah adat bangsa yang sudah tidak sesuai dan merintangi kemajuan hidup kita. Terimalah barang baru dari bangsa lain yang menguntungkan kita. Demikian Ki Hadjar Dewantara.
Nasionalisme Tamansiswa adalah nasionalisme yang luas yang berdasarkan oeri kemanusiaan yang menentang chauvinisme.
Nasional sifatnya, kemanusiaan dasarnya.
14. KEBANGSAAN – PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL.
Dengan menjunjung dan mengakui satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa Indonesia, Ki Hadjar memahamkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan pengertian, bahwa hidup tiap-tiap bangsa adalah pula bagian-bagian yang beraneka warna sifat dan bentuknya. Golongan-golongan itu terjadi karena pengaruh perhubungan, persangkutan dan perlawanan antara berbagai keadaan dan hidup manusia. Karena itu, menurut Ki Hadjar tiap-tiap golongan berhak dan wajar adanya. Persatuan dan kesatuan kebangsaan janganlah dicapai dengan mempersatukan atau menyatukan segala keadaan yang bermacam-macam, sifat dan bentuknya menurut kodratnya sendiri. Persatuan yang hak dan dapat berkembang menjadi kesatuan yaitu yang sesuai dengan kodrat alam. Inilah persatuan yaitu yang sesuai dengan kodrat alam. Inilah persatuan atau kesatuan yang terjadi karena kesamaan keperluan yang penting, bukan karena dipaksa mempersatukan atau menyatukan hal-hal yang perlu atau yang memang tidak mungkin dapat dipersatukan. Persatuan karena paksaan asal berkumpul menjadi satu akan merupakan “broze eenheid metvoze kern”-persatuan yang gropok yang kosong tak berisi, berkumpul berisi pertentangan, akhirnya akan pecah.
Janganlah untuk mempersatukan bangsa Indonesia orang harus menyatujeniskan model pakaian umpamanya, orang Jogjakarta harus menghilangkan “mondolan” Jogjanya, orang Sala harus menghilangkan “mondolan Salanya”, atau sebaliknya orang Sumatra harus dipaksa mengganti sarungnya dengan kain panjangnya dari Jawa.
15. KEBANGSAAN – KERAKYATAN.
Kehidupan kebangsaan menurut faham Tamansiswa tidak boleh berpisah dan bertentangan dengan dasar kerakyatan. Menurut Ki Hadjar hidup sesuatu bangsa tidak boleh terlepas dari hubungannya dengan hidup manusia di dunia pada umumnya agar dapat menambah kekayaan lahir dan batin. Tidak pula boleh terlepas dari pertaliannya dengan hidup manusia di dalam daerahnya, agar dapat menimbulkan kebahagiaan dari rakyatnya. Karena itu kenasionalan menurut Tamansiswa tidak boleh memisahkan bangsa dari kerakyatan, karena inilah syarat yang akan dapat melepaskan kita sebagai manusia daripada ikatan-ikatan dan paksaan dalam hidup kebangsaan yang menyempitkan dan menyesatkan hidup kita.
Kebanggaan dari perjuangan Tamansiswa jelas tercantum dalam salah satu dari tujuh fasal penjelasan asasnya yang berbunyi sebagai berikut:
“Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil daripada rakyat kita itu berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan negara itu jumlah dari kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran kalau usaha untuk mempertinggi ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran bagi rakyat”.
Demikian Ki hadjar menekankan arti kepentingan rakyat banyak yang harus ditanamkan.
16. TEORI TRIKON
Ki Hadjar menjelaskan sikap dan sifat hidup Tamansiswa kita dalam satu rumus teori “trikon” (sering disebut sistem atau dasar trikon). Trikon diambil dari tiga awal suku kata;kontinuita,konvergensi dan konsentrisita, sebagai dasar dan sikap hidup perjuangan Tamansiswa di tengah-tengah masyarakat.
Rumusan dalam bahasa Belanda dulu, sebelum lahirnya simpul Trikon (terjadi pada tahun 1937) ialah : cultureelnationaal-maatschappelijk, bersifat kebudayaan, nasional dan kemasyarakatan.
17. DASAR KULTURAL – KONTINU.
Dasar kulturil ini dijelaskan Ki Hadjar bahwa kebudayaan itu sifatnya kontinu, bersambung tak terputus-putus, berkembang maju. Dengan perkembangan dan kemajuan sesuatu bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putusdari garis asalnya. Loncatan putus akan kehilangan pangkal asalnya untuk maju selanjutnya dan orang akan sesat kehilangan pegangannya. Kemajuan sesuatu bangsa adalah lanjutan garis hidup asalnya yang ditarik terus dengan menentukan nilai-nilai baru baik dari bangsa sendiri maupun dari luar.
18. DASAR NASIONAL – KONSENTRIS.
Menurut Ki Hadjar alam hidup manusia itu merupakan “alam hidup berbulatan” (kensentris), yang digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran (cirkel) besar kecil yang semua itu bersatu titik pusat (middlerunt) dimana orang duduk atau berdiri di atas titik pusat itu.
Lingkaran terkecil adalah alam diri pribadi seseorang. Lingkaran di luarnya yang lebih luas ialah alam keluarga. Yang lebih luas bagi di luarnyaialah alam bangsa dan kebangsaan, dan yang terluas ialah alam manusia dan kemanusiaan. Semua lingkaran yang bersusun-susun itu atau titik pusatnya, tempat orang berdiri diatasnya ditengah-tengah lingkaran-lingkaran alam yang meliputinya (alam diri, alam keluarga, alam bangsa dan alam manusia). Disela-sela itu masih terdapat lingkaran-lingkaran alam kehidupan kedaerahan, golongan faham dan keyakinan, golongan politik/kepartaian ataupun golongan-golongan lainnya yang merupakan kesatuan hidup yang tersusun dan terikat oleh sesuatu faham kehidupan manusia.
Seseorang adalah kecuali sebagai pribadi,ia juga bagian dan satu keluarga, bagian dari satu bangsa dan ia adalah juga manusia. Kuat lemahnya perasaan lingkungan alam itu tergantung dari keadaan yang melingkarinya. Apabila manusia berdiri di tengah-tengah dan di atas titik pusat lingkaran-lingkaran itu, lingkungannya hanya sampai lingkaran diri saja, terkadang sampai batas alam keluarga saja, terkadang meliputi seluruh alam kebangsaan dan lebih luas lagi, dalam keadaan biasa, orang itu hidup di atas titik pusat kemanusiaan.
Orang seorang akan semata-mata memusatkan perhatiannya kepada kepentingan diri sendiri apabila dirinya tersinggung kepentingannya dan dalam ancaman bahaya oleh ancaman keluarga lain, orang memusatkan perhatiannya pada lingkaran hidup keluarga yang siap menghadapi keluarga lain. Demikian juga kalau kepentingan nasional yang berarti kepentingan individu-individu seluruh bangsa itu terancam kepentingan hidupnya, maka orang menjadi pembela kepentingan bangsa itu.
Pada waktu orang melihat di jalan ada orang terlanggar mobil, dengan tidak menanyakan lebih dulu orang dari bangsa apa yang melanggar mobil itu dia turun tangan menolongnya, walaupun kemudian tahu bahwa orang itu adalah dari bangsa yang dibencinya. Alam kemanusiaan memanggil seseorang, karena kepentingan keselamatan manusia terlanggar. Seorang yang sedangberkobar-kobar jiwanya dengan penuh semangat berkorban untuk kepentingan nasional, kalau perlu menyerahkan lehernya untuk bangsanya, seketika dia akan memikirkan anaknya yang tadinya dilupakan karena kepentingan nasional, oleh karena anaknya luka berat karena jatuh dari pohon. Seorang patriot Indonesia yang berasal dari salah satu daerah dia akan menjadi pembela daerahnya apabila ada orang dari daerah lain yang menghina daerahnya, walaupun selama itu tidak pernah teringat dan bahkan mengutuk daerahnya. Demikian juga kepentingan segolongan akan mendapat perhatian apabila golongan itu mengalami ancaman bahaya dari golongan lain.
Menurut Ki Hadjar, oleh karena garis lingkaran itu tidak pernah bentrokan apabila memang titik pusatnya satu, maka sebenarnya apabila orang-orang itu duduk dan berdiri di atas pendiriannya masing-masing tidak akan saling berbentrokan, apabila masing-masing menghargai pendirian orang lain.
Demikianlah persatuan bangsa tidak akan dirugikan, apabila perasaan cinta daerah, cinta keluarga dan cinta golongan itu disertai kesadaran, bahwa dalam lingkungan hidup manusia itu ada lingkungan hidup yang meliputinya. Kesadaran bahwa suku dan daerahnya ada dalam lingkungan bangsa, dan tertib damainya hidup keluarga itu hanya akan tercapai apabila ada “ketertiban dan kedamaian nasional, maka tidaklah akan timbul penyakit dan semangat sukuisme dan daerahisme yang membahayakan persatuan nasional. Demikian sesuatu bangsa yang hanya hidup tentram dan selamat apabila ada perdamaian dunia, maka semangat nasional itu tidak akan membahayakan kepentingan perdamaian dunia.
Perasaan dan nafsu memikirkan keperluan diri sendiri, hasrat memikirkan kepentingan keluarga, perasaan kedaerahan dan kesukuan tidak menjadi penyakit sukuisme dan daerahisme yang membahayakan persatuan bangsa, apabila ada kesadaran dan pengakuan adanya lingkaran-lingkaran hidup yang bersusun-susun itu harus kita junjung dan kita hormati demi kepentingan keselamatan bersama seluruh bangsa. Timbulnya bentrokan antara daerah dengan daerah dan daerah dengan pusat kehidupan bangsa, bisa terjadi oleh karena semangat yang berlebih-lebihan mementingkan kepentingan dirinya, baik oleh karena kurangnya kesadaran dari suku akan kepentingan keseluruhan persatuan, atau terkadang oleh berlebih-lebihannya semangat ingin mempersatukan dengan tidak mengingati atau menindas perasaan dan kepentingan golongan. Atau mungkin oleh karena kedua-duanya bersama-sama.
Demikianlah pengertian Ki Hadjar tentang nasionalismenya, dan bagaimana sikap hidup yang seharusnya kita pegang untuk keselamatan tiap-tiap orang dan ketertibdamaian masyarakat bangsa dan dunia.
Perasaan kesukuan dan kedaerahan dan golongan sebagai juga perasaan harga diri adalah perasaan yang wajar yang mestinya ada dan tidak bisa dilenyapkan. Hanya apabila perasaan itu akan meluap dan berakibat merugikan keselamatan hidup bersama sedaerah, sebangsa dan sedunia., bahkan sebaliknya supaya bisa menjadi urunan bagi kekuatan dan kepentingan hidup bersama sebangsa dan seluruh manusia.
19. DASAR KEMASYARAKATAN – KONVERGEN.
Teori atau dasar ketiga ialah dasar kemasyarakatn yang disebut konfergensi, ialah sambung dan hubungan kita dengan masyarakat yang lebih luas (konvergensi). Sebagai lembaga kemasyarakatan Tamansiswa tidak memisahkan diri dari masyarakat yang lebih luas. Ia harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat, kalau ingin hidup mengabdi kepentingan masyarakat. Semangat memencil dan penyakit “kemurni-murnian” akan membawa kita ke kematian. Isolasi dan purisme membawa kita ke kematian, demikian Ki Hadjar Dewantara.
Dasar dan teori trikon Tamansiswa ini dapat dijadikan pegangan hidup kita sebagai bangsa, dalam mengatur kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kemasyarakatan dalam hubungan sebangsa dan hubungan bangsa Indonesia dengan dunia internasional. Dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran Tamansiswa menjelaskan, bahwa untuk anak-anak pelajaran disesuaikan dengan alam keluarganya. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Ibu dan bahasa daerahnya. Makin besar, main dewasa, dipergunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dan sesudah dewasa diperguruan menengah dan lanjutan atas, pelajaran dihubungkan dengan kepentingan dunia, yang akhirnya dibagian perguruan tinggi (universitas) sudah merupakan hubungan universal.
Demikian juga mengenai pelajaran kebudayaan. Dari kebudayaan dan kesenian daerah, meningkat kepada kesenian dan kebudayaan dunia yang akan dapat menambah kekayaan kita sebagai bangsa, dan memudahkan hubungan bangsa kita dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya, yang akan menempatkan bangsa dan rakyat indonesia di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia dalam kedudukan yang sejajar.
20. TIRULAH HIDUP CECAK.(kesimpulan)
Pendidikan nasional yang dianjurkan Ki Hadjar dengan berdirinya Tamansiswa ialah kecuali menegakkan jiwa anak-anak sebagai bangsa yang juga bermaksud membimbing anak-anak untuk menjadi manusia yang bisa hidup dengan kecakapan dan kepandaiannya, berbuat sesuatu berguna tidak saja untuk dirinya, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Ki Hadjar melihat pendidikan kolonial yang diberikan oleh Belanda, tidak lain membawa anak-anak jadi makin canggung hidupnya dalam masyarakat, setelah mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang salah itu. Dengan pedas Ki hadjar mengkritik dan menyerang sistem pendidikan kolonial, yang menjadikan anak-anak hanya bisa hidup “cemanthel” yang akan jatuh dan ambruk apabila tempat canthelannya jatuh.
Ki Hadjar memberi contoh secara senda gurau: Orang yang telah sekolah bisa mencari makan dengan menjual kacang, berjualan sayuran yang bisa hidup dari hasil berjaja itu. Tetapi anak yang sekolah HIS (Sekolah Dasar dari Belanda) yang dianggap sebagai anak pandai, malah tidak bisa mencari makan sendiri kalau tidak menjadi kersni atau klerek, dan setelah sekolah MULO (SMP jaman Belanda) malah jadi tambah tidak dapat mencari makan, tidak dapat menjual kacang goreng, malu bekerja kasar. Dengan membawa diplomanya (ijasahnya) yang bagus, berkeliling-keliling memasuki kantor-kantor mencari pekerjaan. Dan jadilah ia penganggur – werklose – apabila dia tidak mendapat pekerjaan di kantor.
Secara berolok-olok Ki Hadjar menunjuk, Ibaratlah itu cecak. Dia tidak sekolah menengah. Dia tidak mempunyai diploma. Tetapi dia tidak pernah menganggur (werklose). Dia tahu dimana harus mencari makan. Dia tahu, dimana ada lampu, disana banyak datang nyamuk. Dan disanalah cecak mencari makan menangkap nyamuk makanannya.
Tetapi, Ki Hadjar, orang yang sudah bersekolah tinggi, tidak tahu dimana dia harus mencari makan.
Di kantor-kantor yang sudah ditulisi direkatkannya besar-besar “geen vacature”, tidak ada lowongan, disanalah orang-orang lepasan sekolah menengah dan menengah atas berbaris meminta pekerjaan, seolah-olah buta huruf tak tahu membaca tulisan dimuka pintu kantor itu, yang memberi isyarat pergilah kamu, disini tidak ada makanan untukmu.
Ki Hadjar mengeluh : “Kok apes temen, wong pinter-pinter kok malah kalah karo cecak”. Alangkah celakanya, orang-orang begitu pandai, kalah dengan cecak yang walaupun tak bersekolah tetapi tidak pernah jadi penganggur.
Rumusan asas Tamansiswa tentang tujuan pendidikan disebut bahwa pengajaran tidak lain merupakan alat dan syarat untuk anak-anak hidup berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat, sebagai disebut dalam asas Tamansiswa.
“Dalam sistem ini, yang dimaksud ialah sistem Among Tamansiswa, maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama”.
Sekedar itulah uraian pokok-pokok ajaran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam wujud asas, dasar, sistem, sendi organisasi dan cara-cara perjuangan hidup Tamansiswa, yang berwujud sebagai lembaga pendidikan dan kebudayaan nasional, yang menitikberatkan usahanya pada penggarapan jiwa manusia dengan pendidikan nasional pada anak-anak turunan bangsa kita.
Tiap – tiap orang Tamansiswa adalah pengabdi, yang dengan persetujuannya kepada asas Tamansiswa berjuang mengabdi Sang Anak dengan tulus, sebagai termuat dalam asas Tamansiswa yang berbunyi :
“Dengan tidak terikat lahir dan batin, dengan suci hati kita mendekati Sang anak. Kita meminta hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang Anak”.
Guru, menurut Ki Hadjar adalah abdi Sang Anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa anak-anak. Tiap – tiap orang Tamansiswa adalah peserta perjuangan Tamansiswa yang sadar, yang ikhlas mengabdi kepentingan sang anak, pengabdi kepentingan nusa, bangsa dan manusia, untuk bersama-sama menegakkan perikemanusiaan.
------------------------------------------------------------
Oleh: Ki Sutikno
Disampaikan :Peringatan Satu Abad Kebangkitan NasionalLokakarya Reformasi PendidikanDi Daerah Istimewa Yogyakarta5 Mei 2008Kerja sama UGM – Pemda DIY – Kagama
Kepustakaan:
1. Karya Ki Hadjar Dewantara
2. Masalah Kebudayaan
3. Pendidikan dan Kebudayaan
4. Azas dan Dasar Tamansiswa
5. Demokrasi – leiderschap
6. 30 tahun Tamansiswa
7. Lebih Baik Tidak Sekolah
0 komentar:
Posting Komentar